Presiden terpilih Jokowi telah mengumumkan 34 kementerian yang bakal dibentuk. Ia juga mendikotomi dua menteri yang mengisi pos tersebut yakni 18 menteri profesional dan 16 menteri dari kalangan partai politik.
Langkah Jokowi ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Secara moral politik, Jokowi tak hanya merugi. Ia tekor.
Surplus dukungan dalam Pilpres 2014 lalu tidak simetris dan linier kepada Jokowi saat dirinya mulai menyusun kabinetnya.
Pengumuman jumlah pos kementerian yang diikuti dengan pembagian pos menteri dari dua kubu yakni profesional dan partai politik bertolak belakang dengan janji yang disuarakan saat Pilpres lalu.
Saat Pilpres dan usai memenangi pemilihan calon presiden lalu, beberapa hal yang disampaikan ke publik seperti membentuk kabinet yang ramping dan efisien serta bukan kabinet yang bagi-bagi kursi.
Namun, janji itu sesuai dengan kenyataan saat ini. Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro menilai seiring penerapan dan perbaikan otonomi daerah di Indonesia sudah seharusnya pemerintah pusat membentuk kabinet yang ramping namun kokoh.
"Bukan kabinet yang bagi-bagi kursi. Jokowi sebagai presiden terpilih memiliki otoritas penuh, iya atau tidak," kata Siti dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu, 16 September 2014.
Siti mengingatkan Jokowi agar tidak mengulangi apa yang dilakukan SBY selama dua periode memimpin kabinet.
Menurut Siti, SBY menerapkan politik harmoni dengan mengedepankan stabilitas politik namun dampaknya membuat pemerintahan stagnasi.
Peringatan Siti itu cukup kontekstual dengan situasi politik yang kini dihadapi Jokowi. Janji yang selama ini bakal merampingkan kabinet serta membentuk kabinet kerja, nyatanya tidak terpenuhi dengan jumlah pos menteri yang sama dengan era Presiden SBY.
Jokowi juga masih memberi ruang bagi kalangan partai politik baik yang sudah tergabung dalam koalisi lalu maupun menarik-narik partai politik lainnya untuk bergabung di koalisi.
Kesemua tindakan Jokowi itu membuat rakyat yang tadinya mengelu-elukannya kini berbalik mengkritisi dengan tajam. Ya. Jokowi memang kini tekor dukungan. (fs)
Langkah Jokowi ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Secara moral politik, Jokowi tak hanya merugi. Ia tekor.
Surplus dukungan dalam Pilpres 2014 lalu tidak simetris dan linier kepada Jokowi saat dirinya mulai menyusun kabinetnya.
Pengumuman jumlah pos kementerian yang diikuti dengan pembagian pos menteri dari dua kubu yakni profesional dan partai politik bertolak belakang dengan janji yang disuarakan saat Pilpres lalu.
Saat Pilpres dan usai memenangi pemilihan calon presiden lalu, beberapa hal yang disampaikan ke publik seperti membentuk kabinet yang ramping dan efisien serta bukan kabinet yang bagi-bagi kursi.
Namun, janji itu sesuai dengan kenyataan saat ini. Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro menilai seiring penerapan dan perbaikan otonomi daerah di Indonesia sudah seharusnya pemerintah pusat membentuk kabinet yang ramping namun kokoh.
"Bukan kabinet yang bagi-bagi kursi. Jokowi sebagai presiden terpilih memiliki otoritas penuh, iya atau tidak," kata Siti dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu, 16 September 2014.
Siti mengingatkan Jokowi agar tidak mengulangi apa yang dilakukan SBY selama dua periode memimpin kabinet.
Menurut Siti, SBY menerapkan politik harmoni dengan mengedepankan stabilitas politik namun dampaknya membuat pemerintahan stagnasi.
Peringatan Siti itu cukup kontekstual dengan situasi politik yang kini dihadapi Jokowi. Janji yang selama ini bakal merampingkan kabinet serta membentuk kabinet kerja, nyatanya tidak terpenuhi dengan jumlah pos menteri yang sama dengan era Presiden SBY.
Jokowi juga masih memberi ruang bagi kalangan partai politik baik yang sudah tergabung dalam koalisi lalu maupun menarik-narik partai politik lainnya untuk bergabung di koalisi.
Kesemua tindakan Jokowi itu membuat rakyat yang tadinya mengelu-elukannya kini berbalik mengkritisi dengan tajam. Ya. Jokowi memang kini tekor dukungan. (fs)