Syahdan, sekira 14 abad lalu, Makkah adalah negeri antah berantah. Tanahnya kering dan tandus. Hawanya panas menyala. Penduduknya terfragmentasi dalam sukuisme yang akut. Gemar konflik dan hobi berperang. Kesenjangan sosial sudah lama menghancurkan masyarakat. Dan lagi, kemusyrikan dan paganisme merajalela. Sebagian besarnya sejatinya bukan untuk penyembahan dan keyakinan, tetapi karena para pembesar dan penindas itu memanfaatkannya untuk memperkaya diri. Yang kaya makin kaya, yang lemah tak ada tempat mengadu. Segala hancur sehancurnya.
Di tengah turbulensi dan ketidakpastian hidup itu, terutuslah seorang lelaki nan rupawan. Bersenjatakan cinta dan ketulusan. Berselempangkan wahyu dan keyakinan. Ia datang menembus kabut, menentang badai. Meluruskan aqidah, membela yang lemah, menunjukkan bahwa yang salah itu salah.
Lelaki itu, bukan tak mengerti resiko yang ia hadapi. Janganlah lagi bertanya tentang fitnah dan ujian. Adakalanya ia sendiri, membasuh kaki penuh darah sambil berurai air mata. Tapi semata karena risalah yang dibawanya, dan cintanya pada ummatnya, ia terus melangkah. Mula-mula sendiri, lalu orang-orang terdekatnya, lalu karib kerabatnya. Hingga penggal masa berlalu, hilanglah semua badai, berganti cinta dan kedamaian.
Shollu `alannabiyy Muhammad…
Di sepanjang 23 tahun itu, beliau, Muhammad SAW, berhasil merubah lembah tak bertuan itu menjadi pabrik lahirnya tokoh-tokoh nan agung dan menyejarah. Sebutlah diantaranya, hartawan berhati mulia macam Abu bakar Ash shiddiq, negarawan ulung seperti Umar bin Khothob, diplomat nan cendekia macam Mush`ab bin Umair, sampai panglima perang gagah berani Khalid bin Walid, dan banyak lagi.
Semenjak era generasi terbaik itu, islam menyebar ke seluruh penjuru dunia, menjadi rahmatan lil aalamiin. Bukan, bukan monumen fisik atau bangunan megah yang beliau tinggalkan. Bukan pula sejumlah harta yang beliau wariskan. Sekali lagi bukan itu semua. Tetapi risalah yang mengabadi.
Shollu `alannabiyy Muhammad…
Duhai kanjeng Nabi yang mulia, susah sungguh rasanya, menakar cintamu yang tak bersempadan. Adakalanya kau menolak tawaran Jibril untuk menjatuhkan gunung di atas kaum yang mencelakaimu, sebab kau berharap mereka akan berkarib hidayah suatu hari nanti. Kelak, cinta dan kesabaranmu itu terbukti benar adanya.
Adakalanya, bahkan kambing pun kau sembelih, sembari kau bertutur, ”ini untuk ummatku”. Hingga ajal sudah tiba di ujung, kau sebut lagi, ”ummatku, ummatku…”. Ummatmu pula yang kau cari, kala kau terbangkit dari lahad.
Tak tahan aku membayangakan engkau bertutur dalam kalimat-kalimat perpisahan kala haji wada`. Orang sepertimu hendak pergi? Sekarang, baru aku mengerti mengapa Ukkasah sampai berhilah, hanya untuk memeluk tubuhmu yang mulia, menjelang engkau berpulang. Mengapa pula Umar layaknya tak kenal kata ajal, kala mendengar engkau wafat. Sebab engkaulah setulus-tulusnya pemimpin, yang cintanya menjauhkan yang dekat, menghaluskan yang keras, menembus ke lapis terdalam ruang batin ini.
Shollu `alannabiyy Muhammad…
Duhai, kanjeng Nabi yang mulai, betapa ingin aku mengadu padamu. Hari ini, kami, ummatmu yang kau curah segala cintamu itu, telah banyak bearalih rupa. Rasanya kami makin menjauh dari risalah dan ajaranmu. Menjura dalam keangkuhan yang tak sudah. Bersikukuh dengan syariat, di jaman ini, laksana menggenggam bara. Bagai mengembara di negeri asing, kata cerdik sastra. Inikah balasan yang sepadan untuk cintamu yang menggelora itu? Atau memang inikah jalan yang telah Ia gariskan untuk kami? Entah, entah dimana lagi akan kutemukan sosok macam Abu Bakar, Umar atau Mush`ab bin Umair. Apakah mata air keagungan memang sudah berhenti mengalir? Ataukah, seperti seorang penyair pernah bertutur, para bunda tak sanggup lagi melahirkan para pahlawan? Aku tak mengerti. Tapi samar kurekam galaumu, duhai kanjeng Nabi, manakala dalam ayat-Nya engkau berkeluh, ”wahai Tuhan, sungguh ummatku mulai mengambil jarak, menjauh dari alqur`an ini…”.
Shollu `alannabiyy Muhammad…
Duhai kanjeng nabi, apapun, jangan kau hapus kami dari golongan ummatmu. Biarpun tak pantas rasanya bersanding dengan mereka yang telah berlalu dalam gurat cerita yang indah dan abadi. Para sahabat, para tabi`in, ridhwanullah alaihim jamii`an.
Semoga Tuhan Yang Maha Perkasa masih berkenan memberi kami waktu. Dengan tangan tangan yang merapuh, dan nafas yang tersisa. Ijinkan kami menyusun lagi keping cinta yang terserak, mempersembahkannya untukmu, wahai Muhammad kekasihku, setulus yang kami punya, semampu yang kami bisa.
Sholawat untukmu wahai kanjeng Nabi : Allahumma sholli` ala sayyidinaa Muhammad ……
12 Rabi`ul awwal 1435 H
*Oleh M. As`ad Mahmud, Lc
Ponpes Sabilul Khoirot, Tengaran, Kab. Semarang
Kaderisasi DPD PKS Kab.Semarang