Presiden RI Joko Widodo alias Jokowi melaksanakan kunjungan kehormatan kepada pembantai kaum Muslimin Rohingya Arakan Presiden Republik Uni Myanmar, U Thein Sein di Nay Pyi Taw,Rabu, (12/11/2014). Musibah, Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Laman Kementerian Luar Negeri Rabu (12/11/2014) menyebut bahwa kunjungan ini sebagai perkenalan Presiden RI yang baru kepada Myanmar selaku Chair (Ketua) ASEAN tahun 2014, sekaligus untukmembahas upaya-upaya bersama dalammemperkuat dan meningkatkan kerja sama bilateral RI-Myanmar.
Meski jelas-jelas pemerintah Myanmar telah melakukan etnic cleansing terhadap umat Islam di Myanmar Selatan, Jokowi menegaskan Indonesia akan tetap menjadi sahabat Myanmar dalam mengembangkan hubungan bilateral dan dalam konteks pemajuan ASEAN.
Jokowi dan U Thein Sein menyepakati sejumlah hal yang menjadi prioritas bersama kedua negara. Dalam konteks kerja sama bilateral, Indonesia siap bekerja sama dalam meningkatkan perdagangan dan investasi kedua negara, diantaranya melalui peningkatan investasi BUMN dan pihak Swasta Indonesia di Myanmar, khususnya di sektor pertambangan, infrastruktur, dan telekomunikasi. Selain itu, kedua Presiden sepakat untuk menjajaki pembukaan penerbangan langsung (direct flight) dan perbankan langsung (direct banking) RI-Myanmar guna semakin meningkatkan kerja sama kedua negara di berbagai bidang.
Rezim Budha Bantai Umat Islam
Sebagai informasi, PBB telah menggambarkan Muslim Rohingya sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia. Mereka menghadapi pembatasan kebebasan bergerak dan hidup dalam ketakutan akan penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan di negara yang mayoritas beragama Budha.
Sekitar 140.000 Muslim Rohingya dikekang oleh penjaga bersenjata dan pos pemeriksaan di kamp-kamp kumuh di pinggiran Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine barat laut. Itu terjadi setelah pemerintah dan elemen Budha ekstrim menggencarkan serangan brutal masal ke desa-desa mereka pada tahun 2012, memaksa mereka untuk meninggalkan tempat tinggal mereka. Sejak itu lebih dari 100.000 orang melarikan diri dari Myanmar menggunakan kapal reyot penuh sesak.
Namun mereka yang mengungsi, tak juga selalu disambut baik oleh negara-negara tetangganya. Salah satu contohnya, seorang yang semestinya dimuliakan karena hafal Al Quran malah mendekam di penjara sebab tergolong pendatang ilegal.
Sebelumnya, pemerintah kafir Budha menyatakan ingin menjadikan sekitar satu juta Muslim Rohingya sebagai bagian dari “rencana tindakan” Myanmar, guna menarik kembali warga yang telah mengungsi. Rezim Budha Myanmar juga mengatakan mengiming-imingi mereka yang terdaftar sebagai “Bengali” akan memiliki kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraan. Namun, Muslimin Rohingya menolak karena akan menghadapi kemungkinan penahanan dan deportasi. Itu lebih buruk dari dipenjara di pengungsian, sebab nyawa mereka semakin tidak terjamin.
Resolusi PBB, yang disusun oleh Uni Eropa, mendesak pemerintah Myanmar untuk “memungkinkan identifikasi diri” warga Muslim Rohingya dan untuk diberi “kebebasan bergerak dan akses yang sama terhadap kewarganegaraan penuh.” Setelah kunjungan ke Rakhine, pelapor PBB khusus pada hak asasi manusia, Yanghee Lee, menyatakan pada 26 Juli saat konferensi pers di Bandara Internasional Yangon bahwa pemerintah tirani “berulang kali memberitahu [PBB] untuk tidak menggunakan istilah ‘Rohingya’, seperti ini tidak diakui oleh pemerintah. “
Bereaksi terhadap hal itu, PBB menjawab bahwa “hak-hak minoritas untuk mengidentifikasi diri … terkait dengan kewajiban Negara untuk memastikan [perlakuan] non-diskriminasi terhadap individu dan kelompok.”
