Keberadaan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai pendukung pemerintahan baru Jokowi JK di parlemen, menyita perhatian rakyat.
Selama ini, Jokowi-JK dan KIH yang mengaku didukung rakyat dan mengklaim mampu menggerakan rakyat lewat "people power", ternyata keok di parlemen.
Hal ini secara faktual sudah menggambarkan kekuatan real Jokowi-JK, tak hanya di parlemen, namun juga pada tataran rakyat pemilih.
Jika diibaratkan sebuah pertandingan, Koalisi Jokowi sudah menelan kekalahan sebanyak 5 kali dari KMP. Sehingga skor sementara adalah 5-0 untuk kemenangan KMP di parlemen.
Sayangnya, perjuangan untuk mensejahterakan rakyat, bukanlah sebuah permainan. Bukan pula sebuah pertandingan yang ditentukan oleh kalah-menang. Pemikiran sempit dan ambisi menguasai pemerintahan sekaligus parlemen, membuat KIH tergagap-gagap ketika berhadapan dengan KMP, yang di atas kertas sudah kalah di laga Pilpres kemarin.
PDI P sebagai pemenang pileg keburu bersorak sorai dan tak cepat beradaptasi dengan KMP yang secara matang sudah menyerap aspirasi rakyat saat kampanye pemilihan legislatif.
Juli silam, KMP sudah mengatur kekuatan dan mengungguli KIH dalam pengesahan UU MD3 yang menyebabkan PDI P sebagai pemenang pileg tak otomatis menduduki kursi Ketua DPR.
Pertengahan September, KMP kembali sukses menata Tatib DPR yang jelas sangat penting dalam menata parlemen.
Akhir September, diwarnai aksi walk out Fraksi Demokrat yang spektakuler itu, KMP memenangkan pengesahan UU Pilkada.
1 Oktober pemilihan pemimpin DPR. Paket KMP menang. Tanpa upaya yang berat karena KIH, yang sudah sadar akan kalah, melakukan walk out.
Satu momentum terbaik KIH saat pemilihan pemimpin MPR pun lepas. Itu pun tak luput dari kesalahan KIH yang terlalu percaya diri.
Klaim masuknya dukungan dari DPD dan PPP yang dianggap tergiur oleh tawaran kursi empuk di kabinet Jokowi, membuat KIH tak jeli meneliti senator-senator di DPD. Masih terkait DPD, kesalahan fatal lainnya, adalah KIH menganggap suara DPD pasti bulat mendukung koalisi yang dikomandani PDI P ini.
Dalam menghadapi kekalahan beruntun ini, KIH lebih suka menudingkan telunjuk pada pihak lain dan tetap mengklaim diri sebagai pihak yang didukung rakyat.
KIH lupa, rakyat Indonesia bukan saja mereka yang memilih Jokowi. Rakyat Indonesia adalah juga orang-orang yang merelakan diri diwakili oleh KMP plus rakyat yang sengaja tak menggunakan hak pilih mereka karena meragukan integritas kedua capres.
'Mengobral' kata rakyat secara berlebihan, justru memunculkan spekulasi tentang masa depan pemerintahan Jokowi-JK.
Kecurigaan bahwa pelantikan Jokowi akan digagalkan KMP yang ditiupkan oleh internal KIH semakin menguatkan pendapat bahwa kubu Jokowi lemah, rapuh dan ringkih, sehingga oleh karenanya membutuhkan kekuatan rakyat untuk melawan dominasi KMP yang sedianya menjadi penyeimbang pemerintah.
Sadar bahwa KMP didukung massa real yang kokoh dan solid, KIH berganti manuver. Kali ini melempar wacana pemakzulan Jokowi oleh MPR.
KIH tentu paham, dalam sistem presidensial yang sekarang berlaku, Posisi Presiden sangat kuat dan dijamin UUD. Presiden tidak bisa dijatuhkan DPR. Tapi, DPR juga kuat dan dijamin UUD pula. DPR memiliki hak-hak berkekuatan politik hebat, yang mampu membuat pemerintah kedodoran.
Jokowi-JK tak perlu takut dimakzulkan. Selain karena belum dilantik, Jokowi-JK tidak akan mengalami kesukaran untuk dapat tetap berada di posisi eksekutif selepas pelantikan nanti.
Meski sejujurnya, peta politik di Senayan masih sangat tak kondusif untuk mendukung dan membangun pemerintahan yang sukses, stabil, efektif dan produktif.
