Penolakan Bank Syariah di Bali; Bentuk Provokasi bernuansa SARA?


Iklan Sebuah Bank Syariah
Setelah pelarangan jilbab di Bali, kini sekelompok mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Aliansi Hindu Muda Bali (AHMB) melakukan penolakan terhadap bank syariah di Bali. Aksi ini terjadi pada awal Agustus lalu. AHMB menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Bank Indonesia (BI), perwakilan Bali di Denpasar. AHMB meminta Bank Indonesia melakukan moratorium atau penghentian sementara pendirian bank syariah di Bali karena dianggap tidak sesuai dengan konsep ekonomi nasional yang berasaskan Pancasila.

Menanggapi hal tersebut, Bendesa Agung (Ketua) Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali, Jro Gde Putus Upadesa, menyatakan bahwa protes itu hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja.

“Apa yang mau mereka protes atau larang? Bank syariah itu ada undang-undangnya dan Bali sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus menghormati undang-undang itu,” kata Jro Gde di Denpasar, Senin (25/8/2014) seperti dikutip Republika.co.id.

Jro Gde mengatakan bahwa umat Hindu tidak melarang atau melawan apa yang sudah didasari undang-undang. Ia mengatakan bahwa Bali adalah daerah terbuka. Karena itu ia menekankan pentingnya menjaga kerukunan antar umat dan sikap saling menghormati sebagai sebuah bangsa Indonesia.

Karena Ketidakpahaman

Sementara itu, Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Agustianto, mengatakan bahwa penolakan terhadap bank syariah muncul karena ketidakpahaman terhadap esensi ekonomi syariah.

“Masyarakat non muslim harus mengetahui bahwa perbankan syariah bukan misi keagamaan,” kata Agustianto seperti diberitakan Republika.

Ia juga mengatakan bahwa di negara-negara lain seperti Inggris, Australia, Hongkong, dan Singapura ekonomi syariah juga dikembangkan oleh non muslim.

Kepala Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Edy Setiadi, mengatakan bahwa OJK akan berhati-hati menanggapi isu penolakan tersebut. Pihaknya mengaku akan mempelajarinya terlebih dahulu.

Penolakan bank syariah di Bali harus menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pasalnya, sebelumnya juga terjadi penolakan jilbab di beberapa sekolah negeri di Bali. Jika hal ini tidak mendapat penanganan sejak dini dikhawatirkan terjadi gesekan di masyarakat.

Menurut survei penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Islam adalah agama kedua terbesar yang dianut oleh warga Bali setelah Hindu. Sebanyak 13,37 persen warga Bali memeluk Islam, 1,66 persen Kristen, 0,81 persen Katolik, 83,47 persen Hindu, dan 0,54 persen Budha. Melihat data tersebut, penolakan terhadap bank syariah di Bali menjadi fenomena yang unik. (RS/Selasar.com)



Baca juga :