Oleh Akmal Sjafril
(@malakmalakmal)
(1) Selalu gitu ya. Kalo udah keluar atau dikeluarkan, muncul deh predikat "Deklarator Partai Keadilan". Yusuf Supendi juga selalu disebut "Pendiri Partai Keadilan". Padahal deklarator dan pendirinya buanyaaaaak, dan cuma sedikit yg sudah keluar/dikeluarkan.
Yang keluar/dikeluarkan pun catatan aibnya buanyaaaaak hanya saja struktur melarang untuk membicarakannya. Yang kasian pak Yusuf Supendi. Karena menuntut PKS ke pengadilan, akhirnya dengan "sangat terpaksa" di pengadilan dibuka deh alasan mengapa beliau dipecat. Padahal aib sudah ditutup-tutupi, tapi dipaksa utk dibuka, ya terbuka deh.
Diam itu lebih baik. Yang suka bicara buruk tentang org lain belum tentu lebih baik daripada yang dibicarakannya itu. Ya bersyukur saja kalau aib-aibnya masih ditutupi oleh Allah. Kalau sudah terbongkar, waw..
(2) Bahwa (Mashadi mengatakan) Al-Ikhwan selama 100 tahun tak pernah berkompromi pada kekuasaan saja sudah tidak tepat. Justru Al-Ikhwan sejak awal berkompromi banyak sekali.
Di buku "Risalah Pergerakan" (karya Hasan a-Banna) keliatan jelas sikap Hasan al-Banna. Di awal-awal masa dakwah, beliau tidak berniat masuk politik praktis. Partai-partai semuanya dinasihati, tidak dikecam, apalagi dianggap thaghut karena mengikuti demokrasi. Semua dinasihati baik-baik. Bahkan jelas disebutkan disana (di buku "Risalah Pergerakan") bahwa ada cita-cita agar partai-partai di Mesir semuanya berlomba-lomba dlm kebaikan. Tidak perlu dibubarkan, tapi orientasinya diperbaiki. Itu udah kompromi. Dan lihat keadaan sekarang di Mesir, apa itu bukan kompromi namanya? Kalau tidak kenal kompromi, pasti Al-Ikhwan sudah menyatakan jihad qital melawan pemerintah zalim rezim As-Sisi. Tapi nyatanya kan Al-Ikhwan sangat kenal kompromi. Saya rasa pak Mashadi sangat bias dengan opininya sendiri. Kalau sudah begini, sisa wawancaranya sepertinya tidak perlu ditanggapi lagi.
(3) Benar. Ini persoalan sudah basi, gak perlu dibahas lagi. Tapi sekedar ingin memberi catatan akhir, coba lihat poin yang ini dari wawancara Mashadi di GATRA:
GATRA: Bagaimana Anda melihat kasus Luthfi?
Mashadi: Ini anomali yang tidak bisa dimengerti. Sebuah entitas politik yang berasal dari kegiatan dakwah berubah karakter, perilaku politik, dan visi-misinya. Sekarang bukan saja melakukan pragmatisme politik, melainkan juga melakukan pelanggaran terhadap asas. Bukan hanya melanggar hukum, melainkan juga pelanggaran doktrin gerakan.
Menurut saya, ini komen yang sangat menyedihkan, bahkan memalukan secara akademis. Tidak ada komentar sama sekali tentang kejanggalan-kejanggalan dalam kasus ust Luthfi yang justru diakui oleh para pakar hukum sendiri. Belum apa-apa komennya sudah "pragmatisme politik", "pelanggaran terhadap asas", "melanggar hukum", "pelanggaran doktrin pergerakan". Kelihatannya Pak Mashadi mengabaikan fakta-fakta hukum, sama seperti hakim yang menjatuhkan vonis di pengadilan Ust Luthfi. Sejak awal tuduhannya kan gak jelas. Dibilang menyuap, tapi uangnya nggak pernah nyampe. Fathanah saja sudah mengaku berkali-kali cuma jual nama ust Luthfi. Tapi komen Pak Mashadi ya seperti itu. Kalau benci sama PKS, minimal bisa obyektif dan jujur. Kalau sudah tidak obyektif dan tidak jujur, ya tidak perlu ditanggapi lagi.
Jangan bilang kalau pengadilan memutuskan berarti sudah pasti benar ya. Kalau pengadilan di Indonesia (atau dunia) selalu bisa dipercaya, urusan kita beres semua. Pak Mashadi sebagai aktivis dakwah pasti tau intrik-intrik hukum di negeri ini. Kalau diabaikan, hanya demi mendiskreditkan PKS, ya kita cuma bisa mendoakan.
Bagi saya, ini sudah case closed. Dalam ilmu hadits, kalau perawi sudah gak tsiqah, ya ke depannya apa pun yang dikatakan tidak perlu dihiraukan lagi.