Kekuatan KMP menggalang mayoritas suara parlemen bisa melahirkan pemerintahan minoritas yang lemah. Inilah yang sejak awal harus dijaga oleh Jokowi - JK agar tidak membiarkan pemerintahannya kelak menjadi minoritas yang ringkih dan tak punya kuasa, baik di dalam parlemen maupun di dalam upaya membangun bangsa.
KMP, melalui Prabowo Subianto sudah berjanji mendukung Jokowi-JK dan KIH sepanjang mereka bekerja sungguh-sungguh, tak berkhianat pada rakyat dan tak menghamba pada kepentingan asing.
Dukungan KMP ini justru memberi penegasan bahwa fungsi check and balance yang dilakukan KMP sebagai oposisi akan dilakukan secara maksimal. Meminjam istilah anak muda Tanah Abang, "Meleng dikit, abis..!".
Kemunculan "playmaker" KIH yang berstamina memang sudah ditunggu-tunggu. Karena bila kondisi minim lobi dan komunikasi politik ini didiamkan, jelas akan menyulitkan pemerintah yang hanya ditopang minoritas di parlemen.
Membangun komunikasi yang baik, bukanlah dengan menggunakan kata rakyat sesering mungkin dan bersembunyi di baliknya ketika gagal.
Komunikasi itu bukanlah juga kegagahan memerintah rakyat untuk memberontak demi keuntungan partai memperoleh kuasa. Tidak..
Komunikasi dengan oposisi dan semua pihak yang saat ini nampak berseberangan dengan KIH, perlu dilakukan.
Jokowi dan KIH mesti ingat bahwa mereka dipilih hanya oleh 71 juta rakyat Indonesia yang menggunakan hak pilih. Sementara total jumlah penduduk di Indonesia, lebih dari 237 juta.
Menjaga amanah dari 71juta pemilih tentu tidak mudah. Sedikit saja kesalahan, pemilih Jokowi yang jumlahnya hanya 1/3 jumlah total rakyat, akan mencabut kepercayaan mereka pada Jokowi-JK dan membuat pemerintahan Jokowi-JK menjadi pemerintahan minoritas minus dukungan parlemen dan rakyat. (fs)
Selama ini, Jokowi-JK dan KIH yang mengaku didukung rakyat dan mengklaim mampu menggerakan rakyat lewat "people power", ternyata keok di parlemen.
Hal ini secara faktual sudah menggambarkan kekuatan real Jokowi-JK, tak hanya di parlemen, namun juga pada tataran rakyat pemilih.
Jika diibaratkan sebuah pertandingan, Koalisi Jokowi sudah menelan kekalahan sebanyak 5 kali dari KMP. Sehingga skor sementara adalah 5-0 untuk kemenangan KMP di parlemen.
Sayangnya, perjuangan untuk mensejahterakan rakyat, bukanlah sebuah permainan. Bukan pula sebuah pertandingan yang ditentukan oleh kalah-menang. Pemikiran sempit dan ambisi menguasai pemerintahan sekaligus parlemen, membuat KIH tergagap-gagap ketika berhadapan dengan KMP, yang di atas kertas sudah kalah di laga Pilpres kemarin.
PDI P sebagai pemenang pileg keburu bersorak sorai dan tak cepat beradaptasi dengan KMP yang secara matang sudah menyerap aspirasi rakyat saat kampanye pemilihan legislatif.
Juli silam, KMP sudah mengatur kekuatan dan mengungguli KIH dalam pengesahan UU MD3 yang menyebabkan PDI P sebagai pemenang pileg tak otomatis menduduki kursi Ketua DPR.
Pertengahan September, KMP kembali sukses menata Tatib DPR yang jelas sangat penting dalam menata parlemen.
Akhir September, diwarnai aksi walk out Fraksi Demokrat yang spektakuler itu, KMP memenangkan pengesahan UU Pilkada.
1 Oktober pemilihan pemimpin DPR. Paket KMP menang. Tanpa upaya yang berat karena KIH, yang sudah sadar akan kalah, melakukan walk out.
Satu momentum terbaik KIH saat pemilihan pemimpin MPR pun lepas. Itu pun tak luput dari kesalahan KIH yang terlalu percaya diri.