Resolusi ini sekarang berhadapan dengan Majelis Umum. Meskipun tidak mengikat, diharapkan akan menambah tekanan pada pemerintah Myanmar. Banyak yang mengandalkan kekuatan resulusi itu dengan kehadiran Obama dua pekan ke depan. Namun demikian, Muslimin Rohingya tidak dapat mengandalkan apa yang akan terjadi setelah kunjungan Presiden Amerika Serikat itu dalam pertemuan puncak regional.
Myanmar mulai diintimidasi dan diperangi Rezim Budha plus militer yang keras pada tahun 2011, ketika sebuah pemerintah sipil terdiri dari mantan jenderal mendapatkan kekuasaan dan melancarkan serangkaian reformasi demokrasi. Tapi bumi Rohingya secara ironis menyaksikan kondisi rakyatnya kian parah di bawah pemerintahan Presiden Thein Sein, seiring diberlakukannya era kebebasan baru yang mendorong ekstrimis Budha semakin berani menzhalimi kaum Muslimin disana.
Sikap Pemerintah Indonesia?
Sungguh ironi, saat Eropa dan Amerika telah mendorong Perserikatan Bangsa Bangsa untuk mengeluarkan resolusi yang berisi kecaman terhadap tindakan pembersihan etnis atau genosida kepada muslim Rohingya di Myanmar, justru pemerintah Indonesia malah menolak resolusi itu. Padahal, Indonesia dan Myanmar merupakan negara tetangga di AsiaTenggara.
Hal ini menjadi pembahasan utama dalam diskusi antara Wakil Ketua DPR Bidang Korpolkam Fadli Zon saat menerima Ketua Parlemen Agama se-dunia Imam Abdul Malik Mujahid di ruang kerjanya, Gedung Nusantara III, Rabu (29/10/14). Abdul Malik didampingi sejumlah intelektual muda Islam, diantaranya Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud.
“Kongres Amerika adalah yang pertama akan membuat resolusi tentang Rohingya, dan meminta dukungan dari Indonesia. Namun kabarnya,Indonesia malah termasuk negarayang tidak mensupport pencegahan genosida di Rohingya. Kami akan membahas inidi Komisi I DPR dan Badan Musyawarah,” jelas Fadli usai pertemuan, seperti diwartakan laman rersmi DPR-RI.
Politisi Gerindra ini memastikan, jika masukan ini sudah dibahas di DPR, bahkan akandibahas di Rapat Paripurna, maka akan menjadi sikap resmi dari Parlemen Indonesia.Sehingga, sikap Indonesia di dunia internasional sejalan dengan konstitusi, dan merupakan murni sikap dari masyarakat Indonesia.
“Kita akan meminta Komisi I DPR untuk memanggil Menteri Luar Negeri, agar sikap kita sejalan dengan konstitusi kita. Kan konstitusi kita banyak membicarakan hal tentangHak Asasi Manusia. Saya rasa masyarakat kita juga concern terhadap kasus Rohingya,supaya tidak terlibat aktif untuk mencegah genosida di Rohingya. Apalagi ini terjadi dinegara kawasan Southeast Asia,” imbuh Fadli.
Fadli menambahkan, soal keselamatan pengungsi itu harus dijamin, sesuai dengan prosedur UNHCR atau lainnya. “Untuk alasan kemanusiaan, pengungsi harus diberikan transit area yang baik, diperlakukan secara manusiawi, karena mereka ini adalah korban hak asasi manusia,” tutup Fadli.
Abdul Malik mengaku heran dengan sikap Indonesia yang menolak resolusi untukmengecam tindakan genosida di Myanmar. Apalagi Indonesia merupakan negaraberpenduduk muslim terbesar di dunia dan anggota ASEAN. (azm/arrahmah.com)