Hasil Pilpres Batal jika...


Jusman Dalle

Hak tertinggi yang dimiliki oleh seorang warga Negara adalah hak menyalurkan pilihan politik secara berdaulat dan bebas tanpa tekanan atau intimidasi dari pihak manapun juga. Kebebasan dalam preferensi politik warga Negara dijamin oleh konstitusi sebab merupakan inti dari sistem demokrasi yang kita anut. Manakala hak politik seorang warga Negara tercederai, maka secara langsung hal tersebut menjadi noktah bagi demokrasi. Sebab ia dilindungi oleh konstitusi. Penghargaan tinggi pada pilihan politik warga, walaupun hanya suara satu orang, merupakan salah satu kesitimewaan dalam berdemokrasi.

Sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) dengan berbagai letupan yang akhirnya menggiring pilpres beralih dari proses politik ke proses hukum di Makhamah Konstitusi (MK), merupakan wujud nyata dari upaya perlindungan hak kita sebagai warga Negara. Keberadaan MK, lebih dari sekadar wasit yang berdiri di tengah untuk menengahi sebuah kompetisi. MK adalah lembaga penegakkan konstitusi penjaga hak-hak warga Negara. Terkait dengan pilpres, MK menjadi benteng kokoh untuk mengamankan suara rakyat.

Karena itu, kalau ada satu orang saja warga negara diabaikan hak konstitusinya dalam pilpres, pengabaian hak politik tersebut menjadi dasar yang legal untuk dibatalkannya seluruh hasil pilpres. Berdasarkan konstruksi berpikir bahwa inti atau titik puncak dari pilpres adalah proses pencoblosan yang merupakan momentum dimana ekspresi tertinggi politik warga Negara disalurkan, maka seluruh rangkaian menuju pencoblosan hingga pasca menyalurkan pilihan di bilik suara Negara berkewajiban menjaga. Termasuk hal-hal yang sifatnya sederhana, seperti memberi pelayanan pembuatan KTP ataupun kartu keluarga sebagai salah satu syarat administratif untuk teregistrasi di dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Pengabaian hak politik warga yang menjadi inti alasan konstitusional membatalkan hasil pilpres, secara derivatif di lapangan bisamewujud dalam berbagai wujud rupa. Salah satu bentuk turunan aksi kecurangan yang bisa membatalkan hasil pilpres diantaranya, bila terbukti pelanggaran yang terjadi bersifat struktural, masif, sistematis, dilakukan oleh aparat secara terencana dan melibatkan orang banyak atau terorganisir dengan tujuan untuk memenangkan calon tertentu. Pada titik ini, KPU sebagai penyelenggaran tentu saja menjadi pihak yang paling bertanggungjawab.

Manakala KPU sebagai unsur penanggungjawab pilpres terindikasi melakukan kejahatan demokrasi secara struktural, massif dan sistematis yang tentu saja dilakukan berkolaborasi dengan salah satu pasangan calon dan unsur pemerintah (penguasa) sebagai pemilik sumber daya untuk melakukan pressure guna mendrive hasil pilpres, maka MK bisa menganulir hasil pilpres sebagaimana tertuang di dalam UUD pasal 24c bahwa MK berhak memutus hasil pemilu. Mendiskualifikasi salah satu calon bahkan sangat mungkin dilakukan di dalam gugatan sengketa hasil pilpres.

Di dalam pilpres ini kita tengah berpolitik, bukan berperang. Jauh lebih humanis, terhormat serta beradab menggugat hasil pilpres di MK katimbang bertindak inkonstitusional seperti melakukan aksi vandalisme atau kekerasan dan pertumpahan darah. Teringat sebuah pesan dari pemimpin besar Tiongkok, Mao Zedong pernah berujar “Poltik adalah perang tanpa pertumpahan darah sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah".

(sumber: kompasiana)

http://www.jualspreiwaterproof.com/

MAU PASANG IKLAN SEPERTI INI? 

Baca juga :