Perintahkanlah yang ma’ruf meskipun kamu belum mengamalkannya...


“Seandainya seseorang tidak boleh memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran sehingga ia menjadi orang yang bersih dari semua dosa, maka tidak ada seorang pun yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.”
(Sa’id bin Zubair)
***

Anak kecil itu membaca surat An-Nashr. Begitu merdu ia membaca. Apalagi logat kekanak-kanakannya semakin membuat semua orang yang melihatnya menjadi gemas. Idha jaa’a nashrullahi wal fath, begitu ia membaca. Al-Hajjaj bin Yusuf dan orang-orang yang melihatnya pun semakin kagum.

Tapi mereka mendadak ricuh ketika anak kecil itu membaca ayat berikutnya, wa ra’aita an-naasa yakhrujuuna fii diinillahi afwaaja. Ia mengganti kata yadkhuluuna (mereka semua masuk) menjadi yakhrujuuna (mereka semua keluar). Sehingga ayat kedua dari surat Al-Ashr itu pun artinya berubah menjadi: Dan kamu melihat manusia berbondong-bondong keluar dari agama Allah.

“Hai anak kecil, bacaanmu keliru. Yang benar adalah, wa ra’aita an-naasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaaja,” Begitu Al-Hajjaj bin Yusuf, seorang panglima yang kejam dan dzolim pada masanya itu, mencoba membenarkan bacaan anak kecil itu.

Tapi anak kecil itu dengan tegas dan keras mengatakan, “Tidak! Bacaanku benar, dan engkau lah yang salah. Memang, dahulu mereka berbondong-bondong masuk islam, tapi kini mereka semua berbondong-bondong keluar dari agama islam, sebab kedzolimanmu.”

***

Ketika membaca kisah tersebut di cover belakang buku Da’i-da’i Cilik yang ditulis Syekh Nashir Asy-Syafi’i (judul asli Al-Athfaal lakin du’at), saya pun tidak bisa menahan diri untuk tidak membeli buku tersebut. Ternyata, yang kita lakukan selama ini belum lah seberapa. Terlalu naif jika membandingkan apa yang kita lakukan dengan yang dilakukan anak itu. Di usia kita yang entah berapa, dakwah yang kita lakukan ternyata masih jauh jika dibanding dengan anak kecil itu. Paling tidak ada beberapa hal yang menjadikan anak kecil itu lebih unggul dari kita.

Pertama, usia. Di usia yang begitu belia, anak itu telah mulai berdakwah. Coba bandingkan dengan kita, umur berapakah kita mulai berdakwah?? Umumnya kita mengenal aktivitas dakwah itu saat mulai beranjak dewasa, bahkan ada yang lebih tua lagi. Memang, dalam buku tersebut penulisnya tidak menyebut usia anak kecil itu. Tapi dalam Psikologi perkembangan, seseorang itu masih disebut anak-anak jika usia belum lebih dari 12 tahun.

Kedua, objek atau sasaran dawah. Kepada siapa biasanya kita berdakwah? Umumnya kita masyarakat biasa atau rekan sesame. Ke pemimpin? Mungkin pernah, tapi itu pun kebanyakan melalui demontrasi. Coba kita bandingkan dengan anak kecil itu. Di usia yang begitu belia, ia berani melakukan dakwah ke pemimpin yang dzolim lagi kejam.

Ketiga, bekal dakwah. Di usia yang begitu belia, anak itu telah hafal al-Qur’an. Coba bandingkan dengan kita, berapa ayat yang telah kita hafalakan. Bahkan hafalan penulis sendiri juga masih sangat sedikit. Mungkin diantara kita ada yang hafal, tapi ketika hafal usia kita mungkin tidak sebelia anak tersebut. Sekali lagi kita kalah dengan anak kecil tersebut.

Kisah di atas hanyalah cermin bagi kita. Agar kita tergugah untuk mulai berdakwah. Atau kalau sudah mulai meniti jalan dakwah agar lebih semangat dalam berdakwah. Jangan sampai karena kisah tersebut kita justru membuat kita lemah dalam berdakwah. Lemah karena merasa tidak pantas untuk berdakwah. Percayalah bahwa kita pun harus berdakwah, karena:
Pertama, maa laa yudroku kulluhu fa laa yutroku kulluhu, begitu kata koidah ushul fiqih yang ke-33 dalam buku Mabaadi Awwaliyah yang ditulis Abdul Hamid Hakim. Artinya: “Sesuatu yang tidak bisa kita lakukan semuanya maka jangan ditinggal semuanya.“ Misal, ada seseorang yang jumlah tanggungannya itu lima orang. Ketika waktu pembayaran zakat fithr ia pun harus membayar untuk lima orang. Tapi ternyata ia hanya sanggup membayar untuk tiga orang saja. Maka yang tiga itu harus ia bayarkan. Tidak bisa ia meninggalkan semuanya atau tidak membayar zakat sama sekali hanya gara-gara kurang dua orang saja.

