Golongan Putih atau Hitam


Oleh Asma Nadia

Menjelang pemilu mulai banyak yang menyebarkan ide untuk menjadi golput atau secara terbuka menyatakan diri akan golput. Golput atau golongan putih dikenal sebagai sebutan untuk warga negara yang sengaja menolak memilih dalam pemilu, sekalipun mempunyai hak pilih.

Ada yang menggelitik saya ketika mendengar lagi kata golput terutama mengacu pada singkatannya. Jika mereka yang menolak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum disebut golongan putih, apakah berarti mereka yang memilih dalam pemilihan umum kemudian menjadi golongan hitam? Bukankah putih sering dianggap sebagai kebalikan hitam? Bukankah putih selalu identik dengan kesucian, kebaikan, dan kebenaran? Lalu mengapa yang tidak memilih malah dianggap kelompok putih? Kalau mau tetap menggunakan warna, menurut saya, putih bukan warna yang tepat.

Saya pribadi selalu berusaha untuk memilih dalam pemilihan umum yang merupakan bentuk partisipasi minimal bagi warga negara dalam perubahan negeri. Jika setiap pemilih disebut sebagai golongan hitam, saya keberatan. Kadang terpikir, mengapa tidak kita sebut saja mereka yang tidak memilih dengan golongan hitam? Beri singkatan baru, golhit atau goltam. Tapi kalau kategori warna tidak cocok, ada beberapa usulan.

Pertama golmal atau golas kependekan dari golongan malas karena orang yang memilih untuk tidak memilih dalam pemilu sebenarnya malas. Bukan malas datang ke tempat pemilihan umum (TPU), tapi malas untuk meluangkan waktu mencari tahu siapa di antara semua kandidat yang ada yang bisa benar-benar atau lebih baik dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka mengambil langkah mudah menyamaratakan semua kandidat tak layak.

Saya percaya masih ada politisi yang baik, yang masuk ke politik untuk berjuang bukan memperkaya diri dan ego. Untuk mengetahui mana yang baik mana yang busuk, kita harus mencari tahu, pelajari, bukannya malas mencari tahu dan memilih abstain.

Atau bisa juga mereka kita sebut golpra alias golongan prasangka. Sengaja tidak memilih sebab beranggapan atau memukul rata semua politisi adalah busuk. Prasangka atau sikap menghakimi yang dikombinasikan dengan malas tentu saja merupakan komposisi yang buruk.

Bagaimana dengan sebutan golau? Golongan galau. Mereka tidak suka politisi dan perkembangan politik, tetapi memutuskan tidak memiliki andil untuk memperbaikinya. Hanya bisa sumpah serapah, mengeluh resah, tapi tidak bersedia terlibat bahkan sekadar memilih. Saya bukan tidak menyadari, situasi politik saat ini yang semrawut dan penuh kebusukan. Namun, selamanya tidak akan terjadi perubahan ke arah kebaikan jika kita memutuskan tidak melakukan apa-apa. Bangsa ini perlu solusi untuk memperbaikinya dan solusinya tentu saja bukan berlari atau menghilang seperti pengecut.

Salah satu solusinya, orang baik harus masuk politik. Kalaupun tidak mau, maka orang baik harus memilih orang baik lain yang mau berkorban masuk ke dalam politik. Yang membuat saya terusik adalah sebagian besar mereka yang dengan kesadaran memutuskan tidak memilih justru para intelektual, orang cerdas yang berpendirian dan berpihak pada kebenaran serta pro perubahan.

Apa jadinya jika warga negara berkualitas memilih tidak berperan dalam pemilu? Indonesia tercinta justru akan kehilangan banyak suara orang yang peduli dan berilmu. Mereka yang peduli harus bersatu hingga suara pro kebaikan lebih banyak, mengalahkan suara mereka yang plin plan, pemilih baru yang lugu, atau pemilih yang asal-asalan yang bisa dibayar.

Jika tidak, pemilu hanya menghasilkan kandidat abal-abal: tidak berkualitas, sibuk memperkaya diri, dan ujung-ujungnya tersangkut korupsi atau pasif dan keberadaannya tidak memberikan angin positif bagi negeri.

Satu hal, sekalipun golongan yang tidak memilih banyak jumlahnya, pemilu tetap berjalan dan hasilnya tetap sah. Jadi kalau kandidat abal-abal tadi yang terpilih, masyarakat yang tidak memilih jelas ikut bertanggung jawab.

Mumpung masih ada waktu, mari luangkan untuk mencari kandidat terbaik yang ada. Jangan sia-siakan kesempatan hanya karena prasangka, malas, dan galau. Jangan jadikan diri golongan hitam, golongan malas, golongan prasangka atau golongan galau. Pun jika akhirnya memutuskan tidak memilih, jangan lupa tetap mendaftar dan mengisi data agar nama sendiri tidak dimanipulasi atau dipakai untuk kepentingan politik busuk. Pemilihan umum adalah pilihan, pilih dengan hati dan wawasan.[]

*ROL

Baca juga :