Jokowi Tak Punya Skema Berantas Mafia Migas

Direktur Global Future Institute (GFI) Hendrajit menilai rencana Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) memerangi mafia migas tidak memiliki skema tepat. Pasalnya, segala wacana yang dibuat tidak menyentuh mafia di level hulu.

“Skema yang dimiliki para mafia itu sangat struktural dan kaderisasi. Mereka Meletakkan agen di satu institusi pemerintahan untuk mempengaruhi suatu kebijakan,” kata Hendrajit di Jakarta, Jumat (3/10/2014).

Hendrajit menuturkan, kader-kader mafia yang diletakkan ke dalam instansi pemerintahan biasanya berada di level-level yang di bawah, seperti di eselon 3 atau eselon 1 bukan tingkat menteri. Akan tetapi, meski kedudukannya di bawah, tapi bisa sangat berpengaruh terhadap kebijakan.

Seperti diketahui, ada beberapa nama yang muncul ke publik untuk menduduki jabatan Direktur Utama (Dirut) Pertamina pada pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi-JK. Dia adalah Widhyawan Prawira Atmaja, yang saat ini masih aktif menjabat sebagai Deputi Pengendalian Komersial SKK Migas. Widhyawan diprediksi akan bersaing bersama Darwin Silalahi dan Taslim Yunus yang sebelumnya hangat diperbincangkan bakal menempati posisi Dirut Pertamina.

“Widyawan adalah orang dekat Ari Soemarno yang akan dijadikan Dirut Pertamina. Sementara Ari Soemarno sendiri salah satu kandidat terkuat untuk menempati komisaris utama di Pertamina. Bisa dilihat skemanya jika skenario itu terwujud, sebagai upaya menggeser kekuatan mafia migas lama era SBY,” ujar Hendrajit seperti dilansir Sindo.

Informasi yang beredar, Widyawan ditarik oleh Ari Soemarno dalam Tim Pokja Energi Rumah Transisi setelah Ahmad Faisal yang sebelumnya diusung di awal menjadi kandidat Dirut Pertamina terlalu asosiatif dengan kelompok Jusuf Kalla. Informasi lainnya, Widyawan sampai cuti dari SKK Migas untuk membantu Ari Soemarno membuat konsep tata kelola energi di Rumah Transisi.

Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinan Hutahaean mengatakan bahwa saat ini kondisi energi Indonesia dalam keadaan darurat.

“Kondisi energi kita sudah memasuki taraf darurat energi. Saya tidak mengerti apakah ini tidak dipahami oleh pemangku kebijakan negara kita ini atau memang sengaja dipermainkan dengan bahasa politik yang meninabobokan masyarakat,” kata Ferdinan.

Dilihat kondisi global saat ini, produksi minyak migas dunia hanya sekitar 95 juta barel per hari, yang mana separuh harus dikonsumsi oleh negara produsen dan separuhnya digunakan diperjualbelikan sekitar 45 juta barel, dan 25 juta barel tiap harinya dibeli oleh 5 negara importer terbesar, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, India, sedangkan Indonesia diurutan ke 14.

“Yang paling mengkhawatirkan adalah masih mampukah 5-10 tahun lagi berebut minyak impor di pasar internasional, sementra bangsa kita ini bangsa lemah. Karena, siapa yang kuat secara militer maka dia yang akan mendapatkan pasokan minyak di pasar internasional,” tandasnya. (pm)



Baca juga :