Pelantikan presiden dan wakil presiden ke-7 Republik Indonesia kali ini terasa berbeda dibandingkan dengan acara formal kenegaraan lainnya.
Setelah Komisi Pemilihan Umum resmi menetapkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada 22 Juli 2014 lalu, rakyat seakan-akan sudah berada di puncak pestanya. Pesta milik rakyat yang penuh perubahan bagi setiap sendi kehidupan mereka.
Pemikiran awam tadi tidak sepenuhnya salah. Kehadiran Jokowi selama ini selalu erat dengan kondisi-kondisi yang butuh sebuah gerakan perubahan.
Kegesitan putra sulung Sudjatmi Notomiharjo ini sudah terdeteksi saat menjadi Wali Kota Surakarta selama dua setengah periode.
Mendadak, rakyat punya seorang pahlawan yang siap merangkul, mengajak berdialog santai, lalu esoknya masalah yang diperbincangkan sudah ada jalan keluarnya.
Rakyat ternyata kangen tokoh yang mengayomi, seperti layaknya presiden pertama RI, Ir Sukarno yang berjalan-jalan ke tepian sawah dan bertemu para petani.
Di balik sikap merakyatnya, Soekarno banyak terilhami sentuhan kata pengasuhnya saat kecil, Sarinah. Perempuan Desa itu selalu berada di samping Soekarno kecil.
Sarinah berceloteh, “Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.”
Pidato itu yang dicekokkan Sarinah setiap pagi. Pidato Sarinah itulah yang mengisi otak dan hati Soekarno.
Soekarno tidak hanya tampil sebagai seorang pemimpin pembawa perubahan bagi rakyatnya, tapi juga bagi dunia yang tengah terlibat Perang Dingin.
Dengan gagahnya, ia menyebutkan dalam pidato di Sidang PBB, dunia tidak hanya terdiri dari blok Barat dan Timur, tapi juga ada negara- negara di dunia ketiga yang bersikap mandiri, tak mau menjadi antek-antek kedua kubu.
Begitulah rekam jejak Soekarno, presiden yang menapakkan sebuah perubahan besar bagi bangsa ini. Dunia telah mencatatnya dengan tinta emas. Kini setelah hampir tujuh dekade, siklus sejarah mungkin kembali terulang.
Melihat isyarat yang sama dari alam, ketokohan Jokowi yang erat dengan wong cilik hampir menyamai Soekarno. Bahkan anak biologis Soekarno, Megawati Soekarnoputri sendiri yang menunjuknya sebagai calon presiden karena kepopulerannya membenahi birokrasi, memenuhi kebutuhan rakyat dengan kartu- kartu pintarnya dan segenap energinya untuk turun langsung mengecek kekurangan infrastruktur rakyatnya.
Setelah Komisi Pemilihan Umum resmi menetapkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada 22 Juli 2014 lalu, rakyat seakan-akan sudah berada di puncak pestanya. Pesta milik rakyat yang penuh perubahan bagi setiap sendi kehidupan mereka.
Pemikiran awam tadi tidak sepenuhnya salah. Kehadiran Jokowi selama ini selalu erat dengan kondisi-kondisi yang butuh sebuah gerakan perubahan.
Kegesitan putra sulung Sudjatmi Notomiharjo ini sudah terdeteksi saat menjadi Wali Kota Surakarta selama dua setengah periode.
Mendadak, rakyat punya seorang pahlawan yang siap merangkul, mengajak berdialog santai, lalu esoknya masalah yang diperbincangkan sudah ada jalan keluarnya.
Rakyat ternyata kangen tokoh yang mengayomi, seperti layaknya presiden pertama RI, Ir Sukarno yang berjalan-jalan ke tepian sawah dan bertemu para petani.
Di balik sikap merakyatnya, Soekarno banyak terilhami sentuhan kata pengasuhnya saat kecil, Sarinah. Perempuan Desa itu selalu berada di samping Soekarno kecil.
Sarinah berceloteh, “Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.”
