"Beginilah Cara Islam Merayakan Hari Raya" | Syekh Yusuf Qardhawi



Menurut Syekh Yusuf Qardhawi di dalam bukunya, Mi'atu Su'âlin 'anil-Hajj wal-'Umrah wal-Udhiyah wal-Îdain, hari raya umat Islam itu memiliki dua ciri khas dalam pemaknaannya, yaitu makna ketuhanan, dan makna kemanusiaan.

Kalau kita melihat, hari raya pada sebagian agama lain dirayakan dengan mengumbar nafsu, di mana orang-orang melakukan kemungkaran, mengerjakan dosa-dosa besar, dan meminum minuman haram yang memabukkan. Tapi tidak demikian dalam Islam.

Takbir dan Shalat

Dalam agama kita, hari raya dimulai dengan shalat, baik itu Idulfitri maupun Iduladha, lalu dihiasi dengan takbir, sebagaimana hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, “Hiasilah hari raya kalian dengan takbir.”

Khusus pada hari raya Idul Adha, kalimat takbir muqayyad (takbir yang khusus untuk hari raya) disyariatkan dibaca setiap selesai mengerjakan shalat. Waktunya dimulai dari fajar hari tanggal sepuluh Dzulhijah sampai 23 shalat berikutnya, yaitu sampai waktu Ashar hari tasyriq ketiga. Sedangkan takbir ghair muqayyad (kalimat takbir pada umumnya) disyariatkan untuk dibaca pada setiap waktu. Seorang muslim harus menjaga makna ketuhanan ini, karena inilah makna ketuhanan dari hari raya umat Islam.

Berbagi Kegembiraan dengan Sesama

Adapun dari segi makna kemanusiaannya, pada hari raya Idul Fitri, Islam mewajibkan zakat fitrah untuk memberi makan orang-orang miskin sebagai bentuk bantuan, dan pada saat hari raya Iduladha, disyariatkanlah menyembelih kurban dengan maksud memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, keluarga, orang-orang di sekelilingnya, dan juga para fakir miskin. Memang sudah seyogianya seorang muslim ingat pada kaum fakir miskin yang kekurangan pada saat kegembiraan hari raya, bukan terbatas memikirkan diri sendiri dan melupakan mereka. Hal ini merupakan bagian dari perintah pada saat hari raya, dan inilah makna kemanusiaan dari hari raya umat Islam.

Pada Hari Raya Idul Fitri, Allah swt. telah mensyariatkan untuk menunaikan zakat, yaitu zakat fitrah. Dan pada Hari Raya Idul Adha Dia swt. mensyariatkan menyembelih kurban. Hal ini dimaksudkan agar kegembiraan bisa menyeluruh dan semua orang dapat sama-sama merasakan suasana kegembiraan Hari Raya itu. Sebab, agama Islam memang menjadikan momen hari raya sebagai hari pesta Islam, yaitu hari bagi semua kaum muslimin, baik yang dewasa maupun yang masih kecil, wanita maupun pria, dan yang kaya maupun yang miskin.

Semuanya dalam Kondisi Bersih dan Menyenangkan

Untuk itu, dalam suasana gembira ini, seorang muslim ketika berhari raya dianjurkan dalam kondisi rapi dan bersih. Islam ingin agar seseorang itu dalam kondisi bersih, khususnya pada waktu perkumpulan, seperti ketika shalat Jumat dan shalat Id. Juga agar ketika bertemu dengan orang lain tidak dalam keadaan bau yang mengganggu atau dengan pakaian yang membuat orang lain merasa iba.

Seorang Muslim hendaknya bertemu dengan orang lain hanya pada saat dalam keadaan sudah mandi, berpakaian rapi, dan tidak bau mulut karena mengonsumsi makanan yang berbau, seperti bawang putih, bawang merah, petai, jengkol, dan sejenisnya. Nabi saw. telah bersabda, “Barang siapa yang mengonsumsi sesuatu dari ini (bawang putih dan merah) maka janganlah mendekati masjid kami (HR. Bukhari-Muslim).” Maksudnya, menjauhlah dari orang lain sehingga bau yang tidak enak itu tidak membuat orang lain merasa tidak nyaman.

