Idealisme: Kuburan Massal Kaum Jurnalis


Oleh Edy A Effendi

IDEALISME, selalu saja jadi tameng kaum jurnalis. Seolah-olah dengan mengusung idealisme, ia bisa bicara apa saja soal kabar dunia. Tapi benarkah dalam arus hidup yang penuh gejolak saat ini, idealisme masih dipegang teguh kaum jurnalis?

Idealisme bersandar pada ide, dunia di dalam jiwa. Pikiran ini meletakkan hal-hal yang bersifat ide dan menempatkan pernik-pernik yang bersifat materi, fisik, ke dalam kasta terendah. Idealisme, menganggap semua realitas yang terdiri dari ruh, jiwa, ide, pikiran-pikiran, menjadi konstanta yang agung dalam orkestra hidup manusia. Sebagai konstanta, sebuah ketetapan yang tetap, di dalamnya dibingkai satu nilai yang bernama moralitas. Seluruh gerak jurnalis sebagai pewarta, harusnya berpijak pada tataran ini. Tataran moralitas.

Pikiran ini mengandaikan bahwa jurnalis harus bertumpu pada kehendak kalbu, kehendak yang melihat fakta sebagai sebuah berita. Maknanya, berita yang dilansir ke publik melalui layar kaca bernama televisi atau media cetak itu, menyandarkan diri pada kaidah-kaidah moralitas. Moralitas selalu saja menguar sisi baik dan sisi kebenaran, bukan sisi rekayasa.

Sayangnya, dalam arus pergerakan berita, jurnalis tak berdiri sendiri. Ia ditopang satu instrumen yang bernama institusi media. Intsitusi media ini memiliki akar kepentingan beraneka ragam dan aneka ragam kepentingan itu terkait erat dalam bisnis media. Institusi media sudah jadi industri, di mana kepentingan pemilik modal bisa mengerangkeng idealisme jurnalis. Pada titik ini, idealisme menjadi kuburan massal kaum jurnalis.

Peran kenabian

Ketika idealisme menjadi kuburan massal kaum jurnalis, maka pertanyaan Ignatius Haryanto, Sosok Jurnalis di Layar Kaca (Kompas, 30/9), apakah profesi kewartawanan masih relevan untuk masyarakat zaman sekarang, menjadi pertanyaan urgen untuk dijawab.

Kaum jurnalis, pewarta, sebenarnya memerankan peran kenabian. Para nabi dan para santo, selalu membawa kabar berita berisi soal fakta-fakta hidup yang dibingkai aura kebenaran. Kabar berita para nabi dan santo itu, bukan saja menjadi magnet publik tapi sekaligus menjadi panutan warga dalam menjalani laku hidup sehari-hari.

Dalam pusaran hidup para nabi dan orang suci yang disebut santo itu, tak ubahnya menjalankan peran sebagai pewarta. Mereka menyuplai beberapa fakta hidup agar ada perubahan mendasar dalam konstelasi kehidupan masyarakat. Kaum jurnalis atau pewarta, sejatinya memerankan lakon kenabian, di mana fakta-fakta obyektif di lapangan diungkap, dibedah dan diberdayakan untuk konsumsi publik. Publik sebagai konsumen berhak menerima fakta-fakta obyektif itu sebagai menu kehidupan. Maka ketika Ignatius menyitir perilaku negatif pewarta yang menyalahgunakan fungsi dan kekuasaan yang mereka miliki, klaim dan stigma jurnalis sebagai penjahat, tak bisa dihindari.

Jurnalis dengan kekuasaannya, mampu mendikte, membentuk opini dan menggiring publik masuk dalam perangkap berita yang disebar. Dan jika berita yang disebar penuh kebohongan dan rekayasa, publik pun akan hanyut dalam perangkap berita sang jurnalis itu.

Sayangnya, contoh yang kurang baik ini, diperagakan banyak kaum jurnalis dalam berbagai segmen berita di layar kaca. Dengan kekuasaannya, ia mampu mendikte acara-acara talkshow, dialog soal hukum dan politik, berbincang soal peradaban. Sebuah dialog atau talkshow, yang sudah dibangun dan didisain sedemikian rupa untuk membentuk opini publik.

Dengan demikian, pertanyaan Ignatius menemukan jawabannya, profesi kewartawanan tak lagi menjadi relevan dalam konteks zaman sekarang, jika di dalamnya bertebaran berita rekayasa. Berita yang direkayasa hanya untuk mencari sensasi, menebar berita eksklusif semu. Kita sudah mendengar, melihat dan membaca berita penculikan yang direkayasa, hanya untuk menaikkan pamor stasiun televisi terkait. Kita juga sudah bisa melihat, fakta gambar penyerbuan teroris yang “dimainkan” dan publik juga tak bodoh, melihat fakta sebuah acara dialog yang dikemas atas permitaan partai politik tertentu.

