ISIS dan Antisipasi De-Islamisasi


Ribut Lupiyanto

Menarik membaca tulisan M Taufik NT berjudul “Mengkritisi ‘Khilafah’ ala ISIS” (Banjarmasin Post, 11/8). Diskusi terkait ISIS penting untuk dilanjutkan khususnya terkait konteks ke-Indonesiaan. ISIS atau dikenal sebagai Daulah Islam Irak Dan Syam atau Daulah al Islamiyah Fil Iraq Wa Asy Syam atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Islamic state of Iraq and the Levant (ISIL) kini resmi bernama Islamic State.
ISIS merupakan klaim negara yang dideklarasikan pada tanggal 9 April 2013. Secara de facto ISIS telah menguasai wilayah seluas 400.000 km persegi, yang meliputi wilayah di Irak dan Suriah. Kota Raqqah di Suriah ditetapkan sebagai ibu kota negara.

Negara ini de jure belum diakui negara-negara lain, bahkan dikecam dan ditolak dunia internasional. Dewan Keamanan PBB bahkan menggelar sidang darurat untuk membahas krisis di Irak yang menyebabkan puluhan ribu umat Kristen dan suku minoritas lainya mengungsi akibat tindakan ISIS. PBB mencatat aksi gerilyawan ISIS telah menewaskan 2.400 orang di Irak selama bulan Juni 2014.

ISIS di Indonesia

Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar sedunia menjadi sasaran penyebaran ISIS. Beberapa sumber menyebutkan anggota ISIS sendiri berjumlah sekitar 7000 orang dan tersebar di seluruh dunia. Chep Hernawan, Ketua Umum Gerakan Islam Reformis (Garis) Cianjur, bahkan mengaku sebagai pimpinan ISIS regional Indonesia. Dia menyatakan, dengan berbaiat, ribuan warga Indonesia sudah menjadi anggota ISIS.  Gerakan ISIS di Indonesia berjanji menekankan dan mengutamakan penegakan syariat Islam dengan tidak melakukan tindakan anarkistis atau kekerasan.

Habib (2014) menjelaskan gerakan ISIS di Indonesia dipelopori oleh Amman Abdurahman, seorang narapidana teroris yang kini ditahan di Nusakambangan. Jumlah jaamaah ISIS diprediksi sekitar  500 orang yang tersebar di Bekasi, Solo, Lombok dan beberapa kota lain.  ISIS selanjutnya juga merekrut anggota di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Medan, Aceh, Lampung, Riau, dan Madura (Al-Chaidar, 2014).

ISIS sebagaimana organisasi radikal lainnya melakukan penyebaran melalui sistem bawah tanah. Indonesia Police Watch (2014) menerangkan bahwa ada tiga cara yang dilakukan gerakan ISIS untuk menyebarkan pahamnya di Indonesia. Cara yang pertama melalui masjid, bahkan dimuali dari Tempat Pendidikan Al Quran (TPA). Kedua, dengan cara membangun jaringan komunitas anak-anak muda. Ketiga melalui penguasaan bisnis limbah industri. ISIS masuk dan menguasai bisnis limbah industri di kawasan-kawasan industri dan berusaha menancapkan pengaruh di lokasi-lokasi hiburan serta kawasan bisnis lainnya.

Antisipasi Proporsional

Perkembangan ISIS di Indonesia patut di waspadai dan diantisipasi, tetapi secara proporsional. Apresiasi layak diberikan kepada pemerintah, MUI, Ormas, dan komponen lainnya yang sigap memperhatikan dinamika ini. Respon ini bahkan tergolong sangat cepat dibandingkan fenomena lainnya.

Presiden langsung menggelar rapat kabinet membahas khusus tentang ISIS. MUI juga segera membahas bersama ormas Islam. Forum Ukhwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama beberapa pimpinan ormas Islam tingkat pusat memberikan pernyataan sikap penolakan dan  antisipasi terkait aktivitas ISIS di Indonesia.   ISIS dinilai  i sangat potensial memecah belah persatuan umat Islam, menggoyahkan NKRI berdasarkan Pancasila, serta  tidak mengedepankan watak Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi alam semesta).

Kewaspadaan terhadap ISIS mesti disadari umat Islam dan semua pihak. Antisipasi membendung penyebarannya juga penting dilakukan secara sistemik. Namun demikian setiap penyikapan mesti dilakukan secara bijak dan tidak justru kontra produktif bagi dinamika Islam sendiri. Satu hal yang mesti diantisipasi adalah mencegah terjadinya deislamisasi atau penghilangan harkat Islam secara masif dan tidak disadari umat Islam. Beberapa prinsip penting diperhatikan banyak pihak.

Pertama, membendung penyebaran dengan tidak melakukan generalisasi. Pergerakan dan penyebaran ISIS menggunakan jalur inti dari pusat aktivitas umat Islam, seperti masjid, TPA, pengajian, dan lainnya. Hal ini bukan kemudian bisa dijawab dengan mengatur dan memperketat aktivitas di tempat-tempat tersebut. Kondisi demikian justru akan menjadi deislamisasi yang merugikan perkembangan bangsa. Penyikapan mesti secara kasuistik berdasarkan data akurat.

Kedua, melakukan penguatan aspek spiritual umat Islam. Pemahaman Islam secara komprehensif penting diberikan. Sektor-sektor formal dapar mewadahinya melalui beberapa mekanisme, seperti pendampingan atau tutorial agama di sekolah dan perguruan tinggi, pengajian rutin di kantor-kantor, dan lainnya. Hal ini penting guna mempersempit ruang gerak ISIS dalam mencari sasarannya.

Ketiga, penanganan dini harus segera dilakukan pemerintah sebelum perkembangan ISIS melebar. Badan Intelejen Negara (BIN) mesti memasok data-data akurat untuk dasar penanganan. Jumlah dan sebaran yang masih sedikit dapat didayagunakan untuk memangkas sampai akar-akarnya. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai stakeholder utama penting bertindak secara cepat dan akurat. BNPT penting belajar untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya meskipun kecil. Seperti salah tangkap, mengutamakan pembunuhan daripada penangkapan, dan lainnya.

Penyikapan terhadap ISIS sebaiknya tidak terlalu menguras perhatian dan sumber daya bangsa ini. Penanganan cepat, akurat, dan antisipasi proporsional dibutuhkan. BIN dan BNPTmenjadi pertaruhan kepercayaan publik. Jika tidak kunjung selesai, maka jangan salahkan publik yang akan berbalik meragukan dan menaruh kecurigaan. Sebagian publik dapat menilai bahwa ISIS menjadi produk rekayasa intelejen guna proyek deislamisasi dan proyek persenjataan atas nama penumpasan terorisme.(*)

*Dimuat di BANJARMASIN POST Kolom Aspirasi Edisi 12 Agustus 2014
Dan diposting di http://lupy-indonesia.blogspot.com/2014/08/isis-dan-antisipasi-de-islamisasi.html

http://www.jualspreiwaterproof.com/

MAU PASANG IKLAN SEPERTI INI? 



Baca juga :