Manusia itu mengalami kondisi yang berulang-ulang dalam kehidupannya; antara dua kegembiraan, kegembiraan yang muncul dari kemenangan terhadap nafsunya, dan kegembiraan dari kemenangan nafsunya atas dirinya.
Yang pertama adalah kegembiraan yang hakiki yang tetap terjaga yang mempengaruhi kestabilan jiwa dan kenyamanannya, serta berpengaruh dalam menggapai kedudukan manusia dan keberaniannya untuk melakukan hal-hal yang mulia serta peningkatan dirinya ke derajat yang tinggi di dunia dan di akhirat.
Sementara kegembiraan kedua adalah palsu lagi sementara yang muncul dari keberhasilan memperoleh kepuasan syahwat duniawi yang fana yang dikehendaki nafsunya. Ketika nafsu syahwat berlalu, maka kembalilah kepadanya kegundahan, kegelisahan, kebingungan, dan kesempitan. Kesempitan ini muncul dari penyesalannya karena dia telah melakukan apa yang bertentang dengan fitrah kemanusiaan yang lurus, atau muncul dari apa yang dikehendaki oleh jiwanya yang tidak mampu melakukannya berupa perkara-perkara syahwat.
Contoh kegembiraan hakiki, yang disebutkan di dalam hadist shahih, Nabi s.a.w bersabda,
“Orang yang berpuasa akan mengalami dua kegembiraan, kegembiraan saat berbuka puasa dan kegembiraan saat bertemu dengan Tuhannya.” (HR. At-Tirmidz, shahih, 5183)
Kegembiraan yang pertama yaitu saat berbuka, sebab dia telah menyelesaikan suatu tahapan ujian bagi jiwanya, dia melarang jiwanya dari apa-apa yang biasanya dikehendaki seperti makanan, berhubungan badan, berbantah-bantahan dan lainnya, dia bergembira karena dia telah meraih kemenangan atas jiwanya dalam ujian itu, dia bergembira karena mengetahui bahwa Allah pasti memberi pahala yang besar saat menjauhkannya dari api neraka sejauh tujuhpuluh musim sebagaimana terdapat dalam sebuah hadist shahih lainnya. Dan kegembiraan kedua yaitu saat bertemu Tuhannya, itulah kegembiraan terbesar dimana seseorang diberi pahala lantaran apa yang dilakukannya di dunia.
Kegembiraan yang hakiki itu abadi selama-lamanya dan tidak terbatas oleh waktu, karena seseorang merasa bahwa dia menjadi tuan bagi jiwanya, dia mengarahkannya ke mana pun yang dikehendaki oleh Pelindungnya dan menyuruhnya pada kebaikan; sementara kegembiraan yang palsu itu terbatas oleh waktu, karena dalam kegembiraan ini merasa dia sebagai budak yang hina bagi nafsunya, nafsunya mengarahkannya ke mana pun yang dikehendakinya yang menimbulkan kemurkaan Allah s.w.t.
(Dari buku Ta'amulat Ba'd al-Fajr, Abdul Hamid al-Bilaly)