Walau belum dilantik dan belum resmi menjabat sebagai penguasa nomor satu di Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) sudah siap menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Alasannya supaya mengurangi defisit anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kamu harus baca sendiri, APBN 2015 kamu baca. Kan kelihatan, berapa untuk bayar subsidi, berapa untuk bayar utang, kan kelihatan, kemudian anggaran mengikat," ucap Jokowi di Balai Kota Jakarta, Kamis kemarin (24/8), seperti diberitakan vivanews.
"Saya inginnya defisit anggaran sekecil-kecilnya, maunya seperti itu. Tapi itu tanya lagi tim transisi secara teknisnya," kata Jokowi lebih lanjut .
Kata dia, alokasi APBN sangat banyak sekali sehingga jangan sampai masyarakat Indonesia menjadi terbiasa dengan subsidi-subsidi yang justru akan memberatkan anggaran negara.
Benarkah seperti itu persoalan dan jalan keluarnya? Menurut seorang pengamat, Tarli Nugroho, menyatakan soal tata kelola energi ini masih saja dikambinghitamkan pada isu subsidi BBM, seolah di situlah letak persoalannya. Menurut Tarli, isu subsidi BBM merupakan cara para pelaku pasar dan para kompradornya untuk mendikte kita agar menerima liberalisasi di sektor hilir migas.
Jika sektor hilir migas kita berhasil diliberalisasi, maka lengkap sudah, dari hulu ke hilir kita sekadar menjadi konsumen. Meskipun kita memiliki BUMN di bidang minyak, yaitu Pertamina, faktanya sumur minyak yang dikuasai oleh BUMN kita itu tak lebih dari 10 persen. Sembilan puluh persen sumur minyak kita dikuasai oleh perusahaan asing dan swasta nasional. Begitulah posisi kita di sektor hulu migas.
Apa yang terjadi jika hulu dan hilir migas ini sudah diliberalisasi, dan kita sudah terlanjur mengekspor seluruh cadangan gas?
Sejak Dewan Energi Nasional (DEN) terbentuk pada 2007, Tarli mencatat ada hal yang ganjil dari isu-isu energi yang diproduksi oleh lembaga yang mempertemukan pemerintah, akademisi, praktisi dan pelaku usaha ini. Mereka lebih getol melakukan sosialisasi soal energi nuklir daripada melakukan elaborasi mengenai potensi energi yang dimiliki Indonesia sendiri.
Pendek kata, Tarli menyatakan, kita harus menolak intimidasi intelektual bahwa kita membutuhkan kenaikan harga BBM untuk menolong negara. Kita sedang terkena "sindrom kodok rebus" jika mau menerima intimidasi itu.
Setiap rezim yang menjadikan penarikan subsidi BBM sebagai titik pangkal pemerintahannya, bukanlah rezim yang bisa kita percayai akan bekerja keras dengan sungguh-sungguh untuk rakyatnya. Jika pemerintah dan para teknokratnya masih saja menjadikan isu subsidi BBM sebagai pokok persoalan, mereka adalah para pemalas yang enggan berpikir dan bekerja keras.
"Kita baru saja melewati Pilpres yang menggairahkan dan penuh harapan. Dari pengalaman sejarah kita tahu betul, tak ada perubahan yang dimulai oleh klise (soal subsidi BBM -ed). Tak pernah ada!," tegas Tarli.