Keluarga Mahyeldi |
Ketika berita itu satu persatu bermunculan. Berita kemenangan. Kemenangan kita. Aku bahagia, bahagia sekali. Namun disaat yang sama, perasaan lain muncul, bercampur aduk.
Disatu sisi, aku bahagia. Rasa bahagia ini buya, adalah ekspresi cinta yang kian lama kian bertambah. Aku bahagia memiliki buya apa adanya, dengan setumpuk kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Aku bahagia memiliki buya yang tak pernah berhenti berjuang walau dibanjiri air mata, keringat, bahkan darah. Aku cinta buya, teramat cinta karena Allah.
Aku senang, akhirnya perjuangan buya beserta para tim sukses dan sahabat menuai hasil. Hasil yang teramat diharapkan sejak lama. Namun hasil ini bukanlah pertanda perjuangan berakhir. Bahkan, inilah titik dimana jihad kita bermula. Jihad untuk merealisasikan janji-janji yang selama ini tercap maupun terucap. Jihad untuk mewujudkan visi dan misi untuk kemajuan kota Padang bertahun-tahun kedepan.
Perjuangan ini, bukan hanya perjuangan buya sendiri, bukan juga perjuangan tim buya, melainkan perjuangan kita semua, masyarakat kota Padang, bersama saling mengisi dan melengkapi batu bata untuk membentuk sebuah bangunan masyarakat yang kokoh tak terkalahkan. Itulah masyarakat kota Padang kedepan (insya Allah).
Disisi lain, ada rasa yang bertolak belakang. Perasaan sedih yang perlahan menyelinap masuk dalam kalbuku. Setelah 5 tahun sebelumnya, aku mengikhlaskan buya untuk kota Padang, 5 tahun kedepan aku juga harus rela melepasnya kembali. Melepas buyaku yang telah lama mewakafkan dirinya untuk dakwah, untuk Islam. Bahkan kali ini aku harus melepasnya secara total sebagai orang nomor satu yang bertanggung jawab atas keberlangsungan kota Padang.
Mungkin perasaan sedih ini membuatku terlihat cengeng. Bagaimana tidak. Banyak anak-anak dengan orang tua yang jauh lebih sibuk dibandingkan buya dan ummi, seperti anaknya gubernur, wakil gubernur, pembesar-pembesar partai, namun mereka tidak terlihat cengeng sepertiku. Bahkan saking cengengnya aku, banyak orang yang menguatkan sambil berkata "masa anak buya cengeng" atau "masa anak buya segini aja udah nyerah, ngga kuat".
Rasa sedih ini adalah refleksi cintaku pada buya. Aku kehilangan waktu untuk berlama-lama bersamamu. Waktu kita bercengkrama semakin lama semakin sedikit. Kuharap, walaupun kuantitas masa kita terbatas, semoga kualitasnya tiada batas. Aku sedih, aku harus membagi cinta lagi.
Aku sadar. Jabatan ini bukanlah permainan, tapi ini amanah yang akan dipertanggung jawabkan didepan Tuhan. Berat, sungguh berat. Karena itu, aku bertekad untuk tidak menjadi beban tambahan untuk buya, baik didalam rumah ataupun di masyarakat. Aku berharap, aku bisa menjadi sumber kekuatan untuk buya. Ya, disaat kita jumpa diwaktu-waktu berkualitas tanpa batas.
Inilah, dua rasa cinta yang kurasakan saat ini.
Shofia Shabrina Ansharullah
@si_bina on twitter
*sumber: kasurau