Partai politik sudah mengerangkeng begitu jauh program televisi. Inilah risiko jika para pemodal, pemilik stasiun televisi sekaligus menjadi kamerad partai politik. Televisi menjadi banal karena berbagai kepentingan masuk di dalamnya. Kepentingan yang tak punya tali temali dengan segmen berita.

Maka jangan berharap bisa menemukan kembali para pewarta, melakukan peran kenabian dan peran para santo. Kita merindukan sosok santo seperti Ignatius yang hidup di zaman Kaisar Trajan. Santo Ignatius dihukum mati karena dianggap memprovokasi warga untuk melawan penguasa Trajan. Tetapi sejatinya, pamor Santo Ignatius sudah membuat kecut para elit penguasa waktu itu. Sebagai Uskup Antiokia selama 40 tahun, dapat dipastikan bahwa pada masa akhir hidupnya, Santo Ignatius telah menjalankan peran sebagai pewarta dengan baik. Peran yang seharusnya diambil alih para pewarta dalam mengibarkan bendera kebenaran.

Lantas, apa yang bisa diharapkan dari posisi pewarta jika sudah direduksi oleh kekuasaan di luar pagar dirinya? Reduksi selalu mengambil alih hak pribadi, ruang private ke dalam ruang kolektif. Mungkinkah ruang kolektif itu masih bisa mengambil peran bersama soal hak publik?

Merekayasa kenyataan

Antara pernyataan yang dilansir media massa, baik televisi, media cetak atau portal berita online, acapkali jauh dari kenyataan. Jean Baudrillard, pakar media asal Perancis, meyakini bahwa media merupakan perangkat untuk mengacaukan hakikat dan kenyataan beragam persoalan.

Baudrillard melihat apa yang kita anggap sebagai realitas, sejatinya adalah pandangan media terhadap isu tersebut. Bisa dikatakan, realitas bisa terwujud dalam berbagai bentuk sesuai dengan banyaknya media dan gambar. Dengan kata lain, simbol realitas telah menggantikan realitas itu sendiri.

Mengikuti jejak pikiran Baudrillard, di mana media merupakan perangkat untuk mengacaukan hakikat dan kenyataan beragam persoalan, maka sebagai penikmat, pembaca dan penonton, akan sulit menemukan kenyataan yang hakiki.

Beragam kepentingan yang menelikung para pewarta, telah membuat model produksi berita menjadi absurd. Kepentingan para pemodal mampu merangsek idealisme jurnalis sebagai sosok yang dipuja, diagungkan oleh sebagian orang. Inilah gambaran kasar, di mana hubungan produksi berita dan kekuatan-kekuatan produksi pemodal, saling tumpang tindih.

Atau dalam igauan Karl Marx, dalam situasi seperti ini, media bisa dilihat sebagai suatu institusi yang sangat memungkinkan berbagai ideologi kelas saling bertarung. Bahkan ekonomi dianggap berhubungan erat dengan determinasi teknologi, sementara budaya industri berada dalam suatu determinasi ekonomi. Asumsi yang ingin dikembangkan Marx, adalah pergeseran model the capitalist mode of production dalam siklus media massa.

Jika demikian, du nia televisi, media cetak dan portal berita online, kehilangan keindahan, tebaran pesona (totally disenchanted) serta tidak tahu malu (almost shameful) terhadap kenyataan yang bergemuruh di ranah publik. Mereka telah memutarbalikan fakta, menjungkirbalikan obyek berita, dan terutama telah mengubur etika dan nilai-nilai luhur di masyarakat.

Dalam situasi demikian, masihkah kita percaya kepada para jurnalis yang berperan sebagai broker berita? Masihkah kita menaruh hormat terhadap sosok pewarta yang memosisikan dirinya sebagai Don, bos besar, yang mampu mendikte arus berita publik?

Di tengah karut-marut sosok pewarta yang kabur, absurd, tak teridentifikasi itu, masih ada sebagian pewarta yang menjadi pemeluk teguh keimanan bertajuk idealisme itu. Mereka para pewarta yang menulis dari dasar kalbu, dari kedalaman jiwa, dari lorong rahim bahasa ibu bernama kebenaran.[]


*Edy A Effendi, adalah penulis puisi dan pewarta. Bergiat di Padepokan Thaha.
Tulisan ini dimuat harian KOMPAS, 7 Oktober 2012. (REPOST)



Baca juga :