Bagaimana sesungguhnya pandangan agama-agama mengenai perkawinan beda agama?
Mari kita lihat catatan ini..
1. Menurut Agama Islam
Al Quran tegas melarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam Al Quran yang berbunyi : “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita- wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat Al Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk menikah dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
2. Menurut Agama Katolik
Gereja Katolik memandang bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal.
Menurut Kanon (Hukum) Gereja Katolik, ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Misalnya, adanya ikatan nikah(kanon 1085), adanya tekanan/paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial/komunal (kanon 1089 dan 1103), dan juga karena perbedaan gereja -Gereja Katolik dan Kristen non Katolik (kanon 1124), maupun agama lain (kanon 1086).
Namun demikian, sebagaimana disebut dalam Hukum Kanonik, perkawinan karena perbedaan agama ini baru dapat dilakukan kalau ada dispensasi dari Ordinaris Wilayah atau Keuskupan (Kanon 1124). Jadi, dalam ketentuan seperti ini, Agama Katolik pada prinsipnya melarang perkawinan antara penganutnya dengan seorang yang bukan Katolik. Kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian.
Menurut pandangan Katolik, setiap perkawinan, termasuk perkawinan antar agama (dan salah satunya bukan Katolik), hanya dianggap sah apabila dilakukan di hadapan Imam Katolik (Uskup,pastor).
Perkawinan adalah sebuah sakramen, tanda kehadiran Allah. Sehingga perkawinan tidak bisa dilakukan dengan sembarangan.
Sehingga kalau ada perkawinan antar agama (dan salah satu pihak adalah Katolik), dan tidak dilakukan menurut agama Katolik, maka perkawinan itu dianggap belum sah.
3. Menurut Agama Kristen
Mari kita lihat catatan ini..
1. Menurut Agama Islam
Al Quran tegas melarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam Al Quran yang berbunyi : “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita- wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat Al Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk menikah dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
2. Menurut Agama Katolik
Gereja Katolik memandang bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal.
Menurut Kanon (Hukum) Gereja Katolik, ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Misalnya, adanya ikatan nikah(kanon 1085), adanya tekanan/paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial/komunal (kanon 1089 dan 1103), dan juga karena perbedaan gereja -Gereja Katolik dan Kristen non Katolik (kanon 1124), maupun agama lain (kanon 1086).
Namun demikian, sebagaimana disebut dalam Hukum Kanonik, perkawinan karena perbedaan agama ini baru dapat dilakukan kalau ada dispensasi dari Ordinaris Wilayah atau Keuskupan (Kanon 1124). Jadi, dalam ketentuan seperti ini, Agama Katolik pada prinsipnya melarang perkawinan antara penganutnya dengan seorang yang bukan Katolik. Kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian.
Menurut pandangan Katolik, setiap perkawinan, termasuk perkawinan antar agama (dan salah satunya bukan Katolik), hanya dianggap sah apabila dilakukan di hadapan Imam Katolik (Uskup,pastor).
Perkawinan adalah sebuah sakramen, tanda kehadiran Allah. Sehingga perkawinan tidak bisa dilakukan dengan sembarangan.
Sehingga kalau ada perkawinan antar agama (dan salah satu pihak adalah Katolik), dan tidak dilakukan menurut agama Katolik, maka perkawinan itu dianggap belum sah.
3. Menurut Agama Kristen
Pada umumnya pernikahan beda agama tidak dikehendaki di dalam Perjanjian Lama (PL). Larangan yang eksplisit terdapat dalam Ul. 7:3-4, “Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada Allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memusnahkan engkau dengan segera.”
Gereja Kristen Indonesia (GKI) menerima dan dapat melaksanakan pernikahan beda agama dengan syarat, jika salah seorang calon mempelai bukan anggota gereja, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode bahwa: Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani. Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/isterinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristiani. Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani. (Tata Laksana GKI Pasal 29:9.b)
4. Menurut Agama Hindu
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan disebut Pawiwahan. Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting. Dalam catur asrama, wiwaha termasuk ke dalam Grenhastha Asrama.
Disamping itu dalam agama Hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib.
Adapun syarat-syarat wiwaha dalam agama Hindu adalah: Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu. Pengesahan perkawinan harus dilakukan oleh pendeta/rohaniwan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama Hindu.
Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakala/biakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha.
5. Menurut Agama Budha
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi untuk penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.
Kewajiban untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsung berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan.
Dengan demikian, jelas kiranya bahwa semua agama pada dasarnya tidak menginginkan adanya perkawinan beda agama.
Agama memandang bahwa perkawinan bukan semata-mata persatuan cinta dan tubuh melainkan persatuan manusia dengan Sang Pencipta.
Oleh karenanya, relasi manusia dengan Sang Pencipta akan melahirkan sebuah generasi yang memerlukan landasan bukan hanya dari segi hukum negara, namun juga hukum agama. (fs)
Gereja Kristen Indonesia (GKI) menerima dan dapat melaksanakan pernikahan beda agama dengan syarat, jika salah seorang calon mempelai bukan anggota gereja, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode bahwa: Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani. Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/isterinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristiani. Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani. (Tata Laksana GKI Pasal 29:9.b)
4. Menurut Agama Hindu
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan disebut Pawiwahan. Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat Hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting. Dalam catur asrama, wiwaha termasuk ke dalam Grenhastha Asrama.
Disamping itu dalam agama Hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib.
Adapun syarat-syarat wiwaha dalam agama Hindu adalah: Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu. Pengesahan perkawinan harus dilakukan oleh pendeta/rohaniwan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama Hindu.
Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakala/biakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha.
5. Menurut Agama Budha
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi untuk penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.
Kewajiban untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsung berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan.
Dengan demikian, jelas kiranya bahwa semua agama pada dasarnya tidak menginginkan adanya perkawinan beda agama.
Agama memandang bahwa perkawinan bukan semata-mata persatuan cinta dan tubuh melainkan persatuan manusia dengan Sang Pencipta.
Oleh karenanya, relasi manusia dengan Sang Pencipta akan melahirkan sebuah generasi yang memerlukan landasan bukan hanya dari segi hukum negara, namun juga hukum agama. (fs)