Membandingkan Karakteristik WNI Luar Negeri Pemilih Prabowo dan Jokowi


Ketika ada protes dari pihak PDIP yang disuarakan oleh Eva Sundari dan Oneng bahwa di Malaysia ada kecurangan, saya tertarik untuk melihat karakteristik WNI pemilih Jokowi dan Prabowo. Analisis yang dilakukan menggunakan discriminant analysis.

Data yang berisi persentase pemilih masing-masing capres dari negara-negara yang ada di dunia kami kumpulkan dan kami amati, apakah memang ada pola tertentu. Analisis ini berguna untuk memberi pengesahan apakah tuduhan terhadap pemilihan presiden dan wakil presiden yang curang memang didukung oleh data.

Analisis ini memang tidak akan bisa secara serta merta menjadi sebuah keputusan bahwa suatu Negara ada kecurangan atau tidak, namun dengan pola umum bisa dilihat apakah kecurangan (kalau ada) bersifat massif dan keluar dari pola umum.

Analisis kami awali dengan langkah yang paling mudah, yaitu melakukan sortir persentase perolehan suara. Dari sortir ternyata beberapa status Negara terlihat ada yang signifikan dan tidak signifikan. Dari segi pendapatan perkapita, kemajuan teknologi, jumlah ilmuwan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti antara pemilih Jokowi dan Prabowo. Yang menarik, persentase pilihan itu identik dengan agama. Persentase pemilih akan terpisah antara negara-negara dengan mayoritas penduduknya muslim dan non muslim. Yang dimaksud dengan penduduk disini adalah penduduk asli atau warga Negara tempat WNI bermukim.

Menggunakan uji Wilk’s Lamda dan Chi Square, ternyata memang terlihat bahwa WNI yang tinggal di Negara dengan penduduk yang mayoritas Muslim akan cenderung mendukung Prabowo demikian pula sebaliknya. Ketepatan ini mendekati 100%, hanya satu Negara yang tidak sesuai yaitu PPLN Dubai (Uni Emirat Arab). UEA merupakan Negara muslim namun preferensi pilihan terhadap presiden mempunyai pola seperti Negara-negara non Islam. Dalam hal ini, sangat menarik jika didalami apa penyebab  UEA masuk dalam kategori ‘negara dengan penduduk mayoritas non Islam’ secara karakterstik preferensi pilihan capresnya. Mungkin karena memang mayoritas penduduknya justru adalah warga Negara Asing (yang non muslim) atau mungkin juga karena kebijakan pemerintah setempat yang berpengaruh terhadap informasi, sikap dan gaya hidup WNI yang ada disana.

Dari persentase pilihan kepada Capres, kita bisa simpulkan sementara ada konsistensi data diantara negara-negara yang ada bahwa dari pola umum terlihat tidak ada indikasi kecurangan (atau setidaknya kecurangan yang banyak) terhadap pilpres di Luar Negeri (dan lebih khusus di Malaysia).

Khusus untuk Malaysia kita bisa uji menggunakan dua hal : Antar PPLN dan antara perhitungan TPS dan Dropping Box/Pos.

Untuk perbandingan antara TPS dan dropping box/pos memang ada perbedaan karakteristik. Pemilih TPS adalah pemilih yang tidak terikat dengan ketat perihal kontrak dan waktu. Biasanya adalah mahasiswa, pekerja yang jelas waktu kerja dan istirahatnya dan penyelenggaraan pemilu bertepatan dengan waktu bebas. Sebagian besar pekerja di Malaysia memang bukanlah orang yang mempunyai waktu yang cukup untuk datang ke TPS sehingga akan sangat sulit mencari pemilih yang bisa datang ke TPS. Lain lagi dengan Pos dan Dropping Box yang surat suara mendatangi pemilih. Kelemahan pos adalah memang akan sangat susah membedakan yang memilih itu yang berhak atau majikannya (rata-rata pos untuk para pembantu rumah tangga), sedangkan dropping box di pabrik/kantor tempat TKI bekerja.

Namun demikian kita bisa melihat bahwa TPS pun bukan benar-benar mencerminkan kebenaran sebagaimana diungkap oleh Rieke. Karena pemilih TPS tidak hanya murni dari pemilih yang diundang untuk memilih di TPS. Pemilih tambahan tersebut adalah juga datang dengan cara mobilisasi massa dengan menyewakan bis untuk dibawa ke TPS dengan imbalan RM50 (sekitar Rp150rb). Hal ini terungkap ketika ditanya, anda pilih siapa ? “Jokowi”. Mengapa ? “sudah dikasih duit dan diantar jemput”, jadi jawaban yang cenderung pragmatis.

Sedangkan kasus mobilisasi yang terlebih sukar untuk ditoleransi adalah mobilisasi para pemilih yang datang khusus ke Kuala Lumpur untuk mencoblos. Istilahnya mencoblos dua kali, 5 Juli di Kuala Lumpur dan 9 Juli di Jakarta atau tempat dimana orang tersebut tinggal. Juga mobilisasi seperti terlihat dalam gambar.


Jadi dari sini bisa disimpulkan bahwa klaim menyamakan DB dan Pos dengan TPS adalah sebuah kesalahan karena karakterstik yang berbeda. Kedua adalah mobilisasi pemilih yang tidak seharusnya memilih. Indikasi itu terbukti dengan stempel yang ada pada paspor mereka saat pemeriksaan di depan petugas TPS, saudara-saudara kita yang sebagian besar ber etnis cina itu tidak memiliki visa/izin tinggal di Malaysia. Mereka hanya memiliki visa kunjungan yang didapatkan saat kedatangan di bandara.

Jumlah mereka yang mencapai hampir seribu orang tersebut kalau dikurangkan dari pemilih jokowi (lihat, mereka selfie dan tanpa ragu-ragu mengkampanyekan pilih dua pada para pemilih). Kalau tanpa mereka justru Prabowo lebih banyak pemilihnya dibandingkan Jokowi. Perkiraan itu dengan cara mengamati mereka yang suasana TPS sudah seperti Beijing, yang pada kenyataannya jumlah orang yang ber etnis pribumi lebih banyak di Malaysia. Jadi kalau Rieke dan Eva Sundari mencurigai di Malaysia ada kecurangan, yang pantas diperiksa adalah timses Jokowi sendiri.

Cara kedua adalah membandingkan hasil di tiga PPLN semenanjung dan PPLN di sabah-serawak. Terlihat di Sabah Serawak yang sangat jauh dari jangkauan teknologi dan transportasi, Jokowi justru menang ! sebaliknya yang di Kuala Lumpur dan sekitarnya justru Jokowi kalah. Ini menandakan bahwa kecurangan itu justru banyak terjadi di daerah yang jauh dari pengawasan. Lebih masuk akal mana, kecurangan terjadi di pusat kota dimana panwaslu, saksi2 dua partai lengkap dibandingkan daerah yang tidak terjangkau panwaslu??

Salah satu buktinya adalah pesan singkat dari seorang kepala pekerja yang mengeluhkan pemaksaan oleh orang-orang Jokowi terhadap pilihan pekerja.



Baca juga :