Meski sering disebut sebagai bangsa pelupa, mungkin masih banyak di antara kita yang tidak lupa ketika pada 1997 tiba-tiba Menteri Penerangan (Menpen) Harmoko dicopot oleh Presiden Soeharto.
Setelah berhasil mengantarkan Golkar menjadi pemenang pemilu (1997) dengan kisaran kemenangan 73%, Ketua Umum Golkar yang juga Menteri Penerangan (Menpen) itu pada Juni 1997 dicopot dari jabatannya sebagai Menpen.
Presiden Soeharto tiba-tiba melakukan reshuffle kecil, mencopot Harmoko dan mengangkat Kepala Staf Angkatan Darat Hartono sebagai Menpen.
Harmoko sendiri kemudian diparkir, diangkat menjadi menteri urusan khusus tanpa menyebut khusus untuk apa. Biasanya kalau ada urusan khusus, kekhususannya disebutkan secara eksplisit, tetapi untuk Menteri Urusan Khusus Harmoko tidak disebutkan apa tugas khususnya.
Ketika masyarakat sedang ribut dan bertanya-tanya tentang peristiwa politik itu, tiba-tiba ada peristiwa baru. Menpen yang baru, Hartono, mengumumkan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang sudah disetujui dalam sidang paripurna DPR saat Harmoko menjadi Menpen akan direvisi dan dibahas lagi dengan DPR karena Presiden tidak setuju pada sebagian isinya. Presiden tidak mau menandatangani RUU itu sebelum isinya diperbaiki. Masyarakat pun ribut.
Harmoko menjelaskan, RUU itu sudah dibahas secara intensif oleh pemerintah bersama DPR selama delapan bulan. Kata Harmoko dirinya, selaku Menpen, mewakili pemerintah dengan sebuah amanat presiden (ampres) untuk membahas RUU itu sampai akhirnya disepakati bersama DPR. Kok, tiba-tiba Presiden meminta menpen yang baru untuk membahasnya kembali bersama DPR?
Anggota DPR dari PPP Aisyah Amini berteriak, ”Tak ada mekanisme pembahasan kembali kalau sudah disetujui pemerintah dan DPR.”
Tapi karena waktu itu kekuatan Presiden sangat hegemonik, DPR yang diketuai Kharis Suhud tak dapat mengelak dan membahas kembali RUU itu bersama Menpen Hartono dan mengubah sebagian isinya. Setelah itu, barulah Presiden Soeharto menandatangani RUU itu menjadi undang-undang (UU).
Diam-diam masyarakat pun menyimpan trauma. Karena trauma, tak lama setelah Reformasi, pada saat melakukan amendemen tahap kedua atas UUD 1945 MPR menambahkan ayat baru atas Pasal 20 UUD 1945, yakni ayat (5) yang menegaskan, ”Jika dalam 30 hari setelah disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah sebuah RUU tidak ditandatangani oleh presiden, maka RUU itu sah sebagai UU dan harus diundangkan.”
Jadi sejarah lahirnya Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 adalah untuk memagari agar presiden tidak punya pintu untuk menolak sebuah RUU yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan tidak mau menandatanganinya.
Maka itu menjadi menghebohkan ketika pada 26 September 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dari Washington DC, menyatakan (mungkin) dirinya tidak akan menandatangani RUU tersebut, bahkan mungkin akan menempuh jalur hukum ke MK atau ke MA.
Mensesneg Sudi Silalahi pun, kalau pers tak salah kutip, membuat pernyataan aneh saat menegaskan, ”RUU tak bisa berlaku menjadi UU kalau tidak ditandatangani oleh Presiden.”
Agak mengherankan, Presiden dan Mensesneg, saat itu, tak mengaitkan sama sekali pernyataannya dengan Pasal 20 ayat (5) dan sejarah yang melatarbelakanginya baik sebagai tafsir gramatis maupun sebagai tafsir historis.
