Pembangunan Giant Sea Wall Harus Dihentikan

Ilustrasi
Giant Sea Wall atau Tanggul Laut Raksasa (TLR), sebuah proyek ambisius senilai 600 Triliun telah dimulai pembangunannya pada 9 Oktober 2014.

Pembangunan tanggul sepanjang 32 km dibagi ke dalam tiga fase. Fase pertama ditargetkan selesai pada 2017, fase kedua selesai tahun 2030, dan fase ketiga akan dimulai setelah 2030.

TLR merupakan proyek unggulan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Proyek yang dikemas oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS) ini, tujuannya untuk menjadi proyek investasi swasta dan mendapatkan utang luar negeri.

Tulisan ini akan memberikan analisis singkat dampak proyek TLR.

Lima Masalah Jakarta Sebagai Kota Pesisir

TLR diklaim akan mampu mengatasi lima masalah utama yang dihadapi Kota Jakarta, yaitu sebagai berikut.

Pertama, masalah banjir yang akut baik karena sungai, maupun karena rob. Banjir disebabkan curah hujan yang tinggi yang tidak dapat diserap oleh permukaan tanah, ditambah dengan ruang terbuka hijau yang berada dibawah 30 persen.

Selain itu, banjir juga disebabkan karena rob, yaitu gelombang panjang dan fenomena alam biasa yang akan meningkat jika angin kencang bertiup kearah darat dan akibat perubahan iklim yang masih menjadi perdebatan. Rob menjadi banjir dengan adanya penurunan muka tanah ( land subsidence).

Jika ingin mengantisipasi banjir rob, yang dilakukan bukan dengan membangun TLR, melainkan cukup membangun tanggul di wilayah yang khusus bermasalah rob.

Kedua, adanya penurunan permukaan tanah (land subsidence) yang menjadi penyebab banjir. Penyebabnya adalah beban pembangunan Jakarta yang sangat tinggi serta alih fungsi lahan terbuka.

Sejak tahun 1984, telah terjadi alih fungsi lahan hijau ( hutan mangrove) secara masif. Alih fungsi ini terjadi akibat kebijakan pemerintah DKI Jakarta di tahun 1984 yang melepas kawasan hutan Angke Kapuk seluas 831,63 hektar untuk dialihfungsikan sebagai kawasan perumahan, lapangan golf, kondominium dan fasilitas lainnya.

Ketiga, lahan yang terbatas akibat populasi dan bangunan yang padat yang berusaha diatasi dengan reklamasi 17 pulau. Proyek TLR juga ditujukan untuk melindungi reklamasi di Teluk Jakarta.

Perlu diketahui, sejak tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup telah menyatakan bahwa reklamasi di Teluk Jakarta tidak layak secara lingkungan. Namun secara hukum keputusan tersebut dinyatakan tidak berlaku karena KLH tidak berwenang mengeluarkan keputusan tersebut.

Tetapi secara substansi, keputusan ketidaklayakan lingkungan tersebut tetap berlaku. Perlindungan tanggu laut yang dibangun untuk proyek reklamasi adalah logika bisnis properti sehingga merupakan solusi yang keliru untuk melindungi masalah yang keliru.

Keempat, akses air minum dan air bersih yang mahal, susah dan langka. TLR tidak menjawab dua akar masalah utama kelangkaan air di Jakarta. Pertama, air bersih di Jakarta merupakan masalah ekonomi politik globalisasi karena terjadi pengalihan kewajiban pemenuhan hak rakyat atas air dari pemerintah kepada swasta. Kedua, air tanah dikeruk secara illegal oleh sektor industri, yang berpotensi merugikan keuangan negara dengan tidak membayar pajak penggunaan air tanah.

Kelima, pencemaran lingkungan yang terjadi akibat dari buangan limbah domestik yang masuk melalui muara 13 sungai di Jakarta.

Masalah ini menyebabkan terjadinya kematian massal ikan di Teluk Jakarta. Jika hal ini tetap terjadi maka TLR adalah solusi yang salah, karena malah akan meningkatkan pencemaran Teluk Jakarta. Salah satu penyebabnya, TLR akan menghalangi jalur air sungai yang tertahan sehingga akan terjadi eutrofikasi atau pembusukan air tawar yang terjadi di dalam tanggul.

Jika ingin menghentikan pencemaran lingkungan, permasalahan di hulu harus diselesaikan disertai penegakan hukum terhadap pelaku.
Kelima permasalahan tersebut merupakan permasalahan lama yang sebenarnya terjadi karena persoalan tata kelola kota yang tidak terkonsep, dan tidak mempunyai arah kebijakan penataan kota yang jelas.

