Oleh Syamsul Bahri
Mataram, Lombok, NTB
Waspada! Jelang Pemilu biasanya propaganda merebak bak jamur dimusim penghujan. Ada banyak issu yang digunakan. Mulai dari issu sektarian, aliran, mazhab, sampai kepada ghibah yang berkedok nasihat. Tujuannya tiada lain dan tiada bukan, mengadu domba dan memecah belah persatuan ummat yang pada akhirnya menjauhkan mereka dari kekuasaan.
Betul memang. Kekuasaan bukanlah satu-satunya cara menggapai kejayaan. Masih banyak cara lain yang bisa kita tempuh selain dari merebut kekuasaan. Bahkan, dalam sejarahnya, mereka yang terlalu berambisi dan memiliki syahwat yang tinggi terhadap kekuasaan mendapatkan kutukan dari Tuhan. Fir'aun, Haman, Qarun dan beberapa nama besar lainnya adalah contoh empiriknya, betapa kekuasaan telah menenggelamkan dan menghinakan mereka.
Namun, sejarah rupanya tak berhenti sampai di situ. Allah kemudian memberikan gambaran lain tentang bagaimana seharusnya kekuasaan dijalankan. Ada penguasa besar bernama Sulaiman. Ia adalah penguasa jagat raya. Kepemimpinannya tak hanya disegani dari kalangan manusia, tetapi juga dari komunitas yang berbeda, seperti kalangan jin, hewan, tetumbuhan dan lainnya sebagaimana yang tercatat dalam Al-Qur'an.
Selain Sulaiman, ada penguasa bernama Daud, Yusuf, Muhammad, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali sampai pada seseorang bernama Umar bin Abdul Aziz. Mereka semua adalah potret penguasa yang amanah, adil, jujur, bijaksana dan menjadikan kekuasaan hanya sebagai alat untuk mewujudkan harapan rakyat yang dipimpinnya. Jadi, dampak baik dan buruknya kekuasaan itu bergantung pada siapa yang mengendalikannya.
Dalam konteks demokrasi dan Pemilu, dimana Penguasa dipilih langsung oleh rakyat, baik dalam tataran eksekutif maupun legislatif, maka penguasa adalah gambaran dari rakyatnya. Bilamana penguasanya baik, itu pertanda bahwa tingkat rasionalitas rakyat selaku pemilihnya juga baik. Jika sebaliknya, maka itulah gambaran umum rakyat yang memilihnya.
"Ah, masa bodoh. Demokrasi ini kan mengikuti suara mayoritas. Bukan suara kebenaran." Betul! Itu adalah sisi lain demokrasi atau lebih tepatnya Pemilu. Pemilu ini adalah adu banyak, adu kompak. Siapa yang lebih banyak dan kompak suaranya, dia akan jadi pemenangnya. Entah itu suara 'rusak' atau suara baik. Ini soal kuantitas, bukan kualitas. Seandainya kuantitas kebaikan lebih banyak dan lebih kompak, maka hampir bisa dipastikan kebenaran dan kebaikan akan menggema di atas panggung yang bernama demokrasi. Sebaliknya, jika kuantitas keburukan yang lebih banyak dan lebih dominan, maka hasilnya bisa kita lihat seperti sekarang.
Bukankah setiap kebaikan itu berkualitas? Belum tentu. Kebaikan yang tercerai berai dan tidak berada pada satu wilayah koordinasi, maka bisa dikatakan sebagai kebaikan yang kurang berkualitas. Karenanya, khalifah Ali bin Abi Thalib mengeluarkan kaidah, "Kebaikan yang tidak terorganisir, bisa jadi dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir". Lalu, bagaimana halnya jika kebaikan itu teroganisir? Tentu, ia tidak hanya akan menang dalam kuantitas tetapi juga kualitas. Tapi, realitanya saat ini, orang-orang baik ini tidak kompak, tidak mau milih alias Golput. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang mengkampanyekan untuk tidak memilih dengan berbagai alasan yang terkesan dipaksakan.
Walhasil, negara yang besar ini kemudian membiarkan pemerintahannya dikendalikan oleh penguasa yang berwatak durhaka. Bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkan semua ini? Sebagai bangsa yang bertanggung jawab, sudah barang tentu ia akan berusaha mengambil peran dalam setiap usaha yang menentukan arah masa depan bangsa dan negaranya. Bangsa yang baik, tentu mendambakan sistem, Undang-Undang, kebijakan serta segenap alat kelengkapan negara lainnya yang baik. Bukan malah sebaliknya, membiarkan kerusakan terjadi dimana-mana, lalu mencibir dan mencemooh saudaranya yang tengah berjuang memperbaiki kerusakan yang terjadi di depan matanya.
Dan saya kira, sekaranglah momentumnya. Pemilu mendatang adalah pertaruhan eksistensi antara pengusung kebenaran dan kebatilan, keadilan dan keserakahan, serta pembuktian komitmen persatuan dan kekompakan ummat yang selama ini diserukan.
Jadi, jangan Golput, jangan salah pilih, jangan terjebak pada propaganda ala kolonial yang mencoba mengadu domba persatuan ummat. Pilihlah satu di antara mereka yang memiliki integritas, kapasitas dan kapabilitas yang memadai serta bisa diharapkan mampu mewujudkan perubahan dan perbaikan menuju keadilan bagi semua.[]