Oleh Ustadz Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Pada Pilpres, 9 Juli 2014, bertepatan dengan 11 Ramadhan 1435 H, rakyat Indonesia akan menentukan siapa Presiden RI pengganti SBY. Namun jelang pilpres, banyak yang khawatir nasib NKRI bila Prabowo terpilih jadi Presiden. Tapi lebih banyak lagi yang ketar-ketir, nasib jelek akan menimpa RI, bila Jokowi jadi presiden.
Salah seorang yang khawatir adalah Romo Franz Magnis Suseno. Melalui kicauannya di twitter, 25 Juni 2014, Magnis mengungkapkan terus terang bahwa dia tidak mungkin memberikan suaranya pada Capres Prabowo Subiyanto. Bukan karena tidak setuju program Prabowo. Juga, bukan meragukan kesetiaan pada Pancasila ataupun anti pluralisme.
Franz Magnis Suseno tidak mendukung Prabowo, karena alasan ideologis dan demografis. “Yang bikin saya khawatir adalah lingkungannya. Kok Prabowo sekarang sepertinya menjadi tumpuan pihak Islam garis keras. Seakan-akan apa yang sampai sekarang tidak berhasil mereka peroleh mereka harapkan bisa berhasil diperoleh andaikata saja Prabowo menjadi presiden?” katanya.
Siapa Islam garis keras itu? Magnis menuding Amien Rais, PKS, PPP dan FPI sebagai pihak yang dimaksud. Jika benar begitulah alasan Magnis. Maka kita bertanya, sekiranya mereka yang dilabeli Islam garis keras itu mendukung Jokowi, apakah Magnis Suseno akan meninggalkan Jokowi dan mendukung Prabowo Subiyanto? Belum tentu.
Pertanyaan itu sangat relevan, mengingat mereka yang mendukung Capres Prabowo, atau fans ‘Asal Bukan Jokowi alias Ojo Koi’ juga memiliki kekhawatiran yang sama jika Jokowi menjadi Presiden RI.
Mengapa? Karena lingkungan Jokowi sangat tidak steril dari ancaman sektarian dan SARA. Di dalam Timses Jokowi-JK berkumpul orang-orang yang anti agama, alergi dengan Islam dan sering mengeluarkan statemen yang bersifat provokatif dan permusuhan.
Adalah Trimedya Panjaitan, Ketua Timses Jokowi-JK bidang hukum yang membongkar agenda politik PDIP pasca Pilpres. Jika Jokowi menang, mereka akan menghapus Perda Syariah dan tidak membiarkan munculnya Perda Syariah baru. Trimedya juga menuduh Perda Syariah bertentangan dengan UU dan ideologi PDIP, yaitu Pancasila 1 Juni ‘45. Bukankah sikap ini berarti makar terhadap konstitusi dan menyebarkan propaganda anti Islam? Sedangkan Pancasila 1 Juni versi PDIP mengusung misi Marhaenisme yang susunannya berbeda dengan Pancasila yang dikenal sekarang. Yaitu, kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Majelis Mujahidin telah melayangkan klarifikasi dan menantang debat terbuka pihak Timses Jokowi-JK atas pernyataan di atas. Namun pihak PDIP dan Timses Jokowi tidak merespons secara semestinya. Dan tidak mau melayani tantangan debat terbuka.
Bukan hanya Trimedya yang jadi provokator times Jokowi, tapi juga pengusung liberalisme Musdah Mulia, dan mantan Ketua PRD Budiman Sujatmiko. Mereka menuntut dicabutnya UU anti komunis, menghilangkan kolom agama di KTP, dan menuding Prabowo mencari dukungan dari kelompok Islam garis keras. Pendukung Jokowi juga datang dari tokoh Syiah Jalaludin Rahmat yang ingin berlindung di balik popularitas Jokowi.
Lalu pernyataan intimidatif yang disuarakan Magnis Suseno sendiri: Jika Jokowi tidak menjadi Presiden akan terjadi chaos. Bukankah semua pernyataan ini membuktikan, bahwa pendukung Jokowi tidak menghendaki Indonesia damai. Sengaja merangkul dan memelihara kelompok minoritas yang bersikap bermusuhan dengan mayoritas penduduk negeri ini. Mengeliminir aspirasi penduduk mayoritas atas nama kepentingan minoritas, sesungguhnya sikap diskriminatif dan anti demokrasi. Bukankah demokrasi menghargai kehendak mayoritas?
