PDI P dan Jokowi, Konsisten dalam Inkonsistensi

Kegembiraan rakyat menemukan sosok pemimpin baru negeri, nampaknya akan segera berakhir.

Pertunjukan sirkus politik yang dipertontonkan oleh anggota dewan asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) sudah membuat sebagian rakyat yang membela dan berharap kepada PDI P dan Jokowi, mulai kecewa.

PDI P dan Jokowi yang awalnya menjanjikan perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan negara,  berubah menjadi sebuah kekuatan yang bergerak hanya mengejar kuasa semata.

Jika saja bangsa ini  mau jujur, sebenarnya sikap PDI P dan Jokowi tak pernah berubah.

"Sikap mereka (Jokowi dan PDI P) selalu inkonsisten", tegas Aryo Djojohadikusumo.

Sikap inkonsisten PDI P mulai terlihat ketika tiba-tiba PDI P meminta SBY menaikkan BBM bersubsidi.

PDI P yang selama ini menentang kenaikan harga BBM dengan dalih memberatkan rakyat, tiba-tiba meminta Presiden SBY menaikkan BBM bersubsidi sebelum Jokowi dilantik.

Tentu saja hal ini ditolak Presiden SBY. SBY cukup paham dengan trik PDI P yang ingin "main bersih" dan tak ingin kehilangan simpati rakyat.

Permintaan kenaikan BBM bersubsidi ini adalah bukti pertama inkonsistensi Jokowi dan PDI P pada janji kampanye mereka.

Bukti kedua adalah mengenai postur kabinet. Di beberapa kesempatan, Jokowi mengejek postur kabinet SBY yang tambun. Jokowi pun berjanji untuk membuat postur kabinet yang ramping untuk mengefisienkan APBN.

Kenyataannya? Postur kabinet Jokowi sama tambunnya dengan kabinet SBY, sejumlah 34 kementerian.

Seperti biasa, ketika rakyat menggugat, PDI P dan Jokowi bersilat lidah. Mengatakan bahwa bila merampingkan kabinet berpotensi menimbulkan kekacauan pada jajaran birokrasi di kementerian tersebut.

Mengapa hal ini baru terpikirkan sekarang dan bukan saat kampanye? Jokowi tentu tahu persis efek efisiensi dan peleburan kementerian. Lalu apa maksud janji kampanye dengan kabinet ramping? Sekedar jualan kata "hemat dan efisien" belaka kah?

Bukti ketiga, gugatan mengenai Pilkada tak langsung. Dalam beberapa sesi kampanye, Jokowi menekankan pentingnya penghematan biaya pemilu. Dan Jokowi bahkan mengutip pemahaman Soekarno mengenai Pilkada tak langsung.

Namun dalam praktek politik untuk menguasai negeri, PDI P tak mungkin gunakan sistem pemilu tak langsung.

Karenanya setelah DPR memutuskan pengesahan UU Pilkada, yang hasilnya tak menguntungkan bagi kubu  PDI P, partai berlambang banteng itu merasa perlu mengajak rakyat menggugat keputusan tersebut.

Fakta keempat, gugatan kepada Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi UU MD3.

Ya, MK memang menolak judicial review UU MD3 yang selalu diributkan oleh PDI P. Akibatnya, hakim-hakim MK yang memenangkan Jokowi saat gugatan Pemilu kemarin, kena batunya.

Hakim-hakim yang ketika memenangkan Jokowi, dinilai sangat adil dan jujur, kini dituduh pro KMP. Dengan gagah, PDI P menggugat 7 hakim MK yang menolak uji materi tersebut.

Bukti inkonstitensi PDI P paling mutakhir adalah upaya menggaet Partai Demokrat untuk bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat.

Ini upaya paling memilukan, sekaligus memalukan. Dalam 10 tahun kepemimpinan SBY, PDI P selalu berdiri menyerang tiap kebijakan SBY. Selama 10tahun itu juga, Megawati ogah datang ke Istana untuk kepentingan apapun. Mengapa sekarang mengemis-ngemis agar SBY mau meminta Fraksi Demokrat bergabung ke Koalisi bentukan PDI P?

Lucunya, meski PDI P sudah terjepit habis, Megawati masih enggan bertemu langsung dengan SBY. Mega hanya mengutus kader-kader terbaiknya untuk menemui SBY. Sudah terjepit pun masih arogan.

Kegagalan lobi PDI P tersebut menyebabkan Koalisi tersebut kalah suara dalam menentukan pemimpin DPR. Akibatnya, aleg-aleg PDI P membuat kericuhan di ruang sidang paripurna.

Tentu masih akan ada lebih banyak lagi bukti inkonsistensi PDI P dan Jokowi. Mari kita lihat bersama.

Setidaknya, kini rakyat makin mampu melihat bukti-bukti bahwa PDI P dan Jokowi tak pernah konsisten membela kepentingan rakyat, melainkan hanya haus mengejar kuasa. (fs)


Baca juga :