TLR merupakan solusi instan yang dipaksakan pemerintah, namun sesungguhnya, alih-alih menyelesaikan, TLR justru akan menambah masalah.

Masalah yang Akan Ditimbulkan Giant Sea Wall (TLR)

Menteri Lingkungan Hidup telah menyatakan bahwa proyek TLR tidak memiliki izin lingkungan dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menyatakan, TLR tidak dapat mengatasi banjir, bahkan justru menurunkan kualitas air, meningkatkan muka air laut, dan merusak lingkungan.

Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto menyatakan belum ada studi yang terintegrasi terhadap Giant Sea Wall.

KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) memberikan data bahwa TLR akan menggusur 16.855 nelayan Jakarta, baik yang menetap maupun pendatang.

Dari banyak pernyataan kontra tersebut, jelas proyek pembangunan TLR melanggar beberapa aspek prinsip lingkungan hidup, antara lain prinsip kehati-hatian ( the precautionary principle) dan prinsip tindakan pencegahan (preventive action principle).

Pertama, prinsip kehati-hatian mutlak berlaku ketika ada ancaman kerusakan lingkungan yang berat dan terjadi keragu-raguan. Keraguan bahkan muncul dari PLT Gubernur DKI Jakarta setelah melihat langsung kegagalan proyek bendungan laut Semaguem di Korea Selatan.

Namun belakangan Ahok ingin menjadikan bendungan laut di Rotterdam Belanda sebagai referensi untuk memuluskan proyek TLR.

Namun perlu diingat, ada perbedaan besar antara Belanda yang berada di kawasan sub-tropis dengan Indonesia yang berada di perairan tropis. Nilai ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem pesisir sub-tropis tidaklah setinggi nilai ekosistem pesisir tropis. Oleh karena itu, pendekatan reklamasi dan pembangunan tembok raksasa di Teluk Jakarta juga menjadi tidak relevan dan lemah secara argumentasi ketika harus mengorbankan ekosistem pesisirnya.

Menyikapi hal ini, pembuat kebijakan harus kembali pada pertimbangan kepentingan kelestarian lingkungan ( ind dubio pro natura).

Kedua, pelanggaran terhadap prinsip tindakan pencegahan. Dalam prinsip ini, pembuat kebijakan harus melakukan tindakan intervensi berupa tindakan pencegahan sebelum pencemaran atau kerusakan lingkungan terjadi.

Prinsip ini muncul karena ancaman kerusakan lingkungan dipandang sebagai ancaman yang nyata, sehingga tindakan pencegahan pada saat yang tepat dipandang perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya pencemaran.

Sesuai dengan penjelasan diatas, reklamasi di Teluk Jakarta telah dinyatakan tidak layak untuk diteruskan. Karena itu, pembangunan TLR sebagai pelindung reklamasi Jakarta juga tidak layak.

Lalu Apa Solusinya?

Secara umum, tata kelola lingkungan telah memberikan banyak kerangka untuk perlindungan lingkungan. Pertama, dimulai dari KLHS sebagai penilaian daya dukung dan daya tampung lingkungan, walaupun hingga hari ini Pemerintahan SBY masih mangkir dengan tidak mengeluarkan peraturan teknisnya.

KLHS wajib untuk dilakukan sebelum merumuskan peraturan mengenai penataan ruang. Pemerintah DKI Jakarta seharusnya menjadikan KLHS sebagai penilaian ekologis pembangunan Teluk Jakarta.

Kedua, proses KLHS wajib melibatkan partisipasi dari seluruh masyarakat khususnya masyarakat yang terkena dampak yaitu masyarakat pesisir.

Partisipasi masyarakat yang optimal dalam melakukan mitigasi dan pengurangan resiko bencana seharusnya dilakukan sebagai upaya perlindungan. Masyarakat pesisir sebagai bagian yang akan terdampak buruk dengan adanya TLR seharusnya dilibatkan dalam mengambil keputusan.

Pelibatan tersebut tidak sekedar perwakilan RT atau RW namun setiap laki-laki dan perempuan harus dilibatkan dalam prosesnya sehingga berkeadilan gender.

Ketiga, melakukan evaluasi dan audit lingkungan hidup, serta dan menghentikan proyek bisnis dan pembangunan yang selama ini mengeksploitasi dan merusak lingkungan.

Proyek-proyek tersebut berupa reklamasi teluk Jakarta, privatisasi pengelolaan air bersih, pengambilan air tanah secara berlebih, serta pembangunan pusat-pusat perbelanjaan. (ha/fs)

http://www.lesprivatkasiva.com/

Baca juga :