Di periode saat sudah cukup banyak orang bergabung dalam barisan Islam atau barisan dakwah, pangkat dakwah dan senioritas banyak dianggap sebagai sesuatu yang prestisius. Hal ini sangat wajar. Dalam organisasi negara atau militer pun ada pangkat-pangkat dan lapisan dari para anggotanya.
Di masa Rasulullah pun kualitas para shahabat bisa dilihat dengan sebutan-sebutan 4 khulafaur rasyidin, 10 shahabat yang dijanjikan masuk surga, muhajirin, shahabat senior perang Badar, dan sebagainya. Yang lebih senior atau berpangkat lebih tinggi dihormati karena dianggap pemahamannya lebih dalam, pengorbanannya lebih besar, dan kesetiaannya lebih teruji.
Tapi bukan berarti yang junior miskin kontribusi. Seperti al-Mutsanna bin Haritsah. Dia bukan shahabat. Cuma “anak kemarin sore” kalau dibandingkan para shahabat senior veteran perang Badar. Baru masuk Islam saat masa khalifah Abu Bakar. Tapi kesetiaannya luar biasa. Keikhlasannya tak terkira. Dan rasa tanggung jawabnya memikul beban juang sulit ditandingi.
Dia sudah berperang melawan Romawi. Berperang melawan Persia. Namun cita-cita membebaskan kaum muslimin dari penjajahan kedua imperium itu tak sempat ia saksikan di sisa masa hidupnya. Lukanya yang parah akibat pertempuran di jembatan sungai Eufrat kembali terbuka. Dia meninggal sebelum sempat Saad bin Abi Waqqash tiba.
Tatkala pasukannya yang kalah jumlah dari Romawi dibantai di jembatan sungai Eufrat, ia tidak melarikan diri. Abu Ubaid sang komandan gugur diinjak gajah Romawi, dengan sigap Mutsanna maju sebagai komandan pengganti sesuai wasiat. Meski hanya komandan pengganti, tak gentar hati Mutsanna. Bukannya kabur, ia melindungi pasukannya dan bertempur melawan pasukan Romawi beserta gajah-gajahnya.
Jika diam, pasukan Islam akan habis dibantai. Jika melompat ke sungai, mereka tenggelam. Maka mereka harus melalui suatu sisi jembatan sambil ada yang menahan pasukan Romawi di sisi yang lain. Maka Mutsanna sang komandan memberi instruksi dengan gagah berani yang dengannya menyelamatkan kaum muslimin;
“Wahai manusia, menyingkirlah ! Dan aku akan bertahan di sisi jembatan ini. Dan tidak akan melewatinya hingga kita seluruhnya selamat dan pergi dari sini tanpa ada yang tersisa !” (Al-Bidayah wan Nihayah)
Luka-lukanya yang parah akhirnya terkoyak, mengantarkan Mutsanna kepada kematian.
Terpujilah engkau wahai komandan. Di posisi mana kita jika dibandingkan komandan sholih ini?
*by @marimar_auw on twitter