Penyidik Kejaksaan Agung memeriksa pengusaha Michael Bimo Putranto sebagai saksi dugaan korupsi pengadaan bus Transjakarta dan peremajaan angkutan umum reguler senilai Rp1,5 triliun di Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
"Saksi Michael Bimo Putranto memenuhi panggilan penyidik," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony T Spontana di Jakarta, Kamis, 9 Oktober 2014.
Kapuspenkum menyebutkan pokok pemeriksaan mengenai ada atau tidaknya keberadaan dan keterkaitan Saksi dalam kegiatan Pengadaan Armada Bus Transjakarta dan Bus untuk Peremajaan Angkutan Umum Reguler di Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2013.
Pada hari yang sama, Kejagung juga memeriksa Setyo Margono Utomo, Kepala Bidang Teknologi Sarana Transportasi BPPT dan Marzan Azis Iskandar, Mantan Kepala BPPT.
"Pemeriksaan terhadap saksi Setyo mengenai keberadaan, tugas Saksi sebagai bagian dari tim Konsultan Perencana maupun Konsultan Pengawas dari BPPT untuk kegiatan Pengadaan Armada Bus Transjakarta dan Angkutan Umum Reguler pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta Tahun Anggaran 2013," katanya.
Sampai sekarang Kejagung sudah menetapkan tujuh tersangka, di antaranya Udar Pristono (mantan Kadishub DKI Jakarta) dan P (Direktur Pusat Teknologi dan Sistem Transportasi di Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi/BPPT).
Dua lainnya, DA (pegawai negeri sipil pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta selaku Pejabat Pembuat Komitmen) dan ST (PNS Dinas Perhubungan DKI Jakarta selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Bidang Pekerjaan Konstruksi 1 Dinas Perhubungan DKI Jakarta).
Bergulirnya bola panas kasus Transjakarta ini semestinya berujung di penanggungjawab proyek pengadaan Bus Transjakarta dan BKTB, yaitu Jokowi.
Hal ini pernah ditegaskan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan. Tigor mengaku tidak puas terhadap penetapan dua pejabat Dinas Perhubungan DKI Jakarta sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atas kasus pengadaan bus Transjakarta serta Bus Kota Terintegrasi Busway atau BKTB.
"Kedua tersangka ini hanya pelaksana saja. Ada otak dan pasti ada yang memerintah. Harusnya, ini yang jadi target kejaksaan," ujar Tigor kala itu.
Tigor menambahkan, seharusnya kejaksaan merunut lebih dalam lagi agar menemukan aktor intelektual di balik kasus korupsi Transjakarta ini.
"Kedua tersangka ini merekayasa lelang untuk siapa? Atas permintaan dan perintah siapa? Itu tugas kejaksaan untuk mengungkapnya," lanjut Tigor.
Menurut Tigor, bila Kejaksaan mampu menangkap aktor intelektual dalam kasus tersebut, ada dampak positif terhadap citra korps Adhyaksa tersebut.
"Publik telah menilai bahwa kinerja kejaksaan kurang 'greget' dalam menyelesaikan kasus korupsi. Banyak kasus yang hanya berhenti di anak buah, sedangkan pimpinan masih bebas", imbuh Tigor.
FAKTA adalah LSM pertama yang melaporkan dugaan korupsi Transjakarta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun entah mengapa justru Kejaksaan Agung lah yang memproses kasus tersebut.
"Para koruptor, selama ini menghindar dari jeratan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan lebih suka ditangani oleh kejaksaan. Sudah umumlah kalau kejaksaan mudah sekali SP3-nya," ujar Tigor.
Sekedar mengingatkan, Jokowi yang ketika kasus ini bergulir pernah mengklaim telah melapor ke KPK terkait dugaan korupsi Bus TransJakarta.
Namun hal tersebut terbukti tidak benar dan dibantah oleh Johan Budi SP, sebagai juru bicara KPK dan Wagub DKI, Ahok.
