Merawat Rumah (PKS) Tanpa Amarah


by Nandang Burhanuddin

Ada rumah yang bocor atapnya. Tetangga teriak, solusinya; "Hancurkan! Robohkan!"

Sembari memperbaiki, para penghuni rumah keheranan. Kenapa yang bocor genteng, tapi solusinya dirobohkan?

Ketika ada engsel pintu yang copot. Tetangga kembali teriak, "Robohkan! Hancurkan!"

Lho, yang bermasalah engsel, tapi yang disuruh malah merobohkan? Ada apa ini? Penghuni rumah pun mencoba pendekatan. Mulai dari mengirimkan daging kurban, membantu anak-anak tetangga sekolah, mengadvokasi bila ada masalah, hingga membantu memperkenalkan bisnisnya.

Namun saat pagar rumah itu roboh. Si tetangga tetap teriak, "Hancurkan! Robohkan! Jangan pilih dan datangi rumah itu ya!"

Usut punya usut, tetangga itu iri. Sebab para penghuni adalah keluarga muda. Tapi bisa membangun rumah besar dan kunjungan tamu yang terus banyak. Plus, masyarakat semakin dekat.

Hingga suatu masa. Di rumah itu datang bertamu seorang non Islam. Si tetangga kembali teriak, "Tuh kan bener! Apa kata gue! Gak pantas lagi rumah itu ada! Hancurkan!"

Belum sempat memberikan klarifikasi. Si tetangga kembali membuat gaduh. Tapi apapun masalahnya, solusinya selalu, "Hancurkan! Robohkan!"

Anehnya, yang selalu mempermasalahkan hanya tetangga yang sama. Apapun perubahan di rumah itu, baik warna cat, bentuk pagar, assesoris, dapur, jenis kursi...selalu saja salah.

Namun saya salut dengan penghuni rumah. Mereka semakin yakin, rumah yang ditempati rumah sehat dan menyehatkan. Semua berpikir. Jika ada yang rusak atau kotor, kewajibannya adalah memperbaiki dan merenovasi. Semua sadar, kalau bukan penghuni, siapa lagi yang peduli merawat dan memperbaiki.

Inilah masalah kita. Tetangga yang ngerti agama tapi hobi menyiram air cuka dalam luka. Yang di kampung adem ayem, yang ngerti agama malah sorak sorai melihat hal ini, semacam menemukan senjata untuk nggebukin sesamanya.


Baca juga :