Oleh: Mustofa B. Nahrawardaya*
KEGIGIHAN KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam memburu para koruptor Hiu selama ini telah mengindikasikan betapa Indonesia ingin secara serius menghabisi ikon-ikon korupsi, baik itu secara ikon personal maupun ikon kelembagaan.
Alhasil, banyak koruptor mulai dari kelas Hiu sampai kelas kakap bahkan hingga kelas teri dibuat tidak berkutik oleh KPK. Mereka ketakutan, terbirit-birit dan tidak ada kesempatan untuk mengulangi lagi perbuatannya. KPK di atas angin.
Apalagi dengan adanya LSM semacam ICW (Indonesian Corruption Watch) dan PUKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi) UGM, ditambah dukungan segenap masyarakat terhadap kedua lembaga itu, jelas akan membuat para koruptor maupun calon koruptor tidak bisa tidur nyenyak.
Seluruh lubang yang kemungkinan dipakai untuk berlindung koruptor, hampir-hampir saja tidak ada lagi. Semua sudah disumpal, dan semakin hari peluang untuk korupsi tampaknya akan semakin sempit. Meski demikian, bukan berarti ladang-ladang korupsi tersebut hilang.
Salahsatu ladang empuk yang sering dianggap korup barangkali Parlemen. Salahsatu Komisioner KPK, Adnan Pandu Praja dalam sebuah diskusi tahun lalu, juga pernah menyebut bahwa Parlemen adalah salahsatu lembaga paling korup, setelah Pengadilan dan Kepolisian.
Dengan demikian, KPK sudah pasti akan memfokuskan bidikannya ke arah tiga lembaga tersebut, karena dengan masuknya Pengadilan, Kepolisian dan Parlemen, maka ketiganya dianggap sebagai ikon koruptor. Hampir semua kasus korupsi berawal dari mereka titik mulanya. Banyak kasus yang diungkap KPK, akhirnya memang membuktikan ucapan Adnan Pandu itu.
Sudah tak terhitung lagi, berapa politisi yang akhirnya meringkuk di balik jeruji besi. Berapa Hakim yang tertangkap tangan, dan bahkan ada oknum Jenderal Polisi yang sudah menghuni hotel prodeo. Jika saat ini masih ada juga koruptor pada ketiga lembaga itu, ini mungkin hanya soal waktu saja. Suatu saat akan terlibas juga. Bahkan bagi yang sudah tertangkap dan diadili serta sudah berkekuatan hukum tetap (in-kracht), siap-siap saja menjadi bulan-bulanan masyarakat, karena korupsi adalah kejahatan besar (extra ordinary crime) selain terorisme dan narkotika.
Jadi Terdakwa Sebelum Waktunya
Pada kasus kejahatan besar, belum in-kracht saja sudah menjadi bulan-bulanan media dan masyarakat, apalagi kalau sudah in-kracht. Inilah yang barangkali akhirnya menjadi efek jera bagi pelaku, dan juga menjadikan momok bagi yang belum tertangkap maupun bagi yang berniat melakukan kejahatan korupsi.
Bagaimanapun, orang-orang atau lembaga yang berurusan hukum dengan KPK, terpaksa harus rela menjadi sorotan kamera media, dan harus siap menerima resiko terburuk: menjadi “terdakwa” sebelum waktunya.
Yang jelas dengan dukungan media massa, masyarakat saat ini dengan mudah bisa mengenal wajah-wajah tersangka korupsi yang hampir setiap sebelum atau sesudah pemeriksaan di KPK atau sidang di Pengadilan selalu tertangkap kamera, bahkan sering diwawancarai secara live, dan tidak ada satupun para tersangka korupsi yang bisa menghindar dari bidikan media massa.
Seumur-umur, baru ada satu nama (kalau tidak salah Budiono—mantan Gubernur BI yang sekarang menjadi Wakil Presiden) yang saat sebelum maupun sesudah pemeriksaan oleh KPK tidak ter-ekspose media secara live, hingga menyebabkan adanya aksi ancaman pemboikotan media kepada KPK. Selain Budiono, hampir semua pemeriksaan, baik sebelum maupun sesudahnya selalu ter-ekspose media massa.
Tidak bisa dibantah, blow up media massa selama ini cukup efektif untuk menjadi shock teraphy bagi calon koruptor yang ingin atau siapapun sudah terbukti korupsi. Pengungkapan sisi-sisi lain terduga/tersangka koruptor oleh media massa, meski ini kontroversial, benar-benar berhasil memukul telak para koruptor maupun pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Mereka sering menjadi bulan-bulanan media massa dan bulan-bulanan di dunia jejaring sosial.