Begitu pun kita dalam berdakwah. Ketika kita baru sadar untuk berdakwah di usia senja, maka itu pun tidak jadi soal. Jangan sampai karena berdalih “sudah terlalu tua” atau “sudah terlanjur tidak berdakwah,” kemudian kita tidak berdakwah sepanjang hidup kita. Tidak ada kata terlambat dalam berdakwah. Justru kita harus super semangat untuk mengejar ketertinggalan kita dalam menapaki jalan dakwah.

Kedua, Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa, begitu kata Allah sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Baqarah. Allah tidak membebani seseorang melebihi kesanggupannya. Kalau kita hanya sanggup berdakwah kepada teman-teman kita sendiri, maka mari kita lakukan hal itu dengan sungguh-sungguh. Tapi jangan sampai kita tidak meningkatkan kualitas diri dan dakwah kita karena berdalih dengan ayat tersebut. Sesuai kesanggupan kita adalah batas maksimum dari kemampuan kita; sesuai dengan usaha maksimum yang kita lakukan. Jika kita belum berusaha maksimal, maka jangan sekali-kali berdalih dengan ayat tersebut.

Ketiga, ballighuu ‘anni wa lau aayatan. Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat, begitu pesan Rasulullah. So, biar pun ilmu kita tidak seberapa, sampaikanlah!! Kalau kita menunggu pintar baru berdakwah, emang kapan kita pintar? Imam Ghozali bahkan mengatakan, “Siapa yang mengatakan dirinya telah mengetahui, sebenarnya dia termasuk orang yang bodoh.” Segera berdakwah, InsyaAllah ilmu yang kita miliki pun akan ditambah oleh Allah.

Ada satu hal yang cukup sering digunakan orang untuk tidak melakukan dakwah. Yaitu merasa masih banyak kekurangan, banyak melakukan kesalahan dan dosa, serta sering melalaikan kewajiban agama. Padahal, sebagai manusia yang tidak ma’shum, kita semua pasti pernah melakukan kesalahan dan banyak berkurang. Keengganan itu sering kali diperkuat dengan firman Allah yang belum dipahaminya secara benar:

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Al-Baqarah [2]: 44)

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (Ash-Shaff [61]: 2-3)

Suatu ketika seorang berkata kepada Al-Hasan, “Sesungguhnya Fulan tidak mau memberi nasihat seraya berdalih, ‘Aku takut mengatakan sesuatu yang tidak aku laksanakan.’”

Al-Hasan menjawab, “Siapakah di antara kita yang mampu melaksanakan semua apa-apa yang ia katakan? Setan ingin menguasai orang ini, sehingga tidak ada seorang pun yang akan memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.”

Al-Hasan benar. Jika kita menunggu baik untuk memulai berdakwah, mungkin di dunia ini tidak ada orang yang berdakwah.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah bersabda,

“Perintahkanlah yang ma’ruf meskipun kamu belum mengamalkannya, dan cegahlah kemungkaran meskipun kamu belum meninggalkan seluruhnya.” 

(Dihasankan Imam As-Suyuthi dalam Al-Jami’ush Shaghir [8177] diriwayatkan dari banyak jalur diantaranya riwayat Ibnu Abi Dunya dari Abu Hurairah dan riwayat Thabrani dari Anas. Masing-masing memiliki kelemahan, namun riwayat itu naik ke peringkat hasan lighoirihi sebab saling menguatkan. Arba’in Da’awiyah no: 13)

Memerintah pada kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah suatu kewajiban seorang Muslim. Begitu pun dengan mengerjakannya. Sebagaimana koidah ushul fiqih di atas, maka kita tidak bisa meninggalkan salah satunya, dengan beralasan belum bisa melakukan keduanya. Lebih baik kita melakukan salah satunya dari pada tidak melakukan kedua-duanya.

Akhirnya, bagaimanapun kondisi kita, jika kita senantiasa memerintah pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta memberikan nasihat pada orang lain, maka kita akan lebih berpeluang untuk menjadi lebih baik. Sebab, sebagaimana Kulwit @salimafillah, “Menjadi da’i adalah memperbaiki diri; agar lebih mudah dinasihati; sebab telinga sendiri lebih dekat dari pada milik sesama.”

“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (orang-orang yang sempurna ilmu dan ketakwaannya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (Ali ‘Imraan [3]: 79)

*Penulis: @sirotfajar 
(Penulis buku Psikologi Pemuda)



Baca juga :