Menuduh Keikhlasan Para Relawan: Catatan Banjir Jakarta


"Kerja tidak ikhlas memang buruk. Tapi yang lebih buruk lagi adalah menuduh orang lain tidak ikhlas...." (Abdullah Haidir)

Musibah banjir di Jakarta mendatangkan keprihatinan, namun juga meningkatnya solidaritas dan kepedulian. Hal ini dibuktikan dengan marak dibukanya posko-posko bantuan, dan juga turunnya para relawan langsung ke gelanggang untuk membantu evakuasi dan memberikan bantuan.

Beberapa tokoh politik juga terlihat mondar-mandir dan blusukan, menyapa warga, menguatkan hati dan tentu saja memberikan bantuan. Beberapa diantara mereka bahkan terlihat lehernya saja untuk memasuki wilayah yang terendam lebih dalam.

Namun diantara itu semua, yang layak untuk dicermati adalah banyaknya komentar pedas yang menuduh mereka -partai politik- yang membuka posko hanyalah berniat pencitraan dan kampanye. Partai politik dituduh mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tuduhan ini bukan hanya bersliweran di media sosial seperti facebook atau twitter, namun juga media turut memanas-manasi keadaan entah sengaja atau tidak.

Mari kita simak salah satu contoh, bagaimana situs berita merdeka com menampilkan judul yang terlihat sangat subjektif: "Tahun politik, kader PKS datangi korban banjir Jakarta". Berikut penggalan awal dari tulisan tersebut :

2013 Merupakan tahun politik bagi partai politik. Sebab, tahun ini parpol akan berusaha mati-matian meningkatkan citranya agar dipilih oleh publik di Pemilu 2014. Bersamaan dengan itu, awal tahun politik Jakarta diterjang banjir. Sejumlah parpol pun berusaha menarik simpati warga dengan memberikan bantuan dan mendirikan posko. Hal yang sama juga dilakukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sejumlah kader PKS mendatangi para korban banjir yang masih bertahan di rumahnya masing-masing untuk memberikan bantuan.

Maka tulisan di atas pun bersambut dengan tambah komentar yang hampir semuanya mencibir langkah yang telah dilakukan parpol tersebut. Ada yang menyebut dengan kemunafikan, tidak ikhlas, dan serangkaian tuduhan lainnya.

Entah gejala apa, tetapi yang seharusnya terjadi dalam situasi seperti ini adalah saling berlomba untuk berbuat yang terbaik dan membantu warga yang kesulitan, bukan saling menuduh niatan apalagi dengan berpangku tangan.

Saya yakin sepenuhnya, tuduhan dan cibiran tersebut tidak akan mengurangi kerja dan kinerja parpol yang dimaksud untuk melanjutkan kerjanya, sebagaimana cibiran dan komentar tersebut juga sama sekali tidak meringankan beban yang harus ditanggung warga.

Untuk menjelaskan cara berpikir yang semestinya, empat hal berikut ini setidaknya bisa kita pertimbangkan sebelum kita banyak berkomentar nyinyir terhadap didirikannya posko bantuan dari parpol peserta pemilu.

Pertama: Menuduh Keikhlasan 

Keikhlasan adalah nasehat bagi diri agar setiap kali beramal selalu ditujukan untuk meraih ridho ilahi. Keikhlasan sewajarnya ditujukan untuk diri sendiri melalui istighfar dan renungan dalam hati, agar niatan tidak terkotori dengan apapun. Keikhlasan adalah alat evaluasi diri, bukan senjata yang ditodongkan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan di hadapan kita. Begitulah generasi sahabat memberikan contoh pada kita, ketika terjadi parade sedekah dan amal kebaikan di antara mereka, tidak ada satupun komentar dari mereka bahkan dari Rasulullah SAW yang mempertanyakan keikhlasan mereka. Ketika Usman bin Affan menyedahkan banyak logistik peperangan, Rasulullah SAW memberikan apresiasi dengan menyatakan : "Setelah ini tidak ada lagi yang bisa mengganggu amalan Usman" .

Tidak diperbolehkannya kita menuduh keikhlasan, lebih mendalam lagi bisa kita ambil dari kisah bagaimana Usamah, prajurit kecintaan Rasulullah SAW yang membunuh seorang musuh setelah mengucapkan kalimat syahadah. Usamah beralasan bahwa ucapan tersebut hanya 'pencitraan', tipuan, dan tidak ikhlas mengucapkannya karena berharap selamat dari tebasan pedang. Apakah Rasulullah SAW sepakat dengan hal itu? Tidak dan sama-sekali tidak, beliau terdengar marah dan tidak suka, serta bertanya berulang-ulang kepada Usamah: "Apakah engkau sudah membelah dadanya? (hingga engkau tahu bahwa dia tidak ikhlas mengucapkannya?". Usamah takut dan menyesal dengan perbuatannya menuduh keikhlasan seseorang.

Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan,  apakah mereka yang mencibir keikhlasan mereka yang membantu korban banjir, telah membelah dada para relawan dan mengetahui isi hati mereka? Tidak sekali-kali tidak.

Kedua: Sejarah dan Kebiasaan, bukan Pahlawan Kesiangan

Tuduhan mencari kesempatan dalam kesempitan, kampanye di tengah keprihatinan musibah, adalah tuduhan yang teramat menyakitkan. Tuduhan seperti itu mungkin wajar jika ditujukan kepada mereka yang selama ini duduk-duduk saja saat terjadi bencana di nusantara ini. Mungkin ada memang satu dua tokoh atau ormas yang bak pahlawan kesiangan yang tiba-tiba saja muncul saat bencana dan diliput media, lalu hilang pada kesempatan berikutnya.Tapi apakah semua seperti itu? Tentu tidak. Bahkan sekalipun ada yang seperti itu, tetap saja masyarakat dan korban banjir menerima kemanfaatannya, meski tak seberapa.

Namun tuduhan itu menjadi tidak wajar bahkan aneh, karena parpol semacam PKS mempunyai track record penanganan bencana sejak lama. Dari mulai bencana Tsunami Aceh, gempa bumi padang, Jogjakarta, letusan Merapi, situgintung, kebakaran-kebakaran di pasar, tanah longsor karanganyar, dan setiap musibah lainnya, kader PKS senantiasa bersama masyarakat ikut terjun langsung dalam evakuasi dan bantuan pada korban atau pengungsi. Musibah dan bencana tak mengenal tahun politik, kapan saja bisa terjadi. Begitu pula PKS, kesiapan dalam penanganan bencana menjadi latihan dan kegiatan rutin kadernya, bahkan dibentuk unit P2B yaitu penanganan dan penanggulangan bencana.

Maka jika pada banjir Jakarta ini tiba-tiba muncul berdiri 72 posko PKS di seluruh Jakarta -sebagaimana diberitakan Republika Online, maka itu bukti kesiapaan, kebiasaan dan terlatihnya kader PKS dalam membantu masyarakat saat terjadi musibah melanda. Sekali-kali mereka bukanlah pahlawan kesiangan, karena pahlawan kesiangan tak memiliki kekuatan dan nafas panjang sebesar itu.

Ketiga: Berlomba dalam Kebaikan bukan Komentar apalagi Tuduhan

Saat ini yang dibutuhkan masyarakat khususnya korban banjir adalah siapa saja mereka yang siap dan mau berkorban, dari manapun dan siapapun mereka. Mereka yang terbaik adalah yang paling banyak kemanfaatannya bagi orang lain. Ibaratnya terjadi kebakaran, maka sudah selayaknya semua bergerak untuk segera memadamkan, siapa saja yang mampu layak untuk ditiru. Bukan malah sibuk menggerutu dan menyebar tuduhan ambigu.

Keempat: Penggunaan Identitas

Salah satu yang paling sering disorot adalah penggunaan identitas, khususnya kaos bagi relawan parpol saat melayani. Siapa saja yang turun di lapangan akan mendapati situasi yang sangat rumit dan membutuhkan penanganan yang cepat, solid dan terorganisir. Maka penggunaan identitas bukan hanya wajar bagi relawan, namun menjadi sebuah keharusan sebagai sebuah kesiapan bekerja dan siap bertanggung jawab. Para TNI, Polisi, SAR, PMI pun menggunakan identitasnya masing-masing, selain untuk kemudahan konsolidasi, juga menunjukkan kesiapan bekerja dan bertanggung jawab. Dengan penggunaan identitas, masyarakat berhak komplain dan tahu kemana harus protes saat terjadi kejadian, insiden atau hal-hal yang menganggu selama pelaksanaan evakuasi atau pemberian bantuan. Relawan tanpa seragam terkadang justru malah mengundang kerancuan pelaksanaan tugas di lapangan.

Akhirnya, tulisan ini bukan untuk membela relawan dari parpol, khususnya PKS, karena salah satu bukti keikhlasan adalah baik pujian maupun cercaan tak menyurutkan langkah untuk melanjutkan amal kontribusinya. Ini yang kita dapati dengan mudah pada relawan PKS, sejak dulu sering dikomentari saat menangani bencana di daerah manapun, tapi itu semua tak menyurutkan langkah, sampai saat ini setia melayani negeri. Dari mereka layak kita mengambil inspirasi.

Semoga bermanfaat dan salam optimis.

*by Hatta Syamsuddin

-sumber: www.indonesiaoptimis.com



Baca juga :