Klaim masuknya dukungan dari DPD dan PPP yang dianggap tergiur oleh tawaran kursi empuk di kabinet Jokowi, membuat KIH tak jeli meneliti senator-senator di DPD. Masih terkait DPD, kesalahan fatal lainnya, adalah KIH menganggap suara DPD pasti bulat mendukung koalisi yang dikomandani PDI P ini.
Dalam menghadapi kekalahan beruntun ini, KIH lebih suka menudingkan telunjuk pada pihak lain dan tetap mengklaim diri sebagai pihak yang didukung rakyat.
KIH lupa, rakyat Indonesia bukan saja mereka yang memilih Jokowi. Rakyat Indonesia adalah juga orang-orang yang merelakan diri diwakili oleh KMP plus rakyat yang sengaja tak menggunakan hak pilih mereka karena meragukan integritas kedua capres.
'Mengobral' kata rakyat secara berlebihan, justru memunculkan spekulasi tentang masa depan pemerintahan Jokowi-JK.
Kecurigaan bahwa pelantikan Jokowi akan digagalkan KMP yang ditiupkan oleh internal KIH semakin menguatkan pendapat bahwa kubu Jokowi lemah, rapuh dan ringkih, sehingga oleh karenanya membutuhkan kekuatan rakyat untuk melawan dominasi KMP yang sedianya menjadi penyeimbang pemerintah.
Sadar bahwa KMP didukung massa real yang kokoh dan solid, KIH berganti manuver. Kali ini melempar wacana pemakzulan Jokowi oleh MPR.
KIH tentu paham, dalam sistem presidensial yang sekarang berlaku, Posisi Presiden sangat kuat dan dijamin UUD. Presiden tidak bisa dijatuhkan DPR. Tapi, DPR juga kuat dan dijamin UUD pula. DPR memiliki hak-hak berkekuatan politik hebat, yang mampu membuat pemerintah kedodoran.
Jokowi-JK tak perlu takut dimakzulkan. Selain karena belum dilantik, Jokowi-JK tidak akan mengalami kesukaran untuk dapat tetap berada di posisi eksekutif selepas pelantikan nanti.
Meski sejujurnya, peta politik di Senayan masih sangat tak kondusif untuk mendukung dan membangun pemerintahan yang sukses, stabil, efektif dan produktif.
Kekuatan KMP menggalang mayoritas suara parlemen bisa melahirkan pemerintahan minoritas yang lemah. Inilah yang sejak awal harus dijaga oleh Jokowi - JK agar tidak membiarkan pemerintahannya kelak menjadi minoritas yang ringkih dan tak punya kuasa, baik di dalam parlemen maupun di dalam upaya membangun bangsa.
KMP, melalui Prabowo Subianto sudah berjanji mendukung Jokowi-JK dan KIH sepanjang mereka bekerja sungguh-sungguh, tak berkhianat pada rakyat dan tak menghamba pada kepentingan asing.
Dukungan KMP ini justru memberi penegasan bahwa fungsi check and balance yang dilakukan KMP sebagai oposisi akan dilakukan secara maksimal. Meminjam istilah anak muda Tanah Abang, "Meleng dikit, abis..!".
Kemunculan "playmaker" KIH yang berstamina memang sudah ditunggu-tunggu. Karena bila kondisi minim lobi dan komunikasi politik ini didiamkan, jelas akan menyulitkan pemerintah yang hanya ditopang minoritas di parlemen.
Membangun komunikasi yang baik, bukanlah dengan menggunakan kata rakyat sesering mungkin dan bersembunyi di baliknya ketika gagal.
Komunikasi itu bukanlah juga kegagahan memerintah rakyat untuk memberontak demi keuntungan partai memperoleh kuasa. Tidak..
Komunikasi dengan oposisi dan semua pihak yang saat ini nampak berseberangan dengan KIH, perlu dilakukan.
Jokowi dan KIH mesti ingat bahwa mereka dipilih hanya oleh 71 juta rakyat Indonesia yang menggunakan hak pilih. Sementara total jumlah penduduk di Indonesia, lebih dari 237 juta.
Menjaga amanah dari 71juta pemilih tentu tidak mudah. Sedikit saja kesalahan, pemilih Jokowi yang jumlahnya hanya 1/3 jumlah total rakyat, akan mencabut kepercayaan mereka pada Jokowi-JK dan membuat pemerintahan Jokowi-JK menjadi pemerintahan minoritas minus dukungan parlemen dan rakyat. (fs)