Atas ketidakjujuran tersebut, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Makasar, Margarito Kamis menilai kebohongan Jokowi itu tidak etis.
"Itu sesuatu tak etis. Sebagai capres (kala itu) tindakan Pak Jokowi tidak etis, karena senang atau tak senang, dia belum jadi presiden dan masih berjuang menjadi presiden," kata Margarito di Jakarta, akhir Juni lalu.
Margarito mengatakan, pemimpin harus berani berterus terang terhadap masyarakat. Dia menyayangkan sikap Jokowi yang terkesan menutup-nutupi kasus Bus TransJakarta.
Jika tidak pernah melaporkan kasus dugaan korupsi Bus Transjakarta, sebaiknya Jokowi berterus terang saja.
"Kenapa tidak menyatakan saja apa adanya. Di satu sisi katanya sudah lapor, ternyata belum lapor. Saya meminta dengan hormat, agar jujur lah, kalau dia (Jokowi) punya slogan jujur jujur jujur, maka jujur lah. Kalau terbukti tidak jujur sangat tidak baik," tegas Margarito.
Pemimpin harus berani mengklarifikasi dan berkata jujur meskipun kadang pahit bagi dirinya.
"Ada apa dengan Jokowi ini, harus jujur dan jujur. Jangan setengah-setengah, pemimpin itu tak pernah takut pada kejujuran, itu baru kejujuran. Sekalipun memukul diri sendiri, berani berkata," tandasnya.
Apapun kisahnya, kasus korupsi pengadaan bus Transjakarta yang terdiri dari busway senilai Rp1 triliun dan bus peremajaan dari angkutan umum reguler senilai Rp500 miliar itu mulai memasuki fase penting. Mengurai keterkaitan calon pemimpin baru negeri ini, Jokowi. (fs)
Berita terkait:
[SKANDAL TRANSJAKARTA] Ahok Ditantang Berani Adukan Jokowi ke KPK
[Melawan Lupa] Jokowi Jebak Udar
[Melawan Lupa] Kasus Transjakarta, Udar Tuding Jokowi Bohong
[Korupsi Transjakarta] Periksa Rekening Jokowi !!
"Saksi Michael Bimo Putranto memenuhi panggilan penyidik," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony T Spontana di Jakarta, Kamis, 9 Oktober 2014.
Kapuspenkum menyebutkan pokok pemeriksaan mengenai ada atau tidaknya keberadaan dan keterkaitan Saksi dalam kegiatan Pengadaan Armada Bus Transjakarta dan Bus untuk Peremajaan Angkutan Umum Reguler di Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Tahun Anggaran 2013.
Pada hari yang sama, Kejagung juga memeriksa Setyo Margono Utomo, Kepala Bidang Teknologi Sarana Transportasi BPPT dan Marzan Azis Iskandar, Mantan Kepala BPPT.
"Pemeriksaan terhadap saksi Setyo mengenai keberadaan, tugas Saksi sebagai bagian dari tim Konsultan Perencana maupun Konsultan Pengawas dari BPPT untuk kegiatan Pengadaan Armada Bus Transjakarta dan Angkutan Umum Reguler pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta Tahun Anggaran 2013," katanya.
Sampai sekarang Kejagung sudah menetapkan tujuh tersangka, di antaranya Udar Pristono (mantan Kadishub DKI Jakarta) dan P (Direktur Pusat Teknologi dan Sistem Transportasi di Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi/BPPT).
Dua lainnya, DA (pegawai negeri sipil pada Dinas Perhubungan DKI Jakarta selaku Pejabat Pembuat Komitmen) dan ST (PNS Dinas Perhubungan DKI Jakarta selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Bidang Pekerjaan Konstruksi 1 Dinas Perhubungan DKI Jakarta).
Bergulirnya bola panas kasus Transjakarta ini semestinya berujung di penanggungjawab proyek pengadaan Bus Transjakarta dan BKTB, yaitu Jokowi.
