RENCANA kenaikan harga BBM bersubsidi selalu diiringi propaganda klise mengenai subsidi salah sasaran. Persoalannya, apa dan bagaimana penetapan subsidi itu sendiri dari sisi biaya produksi tak pernah jelas perhitungannya. Misalnya, pemerintah telah menetapkan kuota subsidi BBM dalam APBN 2014 sebesar Rp 246,49 triliun untuk 46 juta kilo liter, terdiri dari bensin (Premium), solar (minyak diesel), serta minyak tanah (kerosene), dengan komposisi kuota (2013): 64 persen Premium, 34 persen solar, dan 2 persen minyak tanah.
Jika kita gunakan angka yang berpatokan pada harga bensin dan mengabaikan proporsi di antara ketiga jenis BBM bersubsidi tersebut, maka rata-rata subsidi besarnya Rp5.358 per liter. Dengan patokan harga bensin Premium saat ini Rp 6.500/liter, maka jelas yang dimaksud dengan subsidi oleh pemerintah adalah selisih antara harga bensin Premium dengan perbandingan harga eceran bensin (gasoline) di negeri lain, atau dari sisi produksi berpatokan pada harga minyak mentah (crude oil) di pasar internasional.
Persoalannya, bensin yang disubsidi pemerintah dan diedarkan Pertamina di Indonesia adalah jenis Research Octane Number (RON) 88 yang tidak lagi diproduksi dan diedarkan di mancanegara. Sementara, bensin di berbagai negara yang sering jadi rujukan penentuan harga adalah jenis bensin RON 92, yang di pasar domestik sama dengan BBM tak bersubsidi Pertamax, yang harganya fluktuatif antara Rp 9.500 -10.500/liter, mengikuti ‘harga pasar'. Keduanya jenis bensin yang berbeda, baik kualitas maupun harganya. Bisakah selisih harga antara RON 88 dengan harga rata-rata RON 92-95 (misalnya: Pertamax, Pertamax Plus) disebut sebagai “subsidi”?
Secara metaforis, asumsi pemerintah itu tak ubahnya seperti sedang menghitung selisih antara harga ayam goreng dan bebek goreng sebagai subsidi. Ayam dan bebek memang sama-sama unggas, namun keduanya berbeda.
Sebelum menyoal struktur konsumsi BBM, di mana pemerintah selalu berkoar soal subsidi tidak tepat sasaran, pertama-tama kita harus menjernihkan dulu soal apa yang dimaksud subsidi dan bagaimana metode perhitungannya.
Memang, karena produksi minyak-jadi (BBM) kita di bawah kebutuhan konsumsi dalam negeri, kita harus mengimpor sebagian kebutuhan BBM, baik dalam bentuk minyak mentah yang dikilang di dalam negeri maupun produk jadi (bensin, solar, dan minyak tanah) untuk menutupi kekurangan pasokan BBM tersebut. Namun, mengasumsikan kita mengimpor 100 persen kebutuhan BBM, di mana selisih antara harga BBM di pasar internasional dengan di pasar domestik dihitung sebagai subsidi, jelas sebuah kekeliruan.
Sampai di sini paling tidak ada satu kesimpulan. Seandainya memang ada yang disebut sebagai “subsidi” tadi, pastilah angkanya tidak sebesar seperti yang sering dikemukakan pemerintah. Lantas, berapakah angka sesungguhnya?
Di sinilah persoalannya. Kita hanya bisa menghitung besaran subsidi jika angka biaya pokok produksi (BPP) BBM tersedia. Dalam model yang dibuat Kwik Kian Gie (2012), misalnya, BPP tadi paling tidak terdiri dari tiga komponen, yaitu biaya Lifting (L), Refining (R), dan Transporting (T). Karena dalam neraca perdagangan minyak bumi, baik minyak mentah maupun produk jadi, Indonesia merupakan negara net oil importer sejak 2004, maka BPP terdiri dari dua jenis. Pertama, adalah BPP dari BBM yang kita produksi sendiri. Kedua, BPP dari BBM yang kita impor. Dua angka ini tidak pernah dibuka ke publik.
Sudah dua tahun ini Pertamina masuk dalam “Fortune Global 500”, yang menunjukkan jika BUMN ini tergolong perusahaan besar dunia yang menguntungkan. Jika Pertamina bisa untung, bukankah logikanya pemerintah juga mendapatkan keuntungan dari bisnis yang dioperasikan BUMN ini? Lalu, bagaimana ceritanya ada “subsidi”?
Memang benar, jika dilihat dari struktur konsumsi BBM di Tanah Air, ada inefisiensi, karena lebih banyak diserap oleh kendaraan pribadi daripada transportasi publik. Persoalannya, jika kenaikan harga BBM dijadikan solusi, apakah efisiensi dalam soal moda transportasi itu akan berubah? Jelas tidak, karena 25 persen konsumen terkaya, yang katanya telah menyedot jatah “subsidi” sampai 77 persen, tetap memiliki daya beli untuk menggunakan moda transportasi pribadi. Apalagi, transportasi publik yang memadai memang belum tersedia. Lantas, siapa yang paling berat menanggung beban kenaikan harga itu? Lagi-lagi, kelompok 25 persen masyarakat termiskin.
Jadi, ada tiga masalah yang pada mulanya tidak saling terkait secara langsung, namun kemudian dianggap sehaluan. Pertama, perhitungan biaya produksi Pertamina. Kedua, inefisiensi struktur konsumsi BBM. Ketiga, defisit anggaran pemerintah. Karena dipaksa sehaluan, konsekuensinya harga BBM kemudian dijadikan kambing hitam, dan “subsidi salah sasaran” dijadikan argumen. Ujungnya, karena beban anggaran tadi didistribusikan merata ke seluruh masyarakat, golongan rakyat terbawah akan selalu menanggung beban paling besar dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Apakah kebohongan klise soal ilusi subsidi BBM ini akan terus kita pertahankan?***
*sumber: http://www.prismaindonesia.com/index.php/editorial/item/348-ilusi-subsidi-bbm