Pidato itu yang dicekokkan Sarinah setiap pagi. Pidato Sarinah itulah yang mengisi otak dan hati Soekarno.
Soekarno tidak hanya tampil sebagai seorang pemimpin pembawa perubahan bagi rakyatnya, tapi juga bagi dunia yang tengah terlibat Perang Dingin.
Dengan gagahnya, ia menyebutkan dalam pidato di Sidang PBB, dunia tidak hanya terdiri dari blok Barat dan Timur, tapi juga ada negara- negara di dunia ketiga yang bersikap mandiri, tak mau menjadi antek-antek kedua kubu.
Begitulah rekam jejak Soekarno, presiden yang menapakkan sebuah perubahan besar bagi bangsa ini. Dunia telah mencatatnya dengan tinta emas. Kini setelah hampir tujuh dekade, siklus sejarah mungkin kembali terulang.
Melihat isyarat yang sama dari alam, ketokohan Jokowi yang erat dengan wong cilik hampir menyamai Soekarno. Bahkan anak biologis Soekarno, Megawati Soekarnoputri sendiri yang menunjuknya sebagai calon presiden karena kepopulerannya membenahi birokrasi, memenuhi kebutuhan rakyat dengan kartu- kartu pintarnya dan segenap energinya untuk turun langsung mengecek kekurangan infrastruktur rakyatnya.
Jangan tanya pula kedekatan Jokowi dengan ibundanya, Bu Noto. Setiap ingin melaju mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah maupun pemimpin negara, ritual sungkeman selalu dilakukannya. Bisikan dan nasihat sang ibu agar selalu memperhatikan kepentingan rakyat dilaksanakan.
Sungguh seorang sosok ideal bagi rakyat yang mengimpikan kembali sosok negawaran kembali seperti era Soekarno. Saking tersohornya kepemimpinan wong cilik Jokowi, sejumlah tokoh dunia dan para pemimpin negara hadir di pelantikannya hari ini, Senin, 20 Oktober 2014.
Kalau Soekarno sudah berhasil membuktikan sentuhan diplomasinya di kancah politik internasional, tugas Jokowi malah lebih berat di pundaknya.
Bayangkan, majalah Times sudah merilis soft cover yang bakal terbit 27 Oktober mendatang dengan wajah close-up Jokowi.
Sungguh, harapan itu bukan hanya milik rakyat Indonesia. Tapi, juga para pemimpin yang ingin segera melobi kepentingannya, pengusaha-pengusaha global yang ingin menggolkan proposalnya, pengacara-pengacara kelas internasional dengan sejumlah kontrak jutaan dolar AS yang menggiurkan.
Benar-benar harapan yang butuh perjuangan besar. Harapan rakyat kecil untuk diperhatikan, harapan para pengusaha pribumi yang ingin segera melajukan produk lokalnya mendunia, harapan guru dan murid yang ingin lepas dari kurikulum pendidikan yang tak membentuk moral dan karakter, serta harapan nelayan yang ingin sejahtera di negeri maritim.
Bila tak benar-benar menjaga keseimbangan kebijakannya, Jokowi bisa tertelan oleh gelombang harapan yang sudah melebihi tsunami itu.
Tentunya, tak ada yang ideal antara keinginan serta kebijakan yang bakal diambil. Ingat, Jokowi juga pernah terpeleset.
Alih-alih ingin memperkenalkan mobil produk nasional Esemka buatan SMK di Solo dan menimbulkan tren produk lokal, faktanya mobil itu hanya rakitan anak-anak sekolah dan hingga kini tak jelas kelanjutannya. Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat pun berjalan mulus di bulan-bulan awal. Kini, setelah ditinggal sang penggagas, banyak ditemui masalah administratif di dalamnya.
Mudah-mudahan saja, Jokowi belajar dari tahap-tahap yang mengantarnya di puncak kekuasaan. Di jalan penuh harapan itu masih banyak semak berduri. Kehati-hatian menyikapi setiap harapan serta berpikir kembali pada trah-nya sebagai wong cilik yang menjadi raja harus menjadi penguat kekuasaannya.
