Wakil Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah, mengatakan iktiar dan tesis membangun koalisi permanen seperti yang dilakukan anggota Koalisi Merah Putih (KMP) adalah sumbangan untuk mengatasi kelemahan sistem presidensial multi partai, yang dianut oleh Indonesia. KMP berupaya untuk menjadikan pengelolaan politik menjadi lebih sederhana.
“KMP Ini iktiar dan tesis untuk membangun koalisi permanen. Ini adalah sumbangan KMP didalam mengatasi kelemahan sistem presidesialisme multi partai yang kita miliki. Sebab umunya di seluruh dunia biasanya hanya ada dua partai, atau maksimal tiga partai. Jadi kalau ada partai A berkuasa, di eksekutif, maka biasanya rakyatnya memilih partai B berkuasa di legislatif. Dengan demikian maka pengelolaan politik menjadi sederhana,” ujar Fahri kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Upaya dan tesis itu menurut Fahri, sudah dikembangkan sebelum pilpres 2014 dan sebelum diketahui siapa pemenang pilpres. Maka diharapkan terjadi check and balance antara eksekutif dan legislatif.
“Jadi sebelum kita mengetahui siapa pemenang pilpres antara Prabowo dan Jokowi, kami sudah memiliki kesadaran membangun koalisi permanen. Kami sadar sistem presidensial multi partai lebih banyak atau umumnya gagal, seperti yang banyak terjadi di negara-negara Amerika Latin,” ujarnya.
Buat KMP, saat ide ini digulirkan belum bisa diukur kekuatan di pemerintahan dan di parlemen. Bahwa sekarang dua kekuatan terpecah di pemerintahan dan parlemen, maka ini adalah salah satu hasil yang sudah diperhitungkan. Menang atau kalah, kami mengharapkan ada kekuatan penyeimbang antara eksekutif dan legislatif.
“Kalau kami sekarang kalah di eksekutif dan menang di legislatif, maka akan ada check and balance seperti yang terjadi AS saat ini, dimana Demokrat menguasai Ekesekutif dan Republik di Legislatif. Tapi kalau kami menang dalam pilpres dan menguasai eksekutif dan juga menguasai legislatif saat ini, tidak masalah juga, karena akan ada penyeimbang dari kubu diluar kami. Ini sama seperti yang terjadi di AS saat Obama menang pertama kali. Demokrat menguasai eksekutif dan legislatif,” ujar Mantan Aktivisi Mahasiswa ini.
Dengan adanya pengelompokan dalam dua koalisi besar menurut Fahri, maka secara tidak langsung hanya akan ada dua kubu yang bertarung dalam pemilu. Menurutnya, tentu sangat baik karena Amerika Serikat yang memiliki perjalanan demokrasi yang sudah berusi ratusan tahun, tidak berani mengambil resiko untuk memilih sistem presidensial multi partai.
“AS saja tidak berani mengambil sistem presidensialisme multi partai. Dengan kesadaran itulah maka lahir KMP yang benar-benar telah direncakan. Kami membicarakan semua hal dalam KMP termasuk common ideologi. Para ketua umum partai seperti Prabowo, Anis Matta, Hatta Radjasa dan Aburizal Bakrie kerap bertemu untuk membicarakan hal ini,” ujar Fahri.
Dia menegaskan, KMP terus berusaha agar dalam diskusi-diskusi yang digelar tersebut, SBY bisa hadir. KMP berpikir bahwa untuk mencari model atas Indonesia diperlukan diskusi yang panjang, detail dan mendasar.
“Misalnya diskusi tentang Pilkada, kami berupaya mengundang SBY untuk hadir. Kami ingin ada satu model untuk Indonesia. Kami berpikir tidak apa-apa berakir-rakit ke hulu berenang-renang ketepian. Kami berpayah-payah berdiskusi untuk kemudian mendapatkan model terbaik untuk Indonesia,” paparnya.
Didalam diskusi yang dilaksanakan menurut Fahri, semua bebas berbicara dan tidak menerima apa adanya saja atau bahkan dilarang untuk bicara seperti yang terjadi di koalisi Setgab. Hal ini karena kami menyadari kalau ini tidak dibicarakan atau dikelola, koalisi bisa berantakan juga. (cr1).
*sumber: beritakmp.com