Sore itu saya kedatangan tamu, 2 orang ibu. Kebetulan dua orang yang juga temanku itu sudah saling kenal. Lama mereka tidak bertemu. Ketika dua orang teman yang lama tidak bertemu, tentu banyak bahan obrolan yang bisa diperbincangkan..Mulai dari anak, suami, mertua, pekerjaan, kesehatan dan seterusnya.
“Suami di mana sekarang?”
“Di Jakarta”.
“Mengapa tidak ikut saja ke sana?
“Nggak, biaya hidup di sana ‘kan cukup tinggi”.
Begitulah antara lain obrolan mereka. Ibu yang suaminya kerja di Jakarta itu sekarang tinggal bersama mertuanya, dengan anak-anaknya pula. Obrolan terus berlanjut.
“Saya sebenarnya kasihan dengan suami saya. Sering sakit-sakitan. Sering opname. Badannya semakin kurus. Saya kasihan, ketika sakit tidak ada yang merawatnya. Makanya saya minta suami saya untuk menikah lagi. Biar ada yang merawatnya”, katanya.
Ibu satunya yang diajak bicara terbelalak. Seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan temannya itu. Sementara temanku yang satunya, yang suaminya disuruh menikah lagi itu ekpresinya biasa saja. Dia mengatakan dengan santainya.
“Di sana ‘kan banyak akhwatnya. Banyak yang belum menikah. Saya iklhas koq, penghasilan suami saya dibagi dua. Misalnya sebulan dapat dua juta, saya satu juta, istri yang di sana juga satu juta. Cukup. Uang 600 ribu saja cukup untuk satu bulan”, katanya. Argumen yang masuk akal.
“Kalau begitu, bukan cara menyelesaikan masalah Bu. Nanti kalau punya anak, terus gimana? Penghasilannya tidak cukup lagi untuk beaya hidup”.kata temanku
“Kalau begitu istrinya 3”, kataku.
“Istri yang kedua dipulangkan dulu”’ kata temanku.
Tawa kami pun berderai sore itu. Mentertawakan sesuatu yang kadang sensitif untuk dibicarakan. Ya, teman saya menyikapi poligami dengan santainya. Bukan tidak serius. Saya tahu teman saya itu serius. Tulus. Bukan hanya satu kali ini saya mendengar tentang usulan kepada suaminya itu. Berkali-kali dalam suatu pertemuan dia bilang seperti itu.
“Saya berpikirnya simpel saja koq bu. Yang penting ada yang merawat. Saya berpikir sederhana saja”, katanya.
“Terus bagaimana reaksi suami?”, kata temanku satunya.
“ Dia malah bilang, mengapa sih Umi nyuruh-nyuruh nikah terus”.
Bagaimana reaksi suaminya? Sampai saat ini suaminya belum tergerak untuk menikah lagi. Mungkin tawaran yang tulus dari istrinya itu akan disikapi lain oleh lelaki pada umumnya. Suaminya itu beralasan, katanya secara ekonomi dia tidak mampu. Tapi saya koq tidak yakin, apakah nanti setelah ekonominya mapan, dia akan menikah lagi. Mengikuti saran istrinya itu. Istri yang sebaik itu.
“Kalau suamiku malah bilang, jangan bercanda, nanti malah beneran lo”, kata temanku satunya. Seorang ibu yang hebat pula. Dia juga “single parents”. Dia merelakan suaminya meninggalkan anak dan istrinya. Mencari nafkah di negeri orang. Dia juga tinggal bersama mertuanya dan anak-anaknya yang masih kecil.
“Hebat Bu. Njenengan ditinggal suami, merawat sendiri anak-anak yang masih kecil”, kataku pada temanku yang suaminya merantau ke luar negeri itu
“Ya justru saya yang harus berterima kasih pada suami. Soalnya dia melakukan itu untuk membantu sekolah adik-adik saya. Juga ibu saya yang sakit.. Kalau untuk menghidupi keluarga sendiri saja Insya Alloh sudah cukup di sini”, katanya.
Subhanalloh, seorang ibu yang hebat, yang rela tidak bermanja-manja dengan suaminya. Yang berusaha untuk tidak terlalu tergantung pada suaminya. Demi baktinya pada ibu dan keluarganya.
Saya jadi ingat cerita tentang seorang perempuan. Ketika suaminya yang anak seorang petani miskin diterima sebagai PNS, ia justru tidak mendukungnya. Suaminya itu ditempatkan di suatu daerah yang lumayan jauh dari daerah asalnya. Dia tidak mau diajak, tetapi juga tidak mau ditinggal. Dilema. Akhirnya suaminya yang mengalah, dia tinggalkan statusnya sebagai PNS. Kini ia jadi “pegawai tinggi”. Jadi penderes, penyadap air nira.
Tamu saya sore itu, dua orang ibu “single parents” yang luar biasa. Yang satu berpikir sederhana. Satunya lagi, juga sederhana dalam menyelesaikan masalah. Semoga bakti mereka kepada orang tua dan suaminya menjadi pembuka pintu surga-Nya.
(Sri Awindarini)