Maka patut dipertanyakan, seperti juga yang dipertanyakan Magnis Suseno: Sekiranya Jokowi menjadi presiden karena dukungan pihak-pihak anti agama, liberal, aliran sesat, para pengusung dekadensi moral itu: “Bukankah akan tiba pay-back-time, bukankah akan tiba saatnya di mana ia harus bayar kembali hutang itu? Bukankah rangkulan itu berarti bahwa Jokowi sudah tersandera oleh kelompok-kelompok berbahaya yang akan mengancam eksistensi NKRI?”
Akan sangat mengerikan apabila negeri ini dikuasai oleh kekuatan jahat, ekstrem kiri dan kelompok bahaya laten yang begitu semangat dirangkul dan dipelihara. Kehadiran mereka sekarang tidak saja menakutkan tapi benar-benar menggelisahkan akan datangnya bahaya moral bagi generasi muda negeri ini. Pihak TNI khususnya, dan kaum intelektual tidak seharusnya mengabaikan bahaya laten ini.
Sekarang setiap kritik yang ditujukan kepada Capres Jokowi selalu dianggap sebagai kampanye hitam dan dituntut ke pengadilan. Namun keberanian masyarakat patut diapresiasi agar kita tidak salah pilih presiden.
Mantan Sekretaris Daerah Kota Solo Supradi Kertawamenwai buka-bukaan soal Joko Widodo (Jokowi). Supradi menegaskan imej Jokowi sebenarnya tidak seperti yang dicitrakan belakangan ini. Jokowi tidak sederhana seperti yang digembar-gemborkan. “Jokowi kalau memimpin arogan, tiap hari pakai dasinan (dasi) dan jas-jasan (jas). Ndak mau akui keberhasilan staf, kalau berhasil (jasa) dia, kalau salah staf,” ucapnya.
Selain itu, ada pemberitaan bahwa Jokowi tidak menerima gaji saat menjadi wali kota Solo. Supradi menegaskan hal itu bohong. “Itu bohong. Terima gaji, saya yang sodorkan dan terima kuitansinya,” ucapnya. “Saya paling banyak tahu (soal Jokowi) karena ruangan saya dengan wali kota cuma bersebelahan. Saya katakan Jokowi munafik lah,” ujarnya saat diwawancarai tvOne, Selasa (1/7/2014).
Jokowi boleh saja dipuja dan dipuji, Tapi jujur saya katakana, secara intelektual dia bukanlah orang yang kapabel jadi Presiden. Dan secara demografi, Jokowi didukung ekstrem kiri, aliran sesat, Kristen-katolik radikal, itu fakta yang tidak terbantahkan. Konsep kepemimpinannya hanya bertumpu pada pengalaman pribadi sebagai mantan walkot dan gubernur. Pada kedua jabatan itu Jokowi gagal memenuhi amanah rakyat.
Tim Advokasi Jakarta akan menggugat Jokowi. Mereka menilai tindakan Jokowi meninggalkan jabatannya sebagai Gubernur DKI dan sebelumnya Wali Kota Solo, untuk mencalonkan diri sebagai Presiden RI merupakan perbuatan melawan hukum.
Keberadaan Magnis Suseno sebagai misionaris Katolik dan provokator diskriminatif harus diwaspadai. Karena itu, bijaksana apabila Franz Magnis Suseno bersikap jujur dan obyektif. Label negative bukan syarat pemilihan capres, melainkan sikap diskriminatif yang seharusnya dibuang. Saya bertanya, apakah warga Negara RI yang memiliki hak pilih dan dijamin UU tidak boleh mendukung Capres hanya karena dia dicap Islam garis keras?
Saudara-Saudari: Pilihlah Capres yang diprediksi dapat memenuhi aspirasi rakyat Indonesia, tidak dikelilingi oleh potensi ekstrim kiri dan anti agama, yang sangat potensial menciptakan permusuhan sesama warga bangsa. Pilih sosok yang paling dekat hubungannya dengan mayoritas penduduk negeri ini, tidak terindikasi antek asing yang bisa diperalat kekuatan jahat. Semoga rakyat Indonesia menemukan Presiden baru yang maslahat untuk semua.
Jogjakarta, 5 Juli 2014