Lebih jauh dari itu, saat bertemu khusus dengan Yusril Ihza Mahendra di Tokyo, Presiden SBY meminta saran kepada pakar hukum tata negara tersebut. Saran Yusril mengagetkan juga, yakni agar Presiden SBY maupun Jokowi tidak menandatangani RUU tersebut. Bahkan, masih saran Yusril, setelah dilantik sebagai presiden Jokowi mengembalikan saja RUU itu ke DPR.
Saya berbeda pendapat dengan Yusril. Menurut saya saran Yusril agar Jokowi mengembalikan RUU itu ke DPR bisa memasukkan Jokowi ke dalam situasi sulit. Presiden (SBY maupun Jokowi) boleh saja tidak menandatangani sebuah RUU, sebab berdasar Pasal 20 ayat (5) sebuah RUU bisa berlaku sah sebagai UU baik ditandatangani maupun tidak ditandatangani oleh presiden
Tapi kalau mengembalikan sebuah RUU yang sudah disepakati bersama bisa diartikan presiden menggunakan kewenangannya dengan melanggar hak konstitusional DPR. Hal itu bisa menimbulkan sengketa kewenangan yang bisa berujung ke pendakwaan politik (impeachment). Pandangan saya ini tentu bisa diperdebatkan.
Untungnya, masalahnya kini telah bergeser. Presiden SBY pada 2 Oktober 2014 telah menandatangani RUU tersebut sekaligus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang membatalkannya.
Secara yuridis prosedural, presiden tidak salah mengeluarkan perppu karena kewenangan untuk itu memang diberikan oleh Pasal 22 UUD 1945. Perppu adalah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis setingkat dengan UU. Tapi, meski setingkat dengan UU, karena dibuat dalam keadaan genting dan memaksa, keberlakuan perppu dibatasi hanya sampai masa sidang DPR berikutnya.
Dalam masa keberlakuannya itu perppu bisa diuji melalui legislative reviwew atau political review di DPR untuk ditentukan, apakah akan disetujui menjadi UU ataukah akan ditolak.
Seperti halnya UU, perppu yang masih harus diuji di DPR tersebut bisa juga diuji ke MK melalui judicial review. (fs)
Setelah berhasil mengantarkan Golkar menjadi pemenang pemilu (1997) dengan kisaran kemenangan 73%, Ketua Umum Golkar yang juga Menteri Penerangan (Menpen) itu pada Juni 1997 dicopot dari jabatannya sebagai Menpen.
Presiden Soeharto tiba-tiba melakukan reshuffle kecil, mencopot Harmoko dan mengangkat Kepala Staf Angkatan Darat Hartono sebagai Menpen.
Harmoko sendiri kemudian diparkir, diangkat menjadi menteri urusan khusus tanpa menyebut khusus untuk apa. Biasanya kalau ada urusan khusus, kekhususannya disebutkan secara eksplisit, tetapi untuk Menteri Urusan Khusus Harmoko tidak disebutkan apa tugas khususnya.
Ketika masyarakat sedang ribut dan bertanya-tanya tentang peristiwa politik itu, tiba-tiba ada peristiwa baru. Menpen yang baru, Hartono, mengumumkan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang sudah disetujui dalam sidang paripurna DPR saat Harmoko menjadi Menpen akan direvisi dan dibahas lagi dengan DPR karena Presiden tidak setuju pada sebagian isinya. Presiden tidak mau menandatangani RUU itu sebelum isinya diperbaiki. Masyarakat pun ribut.
Harmoko menjelaskan, RUU itu sudah dibahas secara intensif oleh pemerintah bersama DPR selama delapan bulan. Kata Harmoko dirinya, selaku Menpen, mewakili pemerintah dengan sebuah amanat presiden (ampres) untuk membahas RUU itu sampai akhirnya disepakati bersama DPR. Kok, tiba-tiba Presiden meminta menpen yang baru untuk membahasnya kembali bersama DPR?
Anggota DPR dari PPP Aisyah Amini berteriak, ”Tak ada mekanisme pembahasan kembali kalau sudah disetujui pemerintah dan DPR.”
