Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
BEBERAPA hari lagi, tepatnya pada 20 Oktober 2014, Indonesia akan memiliki presiden dan wakil presiden baru yaitu Jokowi-Jusuf Kalla. Artikel ini merupakan “ijtihad” kondisi politik terhadap apa saja yang akan terjadi di dalam beberapa tahun mendatang di dalam pemerintahan Jokowi-JK. Adapun pendukung utama Jokowi-JK tidak berada di samping kedua mereka, melainkan berada persis di belakang rakyat. Maksudnya, apa pun dan siapa pun yang memiliki kepentingan pada pemerintah baru RI ini akan selalu mengedepankan rakyat. Setelah pendukung utama, baru kemudian para pemilik modal dan pemilik media massa.
Jika ditarik garis lurus, maka Jokowi dan JK berada di tengah-tengah. Di ujung spektrum ada kepentingan ideologis yang ingin mengontrol wilayah NKRI. Adapun di pangkal spektrum, kepentingan penggerak dari kepentingan yang ingin mengontrol NKRI, mereka berada persis di belakang rakyat. Di sini, rakyat telah dikondisikan untuk mendukung Jokowi-JK oleh para pihak yang memiliki modal dan ideologi yang sehaluan dengan ideologi PDIP, minus Islam. Tepat di hadapan di antara rakyat dan Jokowi-JK ada media, yang berfungsi sebagai jembatan citra mereka.
Hal ini tentu berbeda dengan pola pemerintahan SBY-Boediono, di mana media dan rakyat dipisahkan oleh politik pencitraan SBY. Media seolah-olah bersatu dengan rakyat untuk melawan citra SBY. Adapun di ujung spektrum pemerintah SBY, terdapat para pihak yang ingin mengontrol Indonesia agar tidak menjadi kekuatan baru di Asia Tenggara. Akibatnya, apa pun yang dilakukan oleh SBY selalu dipandang “salah” oleh media. Sehingga rakyat harus memiliki logika terbalik di dalam memahami sepak-terjang SBY selama 10 tahun terakhir.
Sebaliknya, modal Jokowi-JK sangat besar di dalam memimpin Indonesia hari ini. Karena modal, media, dan rakyat telah diblender menjadi satu dalam wujud “Jokowi-JK adalah Kita”. Hanya saja, gerbong ideologi yang menandu mereka, bukanlah partai-partai yang berpengalaman di dalam mengelola pemerintahan. PDIP adalah partai yang melanjutkan gagasan-gagasan besar Soekarno. Oleh karena itu, sangat mungkin digiring pada model pemerintahan Orde Lama melalui bayang-bayang Soekarno via Megawati.
Kultus individu
Satu ciri khas Orde Lama adalah kultus individu yang berlebihan terhadap Soekarno dan manajemen dukungan rakyat yang dikelola secara sistematik. Di samping itu, Soekarno memiliki gagasan besar tentang Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis). Dia digilas karena memberikan peluang amat besar bagi keberadaan komunis di Indonesia. Saat ini, posisi Jokowi melalui media darling hampir masuk pada fase kultus individu, di mana apa pun yang dilakukan oleh Jokowi seakan-akan mendapat restu dari rakyat. Medialah yang mengontrol dan mengkatrol citra Jokowi seperti ini. Rakyat tinggal mengamini saja.
Karena itu, kejatuhan Jokowi-JK nantinya sangat mungkin jika media menarik diri dari pencitraan Jokowi. Sejauh ideologi yang diusung oleh Jokowi menguntungkan para pihak di belakang media dan para pihak di ujung spektrum kepemimpinan mereka, dapat dipastikan mereka akan selamat sampai 2019. PDIP tentu saja akan mendapat dukungan penuh dari kelompok pebisnis dan non-Muslim. PDIP lebih nyaman berbicara nasionalisme murni minus Islam.
Pada awal reformasi telah ditandai oleh kemunculan kelompok nasionalisme-religius melalui Poros Tengah. PDIP harus menelan pil pahit pada 1999, ketika Megawati dihadang untuk tidak menjadi presiden RI. Kini, Koalisi Merah Putih (KMP) boleh jadi merupakan wujud dari Poros Tengah pada 1999.
