Oleh: Ryan Muthiara Wasthi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
20 Oktober 2014 adalah waktu yang akan menjadi saksi sejarah negara Indonesia. Pada hari itu Presiden dan Wakil Presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla akan dilantik untuk menjadi pemimpin eksekutif tertinggi di Negara demokratis ini. Seluruh rakyat semestinya bersuka cita akan terpilihnya orang nomor 1 di Indonesia ini yang akan menjadi sebuah harapan baru bagi perubahan di negara yang sampai saat ini dianggap sebagai negara berkembang.
Namun, gonjang ganjing yang terjadi pada proses hingga terpilih bahkan sampai pada setelah selesainya pemilu ini masih menimbulkan tandatanya, akankah presiden pilihan rakyat ini akan beban-benar dapat menjalankan pemerintahan sebagaimana mestinya?. Menurut Scott Mainwaring, sistem multi partai dengan sistem pemerintahan presidensil adalah suatu hal yang musykil, karena perpaduan kedua sistem ini akan menimbulkan political gridlock dimana partai yang memerintah tidak menjadi mayoritas di parlemen. Hal ini juga dialami di Indonesia yang menerapkan sistem presidensil dengan perpaduan sistem multipartai. Tercatat sejak reformasi, partai politik di Indonesia tidak lebih kurang dari 10 partai. Hal ini menimbulkan polemik dimana partai politik yang menang tidak akan mendapatkan suara mayoritas. Indonesia pernah mengalami masa dimana partai politik yang memegang pemerintahan adalah yang mendapatkan suara tidak sampai 10%, yaitu pada pemilihan umum 2009 yang dimenangkan Soesilo Bambang Yudhoyono dengan suara 8% sehingga tidak menjadi partai mayoritas di parlemen.
Pemerintahan yang tidak mayoritas akan menimbulkan ketidakseimbangan antara eksekutif dan parlemen dimana ketika parlemen tidak setuju dengan kebijakan eksekutif maka akan terjadi pemerintahan yang saling membatasi dan meniadakan. Parlemen tidak menanggapi dengan positif kebijakan dari eksekutif dan sebaliknya sehingga terdapat hubungan yang tidak harmonis antara eksekutif dengan parlemen. Pada akhirnya eksekutif akan dihadapkan pada pilihan untuk memanfaatkan hak prerogatifnya dalam mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPPU) yang seharusnya menjadi pilihan hanya pada saat kegentingan yang memaksa. Hal ini ternyata menjadi sejarah kedua pada masa Jokowi dimana PDIP sebagai partai pemenang pemilu tidak berhasil menjadi partai mayoritas di DPR. Dengan perolehan 19%, meskipun menjadi partai pemenang pemilu namun tidak dapat melobi partai lain di DPR sehingga gagal menduduki kursi pimpinan DPR dan MPR. Meskipun di sisi lain Koalisi Merah Putih menyatakan kelegowoannya dalam menanggapi pemerintah yang dipegang oleh Jokowi.
Namun demikian, setiap pemerintahan yang tidak didukung dengan kekuatan parlemen tentunya akan berdampak pada perjalanan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan yang tidak berjalan seutuhnya. Dalam sebuah negara dengan sistem presidensil tentunya yang diharapkan adalah presiden dengan power yang besar tanpa meniadakan dukungan dari parlemen. Maka, bukan tidak mungkin dalam era pemerintahan yang diharapkan menjadi perubahan besar bagi Negara Indonesia ini, Jokowi sebagai presiden terpilih menjadi momok bagi oposisi yang mengharapkan lengsernya kekuasaan eksekutif yang sudah diperjuangkan dalam sebuah proses yang demokratis beberapa bulan lalu.
Dengan kepemimpinan yang tidak kuat tentunya dapat menimbulkan gangguan dari parlemen terhadap pemerintahan ini. Saling menuding antara eksekutif dan parlemen tidak akan terhindarkan sehingga preisden akan melaksanakan pemerintahan dengan satu kaki karena kaki kedua nya yang seharusnya menjadi penyeimbang justru menjadi bumerang. Presiden memang tidak dapat membubarkan parlemen jika dilihat dari Pasal 7C UUD 1945, namun pada kenyataannya Indonesia pernah mengalami masa dimana seorang presiden membubarkan parlemen yaitu pada masa Soekarno yang melakukan pemberhentian terhadap parlemen dengan dekrit yang dikeluarkan secara otoriter.
Negara ini butuh revolusi yang sedang digadang-gadangkan, Jokowi butuh kekuatan besar melawan tirani kepemimpinan yang selama ini menjadikan rakyat hanya sebagai tunggangan demi kepentingan politis semata tanpa berupaya melaksanakan tanggungjawab menuju welfare state. Namun kekuatan tersebut tidak akan dapat berjalan jika eksekutif tidak mendapat dukungan yang baik dari parlemen sehingga selalu ada celah untuk menchallenge kebijakan yang ada. Pemilu boleh jadi menghasilkan pemimpin yang dicintai rakyat, namun realitas tidak dapat terhindarkan. SBY belum turun saja sudah membuat akhir yang tidak manis berupa PERPPU yang dikeluarkan sebagai bentuk cara cari posisi aman antara kubu pemerintah terpilih dengan oposisi. Apalagi nanti setelah pemerintahan berjalan 5 tahun ke depan. Kondisi ini tentunya menjadi krisis dari ketatanegaraan yang akan menjadi peer pemerintah dan parlemen dalam menanggung tanggungjawab memperbaiki dan merevolusi demi tercapainya negara yang tidak lagi berkembang tapi menuju negara maju.
Akankah kepemimpinan yang dilakoni orang nomor 1 yang didukung partai banteng ini akan berjalan mulus atau akan terbentur oleh kerikil bahkan batu besar parlemen yang justru didominasi oleh partai oposisi? Hanya para pejabat negara kita lah yang mampu menjawab dengan bijak dan dewasa demi sebuah pengharapan yang diberikan jauh sebelum adanya proses demokrasi. Kekuatan Oposisi sangatlah penting dalam membangun bangsa ini sebagai penyeimbang untuk melaksanakan Check And Balances antara eksekutif dan legeslatif.***
*Ryan Muthiara Wasthi, Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Jakarta, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.