Euforia pilpres sudah usai. MK sudah menutup mata akan kecurangan yang terjadi selama proses pilpres dan menetapkan Jokowi sebagai Presiden terpilih Indonesia versi MK.
Banyak kejanggalan dalam proses pilpres, banyak pelanggaran hukum yang bahkan ditutup-tutupi oleh penegak hukum. Banyak aturan perundangan yang diterabas hanya untuk satu tujuan : Jokowi jadi Presiden RI.
Pelanggaran hukum Jokowi, ditutupi oleh media dan tim sukses Jokowi. Singkatnya, Jokowi tak tercela.
Bahkan, mata publik dibutakan oleh pelanggaran hukum yang sangat sepele, Jokowi ternyata tak pernah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Gubernur ketika mengajukan diri sebagai capres.
Jokowi tak punya cukup nyali untuk menerima kekalahan. Itu sebabnya Jokowi tak pernah mengundurkan diri di depan DPRD.
Masih hangat dalam ingatan, ketika Jokowi bersumpah untuk mengemban amanah sebagai Gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun.
Namun, apa lacur, Jokowi kini sudah sibuk membentuk pokja-pokja di Rumah Transisi, sibuk menyusun kabinet, dan sibuk berlatih menjadi Presiden.
Sekedar mengingatkan Jokowi, Dewan Pakar The Founding Fathers House (FFH), Jack Yanda Zaihifni Ishak, mengatakan, Jokowi tak pernah mengundurkan diri dari jabatan sebagai Gubernur DKI di depan DPRD DKI Jakarta.
"DPRD tidak pernah menerima surat izin pengunduran diri Jokowi saat menjadi capres", ujar Jack, di Jakarta, Kamis, 18 September 2014.
Apabila DPRD DKI memutuskan untuk menolak pengunduran diri Jokowi sebagai Gubernur DKI, maka akan terjadi krisis ketatanegaraan. Jokowi bisa batal jadi Presiden.
"Inilah yang disebut orang gonjang-ganjing politik membayangi Jokowi," kata Jack.
Jack menegaskan, penolakan DPRD DKI Jakarta, menurutnya, sah-sah saja sebagaimana diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Jack mengatakan, pemberhentian kepala daerah dan wakilnya diatur dalam pasal 29 ayat 1 dan 2.
Pasal 29 ayat 1, mengandung alasan obyektif. Dimana, kepala daerah dan wakilnya dapat berhenti atas kondisi obyektif, seperti meninggal, sakit atau mengundurkan diri.
Sedangkan pasal 29 ayat 2, memuat alasan subyektif yang menurut Jack tak dapat dijadikan landasan penolakan DPRD DKI Jakarta.
"DPRD dalam hal ini tidak menggunakan alasan subyektif karena kalau dilaksanakan sama halnya melanggar UU tersebut," jelasnya. Alasan DPRD DKI menolak pengunduran diri Jokowi, bisa berlandaskan tidak adanya izin dari yang bersangkutan ketika akan mencalonkan diri sebagai capres.
"Untuk menghindari preseden buruk ketatanegaraan. Seseorang kan tidak boleh melanggar sumpah dan janji," tutup Jack. (fs)
Banyak kejanggalan dalam proses pilpres, banyak pelanggaran hukum yang bahkan ditutup-tutupi oleh penegak hukum. Banyak aturan perundangan yang diterabas hanya untuk satu tujuan : Jokowi jadi Presiden RI.
Pelanggaran hukum Jokowi, ditutupi oleh media dan tim sukses Jokowi. Singkatnya, Jokowi tak tercela.
Bahkan, mata publik dibutakan oleh pelanggaran hukum yang sangat sepele, Jokowi ternyata tak pernah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Gubernur ketika mengajukan diri sebagai capres.
Jokowi tak punya cukup nyali untuk menerima kekalahan. Itu sebabnya Jokowi tak pernah mengundurkan diri di depan DPRD.
Masih hangat dalam ingatan, ketika Jokowi bersumpah untuk mengemban amanah sebagai Gubernur DKI Jakarta selama 5 tahun.
Namun, apa lacur, Jokowi kini sudah sibuk membentuk pokja-pokja di Rumah Transisi, sibuk menyusun kabinet, dan sibuk berlatih menjadi Presiden.
Sekedar mengingatkan Jokowi, Dewan Pakar The Founding Fathers House (FFH), Jack Yanda Zaihifni Ishak, mengatakan, Jokowi tak pernah mengundurkan diri dari jabatan sebagai Gubernur DKI di depan DPRD DKI Jakarta.
"DPRD tidak pernah menerima surat izin pengunduran diri Jokowi saat menjadi capres", ujar Jack, di Jakarta, Kamis, 18 September 2014.
Apabila DPRD DKI memutuskan untuk menolak pengunduran diri Jokowi sebagai Gubernur DKI, maka akan terjadi krisis ketatanegaraan. Jokowi bisa batal jadi Presiden.
"Inilah yang disebut orang gonjang-ganjing politik membayangi Jokowi," kata Jack.
Jack menegaskan, penolakan DPRD DKI Jakarta, menurutnya, sah-sah saja sebagaimana diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Jack mengatakan, pemberhentian kepala daerah dan wakilnya diatur dalam pasal 29 ayat 1 dan 2.
Pasal 29 ayat 1, mengandung alasan obyektif. Dimana, kepala daerah dan wakilnya dapat berhenti atas kondisi obyektif, seperti meninggal, sakit atau mengundurkan diri.
Sedangkan pasal 29 ayat 2, memuat alasan subyektif yang menurut Jack tak dapat dijadikan landasan penolakan DPRD DKI Jakarta.
"DPRD dalam hal ini tidak menggunakan alasan subyektif karena kalau dilaksanakan sama halnya melanggar UU tersebut," jelasnya. Alasan DPRD DKI menolak pengunduran diri Jokowi, bisa berlandaskan tidak adanya izin dari yang bersangkutan ketika akan mencalonkan diri sebagai capres.
"Untuk menghindari preseden buruk ketatanegaraan. Seseorang kan tidak boleh melanggar sumpah dan janji," tutup Jack. (fs)