Saat ini, blok Timur dan Barat sangat mendukung Jokowi-JK. Tentu saja, Jokowi-JK akan ditunggu pada 2015-2016 di tikungan pertama pemerintahan. Berbagai proposal kepentingan masing-masing blok akan diajukan pada tahun depan. Kemudian pada 2017-2018, nasib pemerintahan Jokowi-JK sangat ditentukan oleh respons mereka akan proposal kepentingan dalam dan luar negeri. Gelagat ini tentu saja sudah diprediksi sejak 2012, ketika Jokowi dibicarakan oleh pihak luar sebagai calon presiden yang diterima oleh rakyat. Untuk menghadap upaya tersebut, KMP akan memainkan peran mereka di parlemen. Harus diakui bahwa nasib rakyat dan pola pemerintahan di Indonesia masih diramu di Senayan, ketimbang di gedung-gedung kementerian.
Satu upaya KMP adalah mengembalikan kedaulatan rakyat ke parlemen sampai ujung 2019. Pengalaman RUU Pilkada adalah sinyal kuat arah politik KMP. Seolah-olah rakyat akan ditinggalkan sementara sampai 2019, sambil menanti presiden baru pada 2019. Perlawanan terhadap KMP tentu akan muncul dari kelompok pemodal dan pemilik media yang mendukung Jokowi, baik di level nasional maupun internasional, untuk terus menggiring Indonesia pada konsep demokrasi. Karena itu, hantaman terhadap KMP dan SBY akan terus dijalankan. Akan muncul istilah di kalangan para pengamat bahwa KMP dan SBY anti-demokrasi.
Dapat diprediksi bahwa krisis turbulensi ekonomi Indonesia akan terjadi pada akhir 2017. Pada awal tahun berikutnya, pemerintahan Jokowi-JK menghadapi ujian dari kepentingan global, di samping dari KMP. Namun, karena pendukung utama adalah kelompok Kristen Evangelikalisme yang memiliki pengaruh di Asia Pasifik, dipastikan Jokowi-JK akan diamankan sampai 2019. Pola saling membocorkan rahasia dan saling sikat oleh negara-negara tetangga terhadap Indonesia akan lebih ditujukan pada KMP, ketimbang pada Jokowi-JK.
Di satu sisi, rakyat ditampilkan sosok Jokowi sebagai “Ratu Adil”, di sisi lain NKRI terus ditampilkan sebagai negara yang tidak demokratis. Dengan begitu, mendukung Jokowi sama dengan Indonesia menuju negara demokratis. Perang urat syaraf ini akan terjadi sampai nanti Jokowi benar-benar menjadi sosok “Ratu Adil” hingga 2017.
Ujian berat
Sebaliknya, bagi para pihak yang pandai meraba tanda-tanda zaman, terutama di kalangan kelompok ultra-nasionalis-religius, upaya tersebut mengancam kesatuan NKRI. Inilah ujian terberat dalam sejarah politik di Indonesia. Upaya untuk menggulingkan Jokowi-JK boleh jadi akan dilakukan. Jadi, manakala “Ratu Adil” lulus dalam ujian lima tahun ke depan, sangat mungkin, Jokowi akan naik lagi pada 2019 bersama seorang anggota inti dari PDIP.
Saat ini, strategi kelompok ultra-nasionalis yang mengawal NKRI, akan bermain di dua kaki. Mereka akan berada di KMP dan sekaligus berada di barisan Jokowi-JK. Satu “korban” pengawalan NKRI adalah penentuan “nasib” SBY di tangan pemerintahan Jokowi-JK. Rumor SBY menjadi Sekjen PBB dan berbagai keberhasilannya selama memimpin Indonesia, tentu saja akan dipertaruhkan dalam roda pemerintahan Jokowi-JK. Karena itulah, ada upaya untuk menjadikan SBY sebagai “pandita” sekaligus sebagai “musuh bersama” dalam menyusun strategi oleh kelompok ultra-nasionalis.
Akhirnya, artikel ini hanya sekelumit bacaan yang belum tentu benar. Namun melalui kacamata fenomenologi politik, situasi politik di Indonesia sebenarnya tidaklah sulit untuk dibaca, walaupun realitas politik sengat rumit sekali. Kita berharap analisa ini dapat menjadi renungan bagi rakyat yang sedang mendapatkan pendidikan politik dari Jakarta. Semoga pendidikan tersebut mencerahkan Indonesia, bukan menenggelamkan negara ini secara perlahan-lahan.
*Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Ph.D., Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: abah.shatilla@gmail.com
(sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/10/08/membaca-nasib-pemerintahan-jokowi-jk)