Oleh SYAMSARI
(Aktivis BangKit Institut)
Politik berasal dari bahasa Yunani dari kata politeia atau politicos yang berakar kata polis, dapat diterjemahkan “kota” atau lebih tepatnya “negara-kota”. Politik dalam islam disamakan dengan kata Siyaasah yang berasal dari kata saasa yang artinya memimpin, memerintah, mengatur, melatih dan manajemen. Menurut Imam An Nawawi, politik (siyaasah) adalah menegakkan atau menunaikan sesuatu dengan apa yang bisa memperbaiki sesuatu. Politik menurut Miriam Budiarjo adalah sarana untuk melaksanakan kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan alokasi sumberdaya alam, kekuasaan dan wewenang. Dalam prakteknya politik adalah seni menjalankan kekuasaan dan mengatur rakyat yang dipimpinnya.
Dengan definisi seperti ini maka politik semestinya jauh dari label “politik itu kotor”. Politik hanya bisa diberi label kotor jika tidak diikuti oleh nilai-nilai moral, karena akan jatuh pada pragmatisme yang berlebihan, mengejar kekuasaan dengan cara apapun dan tanpa memperhatikan hasilnya apakah telah melahirkan sesuatu yang berguna bagi bangsa dan negara.
Dalam sejarah Bangsa Indonesia, kita menemukan keteladanan dalam praktek politik, misalnya ketika terbentuk Negara Republik Indonesia Serikat sebagai hasil perjanjian KMB pada akhir Desember 1949, Muhammad Natsir memelopori kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengajukan Mosi Integral kepada parlemen RIS pada tanggal 3 April 1950 sebagai jalan keluar bagi Indonesia yang terpecah-pecah oleh model federasi. Bersama Hatta yang sedang menjabat Perdana Menteri RIS, ide ini tercapai dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950. Atas jasanya, Muhammad Natsir ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Sukarno.
Dalam perjalanan pemerintahannya, PM Natsir bersama Menteri Perdagangan, Soemitro Djojohadikusumo, menggulirkan Program Ekonomi Gerakan Benteng, meskipun akhirnya Kabinet Natsir bubar pada April 1951 namun program ini terus bergulir selama 3 tahun (1950-1953) dan hasilnya lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit. Akan tetapi, tujuan dari program ini tidak dapat dicapai dengan baik. Kegagalan program ini disebabkan para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan perusahaan non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Dua contoh diatas menunjukkan capaian kekuatan politik PM Natsir beserta koalisinya yang telah berjasa mengembalikan KEDAULATAN bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menggulirkan program ekonomi yang dilanjutkan oleh kabinet berikutnya. Dan capaian ini nampaknya telah sesuai dengan definisi politik di atas.
Sebagaimana PM Natsir dan koalisinya, setiap kekuatan politik memiliki ide, rencana kebijakan dan program yang spesifik yang mungkin berbeda dengan kekuatan politik lainnya. Kekuatan politik yang baik adalah mereka yang berjuang untuk tujuan yang tulus demi kemaslahatan bangsa dan hal ini pasti berguna untuk menguatkan eksistensi kekuatan politik tersebut. Perbedaan diantara kekuatan politik akan menimbulkan persaingan. Untuk politik yang bertujuan mewujudkan kemakmuran bangsa dan negara maka fenomena persaingan yang terjadi di DPRRI saat ini adalah sah-sah saja. Yang perlu kita catat bahwa kekuatan politik yang akan memimpin dalam waktu yang lama adalah yang LEBIH KUAT DAN AMANAH, atau dengan ungkapan lain, yang memiliki kekuatan “lebih”, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Dalam konteks persaingan itu wajar jika ada kekuatan yang dominan, dan dalam bingkai sistem yang telah baku seperti di DPR RI tidak perlu ada yang disalahkan atau dalam istilah penulis “Politik Kambing Hitam” atas kekalahan dalam pengambilan keputusan. Akan lebih produktif jika kesempatan yang ada digunakan untuk bercermin dan menemukan kesalahan atau kekurangan yang kita miliki serta berusaha memperbaikinya. “Politik Kambing hitam” selamanya bersifat kontraproduktif dan menimbulkan situasi yang tidak sehat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Lepas dari kekuatan politik mana yang dominan dalam persaingan tersebut, sebagai bangsa kita patut bersyukur karena partai-partai peserta pemilu ini mengerucut menjadi 2 kekuatan politik yaitu Kubu Koalisi Merah Putih yang menguasai legislatif dan Kubu Indonesia Hebat yang menguasai eksekutif, ini adalah prestasi terbesar bangsa kita dalam bidang politik setelah 69 tahun Merdeka. Perpolitikan Indonesia menjadi seimbang dan lebih sederhana. Polarisasi menjadi 2 kekuatan terjadi secara sadar dan dalam demokrasi yang relatif sehat, berbeda dengan pengalaman di masa orde lama yang ditandai dengan multipartai dan penerapan demokrasi yang berubah ubah. Juga berbeda dengan orde baru yang “memaksakan” penyerderhanaan partai menjadi 3 partai saja. Dengan situasi politik seperti ini kita berharap bahwa kebijakan pro rakyat akan lebih banyak terwujud dan kita lebih optimis untuk meraih masa depan Indonesia yang lebih baik, lebih maju, amin.*
Makassar, 12 Oktober 2014
Syamsari, SPt, MM
S1 FAPET IPB, S2 MM UNHAS. Akktivis BangKit Institut