Jakarta, (13/6) – Pemerintah harus menjelaskan kepada publik dan DPR terkait isu perpanjangan kontrak terhadap perusahan tambang PT Freeport Indonesia (PT FI) yang tercantum dalam sebuah memorandum of understanding (MoU) terlebih dulu. PT FI selama ini menjadi salah satu perusahaan yang berkeras tidak mau dalam renegoisasi kontrak, demikian ungkap Anggota DPR RI Komisi VII dari F-PKS Muhammad Idris Lutfi, MSc.
Idris meminta pemerintah menjelaskan proses renegoisasi terlebih dahulu sebelum menentukan perpanjangan kontrak bagi PT FI. “Pemerintah harus menjelaskan progress renegoisasi dengan PT FI sebelum secara sederhana memperpanjang kontrak perusahaan tersebut,” kata Idris
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sukhyar, pada Jumat lalu (6/6) mengatakan Pemerintah Indonesia akhirnya memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia dari seharusnya berakhir pada 2021 menjadi 2041. Namun selang beberapa hari kemudian Senin, (9/6/2014) Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung membantah pernyataan pejabat tersebut soal keputusan Pemerintah memperpanjang kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia.
“Ada koordinasi kebijakan yang lemah antara Kementerian ESDM dengan Menteri Koordinator Perekonomian sehingga isu tersebut muncul di publik, karenanya perlu dipaparkan prosesnya kepada publik secara transparan,” ujar Idris.
Idris menambahkan, Pemerintah jangan terlalu tergesa-gesa untuk memutuskan perpanjangan kontrak terhadap PT FI mengingat masih cukup waktu hingga tahun 2019. Saat ini yang perlu dilakukan Pemerintah, menurut Idris adalah berkonsentrasi terhadap seluruh klausul renegoisasi dengan pihak PT FI. Selain itu dia berpendapat, sebaiknya PT FI juga berinisiatif dan beritikad baik untuk menyelesaikan masalah ini segera.
“Komitmen renegoisasi harus dilakukan dari kedua belah pihak, jangan hanya datang dari salah satu pihak. Renegoisasi pada prinsipnya mengembangkan dan menjaga potensi energi dalam negeri dengan tetap menghormati kontrak yang telah ada,” tegas Idris
Ada enam poin renegoisasi yaitu pembangunan unit pengolahan dan pemurnian (smelter), luas lahan tambang, perubahan perpanjangan kontrak menjadi izin usaha pertambangan (IUP), kenaikan royalti untuk penerimaan negara, divestasi, serta penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri. (pks.or.id)