Presiden Joko Widodo mesti menunda niatnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Jika harga BBM jadi dinaikkan, maka benar dugaan publik bahwa Jokowi bukan 'pemimpin yang lahir dari rakyat' yang selama ini menjadi jargonnya pada waktu Pilpres lalu.
"Turunnya harga minyak dunia, aneh bin ajaib Jokowi justru ngotot menaikkan harga BBM," kritik pengamat politik yang juga dosen Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago (Ipang) melalui keterangan tertulis, Minggu (16/11).
Menarik membaca pikiran Presiden Jokowi yang mengaku tidak peduli dan tak mau ngambil pusing, jika popularitasnya turun, setelah menaikkan harga BBM bersubsidi.
"Menurut saya, ini bukan urusan soal populer atau tidak, bukan soal turun naik popularitasnya, ini soal urusan sejengkal perut," terangnya.
Patut diingatkan, anggaran sebesar Rp 246, 5 triliun untuk subsidi BBM adalah hak rakyat.
"Nah kalau subsidi dicabut maka semua barang kebutuhan pokok juga ikut naik. Coba tunjukkan sama saya yang tidak ikut naik kalau BBM naik?," pintanya.
Ia juga mengkritisi opini yang selalu dibangun pemerintah bahwa bangsa Indonesia komsumtif sehingga lebih baik anggaran tersebut dimanfaatkan atau dialihkan ke hal-hal yang lebih produktif seperti pembuatan waduk, pembuatan jaringan rel kreta api, pupuk, irigasi, benih dana subsidi BBM bisa buat bangun jalan 10 ribu km dan untuk pendidikan dan kesehatan.
"Anggaran untuk membangun yang di atas sudah ada pos-posnya. Semua saya kira relatif cukup dan tersedia, maka pemerintah jangan berpikir singkat dan mengambil jalur pintas tanpa diiringi kehati-hatian menarik subsidi BBM," terangnya.
Kebijakan menaikkan tarif BBM implikasinya tak main-main. Masyarakat dibuat semakin sulit, yang tadinya tidak miskin menjadi miskin.
"Kenaikan BBM tetap rumusnya menganggu kesejahteraan rakyat," tegasnya.
Pada bab yang sama, pemerintah, dalam hal ini kementerian, dinas dan Pemda, sudah menjadi rahasia umum di akhir tahun justru berlomba-lomba menghabiskan anggaran negara lewat perjalanan dinas dan kegiatan yang tak begitu perlu.
"Jokowi harus memikirkan rakyat miskin yang terkena dampak kenaikan harga BBM kalau memang beliau presiden yang lahir dari rakyat," demikian Ipang. [rmol/fs]
Jika harga BBM jadi dinaikkan, maka benar dugaan publik bahwa Jokowi bukan 'pemimpin yang lahir dari rakyat' yang selama ini menjadi jargonnya pada waktu Pilpres lalu.
"Turunnya harga minyak dunia, aneh bin ajaib Jokowi justru ngotot menaikkan harga BBM," kritik pengamat politik yang juga dosen Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago (Ipang) melalui keterangan tertulis, Minggu (16/11).
Menarik membaca pikiran Presiden Jokowi yang mengaku tidak peduli dan tak mau ngambil pusing, jika popularitasnya turun, setelah menaikkan harga BBM bersubsidi.
"Menurut saya, ini bukan urusan soal populer atau tidak, bukan soal turun naik popularitasnya, ini soal urusan sejengkal perut," terangnya.
Patut diingatkan, anggaran sebesar Rp 246, 5 triliun untuk subsidi BBM adalah hak rakyat.
"Nah kalau subsidi dicabut maka semua barang kebutuhan pokok juga ikut naik. Coba tunjukkan sama saya yang tidak ikut naik kalau BBM naik?," pintanya.
Ia juga mengkritisi opini yang selalu dibangun pemerintah bahwa bangsa Indonesia komsumtif sehingga lebih baik anggaran tersebut dimanfaatkan atau dialihkan ke hal-hal yang lebih produktif seperti pembuatan waduk, pembuatan jaringan rel kreta api, pupuk, irigasi, benih dana subsidi BBM bisa buat bangun jalan 10 ribu km dan untuk pendidikan dan kesehatan.
"Anggaran untuk membangun yang di atas sudah ada pos-posnya. Semua saya kira relatif cukup dan tersedia, maka pemerintah jangan berpikir singkat dan mengambil jalur pintas tanpa diiringi kehati-hatian menarik subsidi BBM," terangnya.
Kebijakan menaikkan tarif BBM implikasinya tak main-main. Masyarakat dibuat semakin sulit, yang tadinya tidak miskin menjadi miskin.
"Kenaikan BBM tetap rumusnya menganggu kesejahteraan rakyat," tegasnya.
Pada bab yang sama, pemerintah, dalam hal ini kementerian, dinas dan Pemda, sudah menjadi rahasia umum di akhir tahun justru berlomba-lomba menghabiskan anggaran negara lewat perjalanan dinas dan kegiatan yang tak begitu perlu.
"Jokowi harus memikirkan rakyat miskin yang terkena dampak kenaikan harga BBM kalau memang beliau presiden yang lahir dari rakyat," demikian Ipang. [rmol/fs]