Semua Merayakannya

Karena hari raya adalah hari milik semua umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, maka kaum perempuan juga dianjurkan untuk ikut merayakannya, baik ia dalam kondisi suci, maupun sedang tidak suci, semisal haid dan nifas. Nabi saw. memerintahkan kaum perempuan untuk ikut menghadiri shalat Id. Bahkan wanita yang sedang haid sekalipun juga dianjurkan keluar dari rumah menuju tanah lapang atau tempat-tempat pelaksanaan shalat Id, meski kehadiran mereka tidak untuk melaksanakan shalat. Wanita yang sedang haid dianjurkan untuk ikut keluar agar mereka juga menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.

Hal ini sebagaimana sebuah riwayat dari Ummu Ahtiyah r.a., “Ada beberapa wanita yang sedang haid menghadiri Hari Raya. Di antara mereka ada yang tidak punya jilbab, kemudian mereka berkata kepada Rasulullah saw., “Salah seorang di antara kami tidak punya jilbab,” lalu beliau bersabda, “Supaya saudaranya meminjaminya dari jilbab yang ada.” Wanita tersebut kemudian meminjam jilbab dari tetangga atau temannya yang bisa dia pakai, lalu pergi menghadiri shalat Id. Seperti inilah tindakan kaum muslimin pada tempo dulu. Kita juga harus menghidupkan sunah Rasul ini.

Silaturahmi, Saling Memberi Ucapan, dan Bersenang-senang

Karena hari raya adalah hari kegembiraan umat Islam, maka pada hari ini kita sangat dianjurkan untuk mengakrabkan hubungan kaum muslimin satu dengan lainnya. Caranya, bisa dengan bersilaturahmi kepada para kerabat dan handai-tolan, tetangga, orang-orang yang dicintai, dan teman-teman. Juga dengan saling memberi ucapan selamat. Misalnya, mengucapkan, taqabbalallâhu minnâ wa minkum (Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu) atau kullu `âm wa antum bi khair (Setiap tahun dan kalian selalu dalam keadaan baik). Ucapan-ucapan seperti inilah yang dianjurkan.

Pada saat hari raya, Islam membolehkan bersenang-senang asalkan tidak dalam hal kemungkaran. Nabi saw. memperbolehkan ketika dua anak perempuan bernyanyi di rumah Aisyah r.a. pada hari raya. Pada saat itu, Abu Bakar menegur kedua anak tersebut seraya berkata, “Apakah alat musik setan berada di rumah Nabi saw.?” Tapi kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu Bakar, biarkan kedua anak itu, sesungguhnya saat ini adalah hari raya, setiap kaum memiliki hari raya dan ini hari raya kita, agar orang-orang Yahudi mengerti bahwa dalam agama kita ada kelonggaran, dan sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan penuh kelonggaran.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Jadi, menyanyi boleh saja, asal tidak mendatangkan seseorang untuk berjoget atau seseorang yang berdandan menor untuk bernyanyi. Tidak begitu caranya. Menyanyi boleh asal memenuhi syarat-syaratnya yang sudah masyhur, yaitu (1) kata-katanya tidak keluar dari jalur syariat, akidah, dan etika-etika keislaman, (2) tidak terdapat penyimpangan di dalamnya, (3) tidak dibarengi dengan barang-barang haram, semisal minuman keras, berhias secara berlebihan, apalagi bertelanjang, dan (4) tetap pada batas-batas yang wajar. Inilah syarat yang harus dipenuhi agar nyanyian menjadi boleh, khususnya dalam acara-acara tertentu, seperti pesta pernikahan, hari-hari raya, dan momen-momen kegembiraan yang dianjurkan oleh Islam untuk refreshing asal tidak merugikan orang lain. [ali]



Baca juga :