Konsumsi listrik satu mal ukuran sedang di Indonesia kurang lebih sama dengan konsumsi listrik Bandara Soekarno Hatta. Di Jakarta, menurut data Kementerian ESDM, konsumsi listrik satu mal bisa setara dengan konsumsi listrik setengah kabupaten di luar Jawa. Bisa dibayangkan, ada berapa puluh desa yang bisa dialiri listrik dari konversi konsumsi listrik satu mal saja. Saat ini tak kurang ada 173 mal di Jakarta. Di Bandung, jumlah mal tak kurang dari 30.
Jika tiap desa di luar Jawa diasumsikan rata-rata terdiri dari 250 rumah tangga, dan kapasitas listrik tiap rumah tangga 450 VA, maka kapasitas listrik Mal Ciputra saja setara dengan konsumsi 61 desa. Jika satu kecamatan rata-rata terdiri dari 10 desa, itu artinya setara dengan 6 kecamatan. Jika tiap kabupaten rata-rata terdiri dari 10 hingga 14 kecamatan, angka tadi setara dengan separuh kabupaten. Persis seperti data Kementerian ESDM.
Saat ini ada sekitar 10.211 desa di Indonesia yang belum dialiri listrik. Jika konsumsi listrik satu mal setara dengan, katakanlah 50 desa, maka kita cuma butuh mengkonversi konsumsi listrik dari 204 mal. Di atas kertas, dari mal di Jakarta dan Bandung saja sudah cukup untuk mengatasi ketersediaan listrik di desa-desa yang belum teraliri listrik tadi.
Mal-mal yang ada di Indonesia tidak memproduksi listriknya sendiri. Mereka membeli listrik dari PLN. Kita tahu, 35 persen pembangkit di PLN menggunakan BBM. Dari angka-angka sebelumnya, cukup jelas, bahwa mal adalah salah satu sumber pemborosan energi.
Tapi siapa yang ingin mal ditutup, atau jam bukanya dibatasi, misalnya, cukup 6 jam saja, agar pemborosan konsumsi energi di mal bisa didistribusikan ke desa-desa yang belum teraliri listrik dan/atau untuk menanggung kebutuhan energi kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih produktif?!
Kita ogah memikirkan opsi-opsi itu. Kita juga ogah membayar pajak yang lebih mahal dari kendaraan pribadi yang kita miliki untuk menambah pendapatan negara.
Siapapun yang setuju dengan kenaikan harga BBM, apapun alasannya, tanpa mensyaratkan pemerintah melakukan pembenahan tata kelola energi terlebih dahulu, terutama di sektor hulu dan terkait soal mafia migas, maka persetujuan itu sama artinya dengan mereka meminta agar BEBAN ekonomi negara di sektor energi DIDISTRIBUSIKAN SECARA MERATA kepada seluruh rakyat, termasuk kepada orang-orang miskin, tapi BENEFIT DARI KONSUMSI ENERGI ITU CUMA BOLEH DINIKMATI GOLONGAN KECIL MEREKA SAJA.
Bukankah itu adalah seculas-culasnya pikiran?!
(Tarli Nugroho)