Blusukan yang dulu setiap hari masih bisa dilakukannya, telah di-instankan menjadi e-blusukan karena pasti kesibukannya tak memungkinkan menemui rakyat seluruhnya. Yang pasti, blusukan
Jokowi kelak bukan sekadar mengetahui keadaan rakyatnya, tapi haruslah menengok pegawai kementerian-kementerian yang masih belum beranjak kinerjanya sebagai penghuni kantoran saja.
Di tingkat global, blusukan bukan saja untuk memenuhi harapan- harapan pengusaha dan petinggi negara. Tapi, semoga Jokowi menancapkan kembali kuku kekuatan Indonesia seperti di era Soekarno. Sebagai pendobrak kebijakan internasional, bukan pemberi harapan palsu. (ok/fs)
Sungguh seorang sosok ideal bagi rakyat yang mengimpikan kembali sosok negawaran kembali seperti era Soekarno. Saking tersohornya kepemimpinan wong cilik Jokowi, sejumlah tokoh dunia dan para pemimpin negara hadir di pelantikannya hari ini, Senin, 20 Oktober 2014.
Kalau Soekarno sudah berhasil membuktikan sentuhan diplomasinya di kancah politik internasional, tugas Jokowi malah lebih berat di pundaknya.
Bayangkan, majalah Times sudah merilis soft cover yang bakal terbit 27 Oktober mendatang dengan wajah close-up Jokowi.
Sungguh, harapan itu bukan hanya milik rakyat Indonesia. Tapi, juga para pemimpin yang ingin segera melobi kepentingannya, pengusaha-pengusaha global yang ingin menggolkan proposalnya, pengacara-pengacara kelas internasional dengan sejumlah kontrak jutaan dolar AS yang menggiurkan.
Benar-benar harapan yang butuh perjuangan besar. Harapan rakyat kecil untuk diperhatikan, harapan para pengusaha pribumi yang ingin segera melajukan produk lokalnya mendunia, harapan guru dan murid yang ingin lepas dari kurikulum pendidikan yang tak membentuk moral dan karakter, serta harapan nelayan yang ingin sejahtera di negeri maritim.
Bila tak benar-benar menjaga keseimbangan kebijakannya, Jokowi bisa tertelan oleh gelombang harapan yang sudah melebihi tsunami itu.
Tentunya, tak ada yang ideal antara keinginan serta kebijakan yang bakal diambil. Ingat, Jokowi juga pernah terpeleset.
Alih-alih ingin memperkenalkan mobil produk nasional Esemka buatan SMK di Solo dan menimbulkan tren produk lokal, faktanya mobil itu hanya rakitan anak-anak sekolah dan hingga kini tak jelas kelanjutannya. Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat pun berjalan mulus di bulan-bulan awal. Kini, setelah ditinggal sang penggagas, banyak ditemui masalah administratif di dalamnya.
Mudah-mudahan saja, Jokowi belajar dari tahap-tahap yang mengantarnya di puncak kekuasaan. Di jalan penuh harapan itu masih banyak semak berduri. Kehati-hatian menyikapi setiap harapan serta berpikir kembali pada trah-nya sebagai wong cilik yang menjadi raja harus menjadi penguat kekuasaannya.
Blusukan yang dulu setiap hari masih bisa dilakukannya, telah di-instankan menjadi e-blusukan karena pasti kesibukannya tak memungkinkan menemui rakyat seluruhnya. Yang pasti, blusukan
Jokowi kelak bukan sekadar mengetahui keadaan rakyatnya, tapi haruslah menengok pegawai kementerian-kementerian yang masih belum beranjak kinerjanya sebagai penghuni kantoran saja.
Di tingkat global, blusukan bukan saja untuk memenuhi harapan- harapan pengusaha dan petinggi negara. Tapi, semoga Jokowi menancapkan kembali kuku kekuatan Indonesia seperti di era Soekarno. Sebagai pendobrak kebijakan internasional, bukan pemberi harapan palsu. (ok/fs)