Koruptor sebagai Donatur Parpol
Saya tidak tahu, apakah ketika Kuwait Anti-Corruption Authority (KANCOR)/KPK-nya Kuwait mengunjungi KPK seminggu lalu, soal-soal tersebut disampaikan KPK kepada Lembaga Anti Rasuah milik negara tetangga ini. Yang jelas, mau diakui atau tidak, saat ini KPK menjadi buah bibir masyarakat, meski masih ada kontroversi dan masih ada persoalan yang belum terpecahkan antara KPK, Pemerintah dan DPR.
Ada satu catatan yang perlu disampaikan bahwa, pada Pemilu 2014 nanti, dimana KPK sudah sepantasnya berperan aktif pada momen penting hajatan Bangsa Indonesia lima tahunan ini. KPK seharusnya memanfaatkan momen besar ini sebagai bukti keseriusannya dalam mencegah korupsi.
Hadirnya Pemilu setiap lima tahun, udah semestinya dapat dipakai oleh KPK untuk mengedukasi masyarakat terhadap bahaya koruptor sebagai public enemy. Karena pada setiap Pemilu pula, Indonesia sedang dan akan melahirkan banyak orang menjadi Anggota Parlemen. Indonesia sedang dan akan melahirkan banyak orang menjadi Menteri. Indonesia juga sedang dan akan mengganti Presiden dan Wakil Presiden.
Berkaitan dengan itu, saya sejak lama memiliki keyakinan baik KPK sudah pasti memiliki data lengkap siapa saja yang telah dinyatakan terlibat korupsi, baik yang saat ini masih dalam tahap penyidikan, maupun sudah in-kracht. Mereka punya analisa-analisa lengkap seputar nama-nama koruptor yang patut diketahui masyarakat. Karena sebagian besar mereka adalah pejabat publik, sudah pasti KPK dengan mudah bisa mengetahui jabatan para oknum sebelum akhirnya keluar atau dikeluarkan oleh otoritas lembaga dimana para koruptor bekerja atau memiliki kaitan antara korupsi dan jabatannya itu.
KPK perlu merilis mereka secara lengkap data riwayat hidupnya, termasuk yang terpenting adalah nama Parpol yang pernah dimasukinya. Sekali lagi, yang yang paling utama untuk dirilis adalah para terpidana atau boleh dibilang koruptor yang sudah in-kracht.
Selain itu, juga perlu dirilis nama-nama koruptor besar meskipun bukan pengurus parpol atau pejabat pemerintahan, karena bukan tidak mungkin merekalah para donatur Parpol yang akhirnya menyebabkan di dalamnya bercokol para koruptor.
Dengan demikian, baik KPK bisa memberi gambaran pasti kepada masyarakat khususnya pemilih pada Pemilu 2014, seberapa banyak orang-orang yang terbukti korup yang secara kebetulan sebelum ditangkap KPK adalah orang Parpol tertentu. Rilis nama lengkap beserta riwayat hidup koruptor kepada masyarakat, termasuk nama Parpolnya, akan sangat membantu pemilih yang akan menuju bilik suara. Mereka akan menentukan pilihan, salahsatunya berkaca pada data nama-nama orang yang pernah menjadi pengurus parpol yang dinyatakan korupsi oleh KPK maupun Pengadilan. Dengan demikian itu, maka masyarakat kini bisa memberi hukuman ‘adat’ bagi Parpol yang tercatat sebagai Parpol korup.
Adakah Parpol Bersih Korupsi?
Masyarakat akan ramai-ramai menghindari parpol paling korup, dan tidak lagi memberi peluang mereka untuk hidup meski selama masa kampanye mereka mampu membeli durasi dalam beiklan di media massa. Jika ini dilakukan, jelas akan menjadi alat pukul bagi parpol untuk berhati-hati setiap kampanye di tengah masyarakat. Parpol tidak akan mudah membuat janji-janji politik, dan yang paling penting masyarakat tidak akan lagi sudi memilih Parpol korup.
Apakah ada Parpol yang bersih dari kasus korupsi?
Sehebat-hebatnya Parpol, sehebat-hebat semboyan Parpol, sulit untuk menghindari adanya oknum di dalamnya. Karena di sana adalah kumpulan manusia biasa, maka dari itu jika ada satu dua yang terlibat dengan urusan KPK maupun urusan kejahatan lain, tentu masih dapat difahami.
Sebaliknya, jika kemudian ada yang menyatakan sebagai Parpol Suci, justru ini jelas tidak yang masuk akal. Sebagai lembaga yang didirikan, diisi, dikendalikan, dan dimiliki oleh manusia, adanya oknum bukanlah sesuatu yang mengagetkan.
Lalu konten apa yang harus disampaikan KPK untuk Pemilu 2014? Yang harus dilakukan KPK adalah merilis indeks korupsi Parpol berdasar nama pelaku, jumlah angka yang dikorupsi, serta status yang disandangnya: terpidana atau tersangka tetapi buron. Dan yang lebih penting adalah data parpol yang berafiliasi dengan pelaku. Tidak perlu ada istilah terduga korupsi untuk menghindari fitnah seperti yang banyak terjadi di kasus terorisme.