Hal ini pernah ditegaskan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan. Tigor mengaku tidak puas terhadap penetapan dua pejabat Dinas Perhubungan DKI Jakarta sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung atas kasus pengadaan bus Transjakarta serta Bus Kota Terintegrasi Busway atau BKTB.
"Kedua tersangka ini hanya pelaksana saja. Ada otak dan pasti ada yang memerintah. Harusnya, ini yang jadi target kejaksaan," ujar Tigor kala itu.
Tigor menambahkan, seharusnya kejaksaan merunut lebih dalam lagi agar menemukan aktor intelektual di balik kasus korupsi Transjakarta ini.
"Kedua tersangka ini merekayasa lelang untuk siapa? Atas permintaan dan perintah siapa? Itu tugas kejaksaan untuk mengungkapnya," lanjut Tigor.
Menurut Tigor, bila Kejaksaan mampu menangkap aktor intelektual dalam kasus tersebut, ada dampak positif terhadap citra korps Adhyaksa tersebut.
"Publik telah menilai bahwa kinerja kejaksaan kurang 'greget' dalam menyelesaikan kasus korupsi. Banyak kasus yang hanya berhenti di anak buah, sedangkan pimpinan masih bebas", imbuh Tigor.
FAKTA adalah LSM pertama yang melaporkan dugaan korupsi Transjakarta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun entah mengapa justru Kejaksaan Agung lah yang memproses kasus tersebut.
"Para koruptor, selama ini menghindar dari jeratan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan lebih suka ditangani oleh kejaksaan. Sudah umumlah kalau kejaksaan mudah sekali SP3-nya," ujar Tigor.
Sekedar mengingatkan, Jokowi yang ketika kasus ini bergulir pernah mengklaim telah melapor ke KPK terkait dugaan korupsi Bus TransJakarta.
Namun hal tersebut terbukti tidak benar dan dibantah oleh Johan Budi SP, sebagai juru bicara KPK dan Wagub DKI, Ahok.
Atas ketidakjujuran tersebut, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Makasar, Margarito Kamis menilai kebohongan Jokowi itu tidak etis.
"Itu sesuatu tak etis. Sebagai capres (kala itu) tindakan Pak Jokowi tidak etis, karena senang atau tak senang, dia belum jadi presiden dan masih berjuang menjadi presiden," kata Margarito di Jakarta, akhir Juni lalu.
Margarito mengatakan, pemimpin harus berani berterus terang terhadap masyarakat. Dia menyayangkan sikap Jokowi yang terkesan menutup-nutupi kasus Bus TransJakarta.
Jika tidak pernah melaporkan kasus dugaan korupsi Bus Transjakarta, sebaiknya Jokowi berterus terang saja.
"Kenapa tidak menyatakan saja apa adanya. Di satu sisi katanya sudah lapor, ternyata belum lapor. Saya meminta dengan hormat, agar jujur lah, kalau dia (Jokowi) punya slogan jujur jujur jujur, maka jujur lah. Kalau terbukti tidak jujur sangat tidak baik," tegas Margarito.
Pemimpin harus berani mengklarifikasi dan berkata jujur meskipun kadang pahit bagi dirinya.
"Ada apa dengan Jokowi ini, harus jujur dan jujur. Jangan setengah-setengah, pemimpin itu tak pernah takut pada kejujuran, itu baru kejujuran. Sekalipun memukul diri sendiri, berani berkata," tandasnya.
Apapun kisahnya, kasus korupsi pengadaan bus Transjakarta yang terdiri dari busway senilai Rp1 triliun dan bus peremajaan dari angkutan umum reguler senilai Rp500 miliar itu mulai memasuki fase penting. Mengurai keterkaitan calon pemimpin baru negeri ini, Jokowi. (fs)
Berita terkait:
[SKANDAL TRANSJAKARTA] Ahok Ditantang Berani Adukan Jokowi ke KPK
[Melawan Lupa] Jokowi Jebak Udar
[Melawan Lupa] Kasus Transjakarta, Udar Tuding Jokowi Bohong
[Korupsi Transjakarta] Periksa Rekening Jokowi !!