Tapi karena waktu itu kekuatan Presiden sangat hegemonik, DPR yang diketuai Kharis Suhud tak dapat mengelak dan membahas kembali RUU itu bersama Menpen Hartono dan mengubah sebagian isinya. Setelah itu, barulah Presiden Soeharto menandatangani RUU itu menjadi undang-undang (UU).
Diam-diam masyarakat pun menyimpan trauma. Karena trauma, tak lama setelah Reformasi, pada saat melakukan amendemen tahap kedua atas UUD 1945 MPR menambahkan ayat baru atas Pasal 20 UUD 1945, yakni ayat (5) yang menegaskan, ”Jika dalam 30 hari setelah disepakati bersama oleh DPR dan pemerintah sebuah RUU tidak ditandatangani oleh presiden, maka RUU itu sah sebagai UU dan harus diundangkan.”
Jadi sejarah lahirnya Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 adalah untuk memagari agar presiden tidak punya pintu untuk menolak sebuah RUU yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan tidak mau menandatanganinya.
Maka itu menjadi menghebohkan ketika pada 26 September 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dari Washington DC, menyatakan (mungkin) dirinya tidak akan menandatangani RUU tersebut, bahkan mungkin akan menempuh jalur hukum ke MK atau ke MA.
Mensesneg Sudi Silalahi pun, kalau pers tak salah kutip, membuat pernyataan aneh saat menegaskan, ”RUU tak bisa berlaku menjadi UU kalau tidak ditandatangani oleh Presiden.”
Agak mengherankan, Presiden dan Mensesneg, saat itu, tak mengaitkan sama sekali pernyataannya dengan Pasal 20 ayat (5) dan sejarah yang melatarbelakanginya baik sebagai tafsir gramatis maupun sebagai tafsir historis.
Lebih jauh dari itu, saat bertemu khusus dengan Yusril Ihza Mahendra di Tokyo, Presiden SBY meminta saran kepada pakar hukum tata negara tersebut. Saran Yusril mengagetkan juga, yakni agar Presiden SBY maupun Jokowi tidak menandatangani RUU tersebut. Bahkan, masih saran Yusril, setelah dilantik sebagai presiden Jokowi mengembalikan saja RUU itu ke DPR.
Saya berbeda pendapat dengan Yusril. Menurut saya saran Yusril agar Jokowi mengembalikan RUU itu ke DPR bisa memasukkan Jokowi ke dalam situasi sulit. Presiden (SBY maupun Jokowi) boleh saja tidak menandatangani sebuah RUU, sebab berdasar Pasal 20 ayat (5) sebuah RUU bisa berlaku sah sebagai UU baik ditandatangani maupun tidak ditandatangani oleh presiden
Tapi kalau mengembalikan sebuah RUU yang sudah disepakati bersama bisa diartikan presiden menggunakan kewenangannya dengan melanggar hak konstitusional DPR. Hal itu bisa menimbulkan sengketa kewenangan yang bisa berujung ke pendakwaan politik (impeachment). Pandangan saya ini tentu bisa diperdebatkan.
Untungnya, masalahnya kini telah bergeser. Presiden SBY pada 2 Oktober 2014 telah menandatangani RUU tersebut sekaligus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang membatalkannya.
Secara yuridis prosedural, presiden tidak salah mengeluarkan perppu karena kewenangan untuk itu memang diberikan oleh Pasal 22 UUD 1945. Perppu adalah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis setingkat dengan UU. Tapi, meski setingkat dengan UU, karena dibuat dalam keadaan genting dan memaksa, keberlakuan perppu dibatasi hanya sampai masa sidang DPR berikutnya.
Dalam masa keberlakuannya itu perppu bisa diuji melalui legislative reviwew atau political review di DPR untuk ditentukan, apakah akan disetujui menjadi UU ataukah akan ditolak.
Seperti halnya UU, perppu yang masih harus diuji di DPR tersebut bisa juga diuji ke MK melalui judicial review. (fs)