Jika perlu, data koruptor bisa meluas hingga data Nasional. Artinya, data koruptor yang dirilis berasal dari Ibukota hingga Kabupaten. Dengan data-data itu saja, sudah bisa dilakukan pemetaan, dan grafis informasi sederhana yang nantinya dengan mudah bisa dibaca masyarakat. Grafis indeks Parpol korup, dengan grafis sederhana, dicetak dan diumumkan ke publik. Jika perlu, KPK adakah sosialisasi hasil analisa dan pembuatan grafis indeks korupsi setiap hari sebelum Pemilu berlangsung. Gemakan nama-nama koruptor dan identitas Parpolnya. Pemilu 2014 adalah momen tepat Bung!
Dengan demikianlah, KPK kini benar-benar bisa menjadi mitra masyarakat, karena kedua lembaga itu mau membantu mereka untuk terhindar dari istilah “salah pilih” kepada Parpol korup. Yang perlu digarisbawahi, karena hampir semua Parpol (lama) pernah bermasalah hukum dengan KPK, maka masyarakat kini terpaksa harus pandai memilihm satu diantara mereka. Tips yang paling mudah adalah masyarakat TIDAK memilih Parpol di dalamnya pernah banyak kader yang terlibat korupsi. Masyarakat bisa memilih Parpol yang paling kecil mudharatnya, yakni Parpol yang paling sedikit terlibat hukum dengan KPK.
Lantas bagaimana dengan adanya Parpol baru? Apakah masyarakat tidak lebih baik memilih Parpol baru saja? Bisa baik bisa tidak. Karena seluruh Parpol baru, belum teruji di Parlemen maupun di Pemerintahan. Namanya juga baru, mereka ikut Pemilu pun baru pertama kali. Resiko coba-coba pilih Parpol tentu bisa fatal akibatnya. Karena jika kemudian Parpol baru ternyata menjadi pilihan masyarakat dan di kemudian hari ternyata para pengurusnya juga dinyatakan terlibat korupsi, maka ini akan menjadi preseden buruk sejarah perpolitikan kita karena akan banyak Parpol baru di Pemilu berikutnya. Fatal.
Bagaimana jika KPK tidak memiliki kewenangan untuk ini?
Data mentah bisa digodok oleh ICW atau PUKAT UGM yang selama ini berperang di luar KPK melawan korupsi. Saya yakin ICW/PUKAT UGM memiliki SDM untuk itu. Bahkan, jika ICW/PUKAT UGM memang benar-benar pelawan korupsi terbaik, maka tidak ada susahnya baginya untuk sekedar mempublish data seluruh koruptor berdasar Partai Politiknya saja.
ICW/PUKAT UGM memiliki kepentingan untuk penyebaran informasi ini untuk mengurangi koruptor masuk ke parlemen atau Istana, sebelum Pemilu 2014 dilakukan. Yang lebih penting adalah, janganlah masyarakat dibiarkan melakukan keputusan-keputusan besar dalam hidupnya – termasuk memilih Caleg dan Presiden/Wapres, yang pertimbangannya ternyata hanya didapat dari membaca berita media massa semata. Masyarakat jelas bisa saja tersesat, karena jika pertimbangan memilih Parpol atau Caleg hanya berdasar pemberitaan-pemberitaan jelang Pemilu, maka akan memunculkan fenomena fatal.
Di mana, seolah Partai Politik yang paling akhir dan paling sering diberitakan kasusnya di saat-saat mendekati Pemilu, akan dikira masyarakat sebagai kode dan tanda bahwa itulah Partai Politik paling korup di Indonesia dan seolah itulah kode dan tanda dari media massa agar masyarakat menghindari Parpol tersebut.
Padahal jauh hari sebelum Pemilu, sudah banyak koruptor dari Parpol yang menjadi HL (HeadLine) media massa, namun karena porsi pemberitaan kebetulan mendekati Pemilu, maka nasib sial akan dialami oleh Parpol yang bersangkutan.
Jika itu yang terjadi, maka sejarah akan terus terulang. Masyarakat akan tertipu, dan secara tidak sadar justru kembali memilih Partai Politik yang ternyata di dalamnya banyak dijejali koruptor. Maka ada kesan, justru masyarakatlah yang selama ini senang mengantar Partai Politik korup untuk menguasai Parlemen maupun Pemerintahan. Tragisnya, itu malah terjadi di hampir setiap Pemilu.
*Mustofa B. Nahrawardaya, Aktifis Muda Muhammadiyah yang sekarang menjadi Caleg DPR RI PKS di Jateng V.
sumber: tribunnews