“Tak pandai menari dikatakan lantai yang terjungkat.” Sepertinya pepatah itu cocok untuk menggambarkan nasib subsidi BBM. Semua masalah ketidakberesan pengelolaan di hulu dan hilir migas, termasuk tata kelola BUMN migas, gampang sekali dikambing-hitamkan kepada subsidi BBM.
Kita kerap mendengar argumen bahwa “subsidi tidak tepat sasaran”, atau “subsidi harusnya hanya untuk orang miskin”. Coba periksa kembali catatan, sejak kapan argumen itu berkembang dan kemudian sedikit demi sedikit diterima oleh sejumlah orang?
Dalam kasus harga BBM, argumen “subsidi tidak tepat sasaran” baru kita kenal kurang lebih sepuluh tahun lalu. Setelah dua ayat dalam UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 21 Desember 2004, karena dianggap bertentangan dengan konstitusi, dimana dua ayat itu menyatakan bahwa tata kelola harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar, maka sejak itu pula berbagai argumen dan bahasa yang tidak masuk akal bermunculan.
Karena keputusan MK itulah, maka istilah “harga pasar” kemudian menjadi tabu dalam bahasa perundang-undangan, karena dianggap bertentangan dengan konstitusi yang memerintahkan bahwa hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diatur oleh pemerintah, dan bukan oleh pasar. Tarif listrik dan harga BBM termasuk ke dalam hal yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. Sejak itulah pemerintah kemudian memunculkan istilah aneh “harga keekonomian”. Isinya? Sama saja. Itu yang disebut "old wine in a new bottle".
Dagelan serupa juga terjadi ketika MK membubarkan BP Migas karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Lalu apa yang dilakukan pemerintah? Mereka mengganti baju BP Migas menjadi SKK Migas. isinya? Sama saja. Lagi-lagi, "old wine in a new bottle".
Tapi istilah “harga keekonomian” ternyata tidak serta-merta bisa melegitimasi diterimanya mekanisme pasar dalam tata kelola migas. Persis di situlah argumen “subsidi tidak tepat sasaran” mulai muncul.
Pertanyaannya, apa sebenarnya latar belakang pemerintah melakukan rekayasa yuridis, dan kemudian juga rekayasa intelektual melalui berbagai argumen akademis, untuk melepaskan tata kelola migas kepada mekanisme pasar?
Di sinilah menariknya. Kalau kita membaca “Memorandum of Economic and Financial Policies” antara Indonesia dengan IMF, atau yang biasa dikenal sebagai Letter of Intent IMF, Januari 2000 (lihat http://bit.ly/1vQOkOD), dalam naskah itu tercantum poin menarik ini (perhatikan yang ditulis kapital):
“In the oil and gas sector, the government is firmly committed to the following actions: replacing existing laws with a modern legal framework; restructuring and reforming Pertamina; ensuring that fiscal terms and regulations for exploration and production remain internationally competitive; ALLOWING DOMESTIC PRODUCT PRICES TO REFLECT INTERNATIONAL MARKET LEVELS…”
Dalam naskah Letter of Intent (LoI) Juli 2001 (lihat http://bit.ly/1rzOzQ1), terdapat poin ini (perhatikan yang ditulis kapital):
“The government remains strongly committed to the comprehensive legal and policy reforms for the energy sector outlined in the MEFP of January 2000. In particular, two new laws concerning Electric Power and Oil and Natural Gas will be submitted to Parliament during September. THE MINISTRY OF MINES AND ENERGY HAS PREPARED MEDIUM TERM PLANS TO PHASE OUT FUEL SUBSIDIES and restore electricity tariffs to commercially viable levels.”
Jadi, kalau kita mau iseng bertanya, sebenarnya penghapusan subsidi BBM itu sebenarnya untuk kepentingan siapa sih? Benarkah itu untuk kebaikan kita sendiri, rakyat Indonesia? Atau, hal itu sebenarnya hanyalah merupakan sebuah prakondisi agar pasar hilir migas kita segera bisa dimasuki oleh SPBU-SPBU asing?
Logikanya sederhananya, bagaimana bisa SPBU asing yang menjual bensin dengan harga belasan ribu rupiah akan eksis di dalam negeri kita, jika SPBU Pertamina masih menjual BBM dengan harga Rp6.500?!
Apa yang tertera dalam dua Letter of Intent dengan IMF itu terkonfirmasi oleh pernyataan Purnomo Yusgiantoro ketika masih menjabat Menteri Pertambangan dan Energi. Di Harian Kompas, 14 Mei 2003, dengan jelas Purnomo mengatakan, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas.... Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.”
Paling tidak ada tiga UU yang lahir sebagai anak kandung LoI dengan IMF itu, yaitu UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. UU No. 20/2002 sudah dibatalkan oleh MK secara keseluruhan. UU No. 19/2001 sudah dibatalkan dua ayat krusialnya. Tiga UU inilah yang telah menghasilkan tata kelola energi seperti yang kini menghimpit kita, termasuk yang telah menempatkan Pertamina dalam posisi problematis.
Jadi, Anda masih berpikir untuk bisa membenahi semua itu dan membantu Pertamina dengan pertama-tama menaikan harga BBM? Oalah...
(Tarli Nugroho)