Segenap Civitas Academica UI Kawal Kasus Sitok

Segenap civitas academica Universitas Indonesia (UI) terus mengawal kasus dugaan perbuatan tak menyenangkan dan pemerkosaan oleh Sastrawan Sitok Srengenge terhadap mahasiswi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, RW.

Keseriusan UI dibuktikan dengan menggandeng para pakar hukum dan psikolog serta Polda Metro Jaya dalam diskusi akademik bertajuk  'RW Mencari Keadilan: Mencari Terobosan Hukum bagi Korban Kekerasan Seksual' di Aula Terapung, Perpustakaan Pusat, Kampus UI Depok, Kamis 18 September 2014.

Hadir sebagai pembicara : Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (Guru Besar Fakultas Psikologi UI), Prof. Dr. Topo Santoso (Dekan Fakultas Hukum UI), Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, MA (Direktur Pascasarjana UI), Irjen. Purn. Benny J. Mamoto (Kajian Ilmu Kepolisian UI), AKBP Suwondo Nainggolan, Kasubdit Kamneg Polda Metro Jaya.

Prof. Topo Santoso menjelaskan berbagai hal terkait celah hukum dalam kasus Sitok - RW agar bisa menjerat Sitok segera dan memberikan keadilan untuk RW.

Dengan tegas, Topo Santoso menegaskan, bila kepolisian menghentikan penyidikan atas kasus ini, maka tak ada terobosan hukum dari pemerintah Indonesia.

"Bila kepolisian menghentikan kasus ini, maka tidak ada terobosan hukum", ungkap Topo, disambut tepuk tangan riuh peserta diskusi.

Tindak pidana pemerkosaan akan terus terjadi bila hukum tak menemukan terobosan untuk melindungi korban dan mengadili pelakunya.

"Korban dimana-mana, ketika hukum tak mampu melindungi, maka pelaku akan mengulangi lagi. Bukan hanya sekali tetapi di berbagai tempat. Untuk melindungi perempuan-perempuan lain ini harus cari celahnya," tegas Topo di Aula Terapung Perpustakaan Pusat UI, Kamis, 18 September 2014.

Topo menambahkan, seharusnya pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan dan pencabulan harus segera direvisi. Sebab, kata dia, pasal yang berasal dari KUHP Belanda sejak 1970 itu sudah usang dan sudah harus ditinggalkan.

"Rancangan baru yang dibahas belum selesai. Kan (UU lama) menyebutkan 'barang siapa dengan kekerasan, atau dengan ancaman memaksa perempuan bersetubuh di luar perkawinan', ini di negara-negara modern sudah ditinggalkan, ada definisi rape yang baru. Rape tak harus dengan sexual intercose atau ada unsur kekerasan, atau ancaman kekerasan, memar-memar," tegasnya.

Topo menambahkan hakim nantinya disarankan menggunakan teori teologis atau sosiologis. Yakni apabila makna Undang-Undang diterapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan.

"UU yang masih berlaku tetapi sudah usang dengan hubungan masa kini, tak peduli digunakan atau tidak. Tak sesuai lagi. Hakim tak boleh lagi pakai silogisme. Itu pun kalau bisa sampai ke pengadilan atau ke tangan hakim ada peluang bagi kita," jelasnya.

Karena itu, lanjut Topo, civitas akademika UI mendesak polisi untuk segera mengusut tuntas kasus ini agar segera sampai ke meja hijau.

"Untuk menyelesaikan kasus Sitok, sekarang tinggal tergantung keseriusan polisi dan jaksa agar sampai ke pengadilan," tegas Topo. (fs)


Baca juga :