By: Ust Nandang Burhanudin
****
Sekitar pukul 14 Ahad (30/11/2013), saya dan beberapa sahabat mengunjungi RS Al-Islam. Rencananya membesuk salah seorang siswa SDIT Insan Teladan yang dirawat di HCU. Karena bukan waktu besuk, security RS hanya memperbolehkan tamu 1 orang saja. Itupun atas izin Allah, tanpa sengaja saya dipertemukan dengan ayah dari murid SDIT Insan Teladan juga, yang adiknya dirawat di RS yang sama.
Singkat cerita, saya pun naik ke lantai 3. Selepas mendoakan pasien anak tadi. Saya beberapa kali mengengok ruang HCU. Saya lihat Syamil itu tengah diopeni 2 wanita. Kemungkinan besar adalah ibu dan tantenya. Saya tak sempat masuk. Karena tak ada ayah dan juga tak ada pria di ruangan itu. Sempat menunggu beberapa saat. Saya kembali lagi. Kondisinya sudah rapih. Saya dengar sayup-sayup Syamil mengigau. Saya tahu apa yang ia igaukan. "Ya ... hafalan An-Naba. Lalu loncat ke An-Nazi'aat. Tak utuh memang. Tapi saya sempat merinding sembari berguman, "SubhanaLlah ...!"
Karena tak ada ayahnya, saya pun turun. Mengajak kedua ustadz untuk kembali pulang. Allah menakdirkan lain. Pas di pintu keluar, ayahnya Syamil baru pulang dari kantin. Sembari menggendong anaknya yang ke-3, saya lihat aura optimisme di wajahnya. Kami turut mendoakan agar Syamil sembuh sedia kala.
Namun, usai adzan Isya, telpon saya berdering. Ada firasat untuk mengangkat langsung, tanpa tahu siapa yang diujung telepon. Nomornya tak tercatat! Asing memang! Sambil loncat mengambil sarung siap-siap ke masjid dekat rumah, saya dikejutkan berita diujung telepon, "Ustadz. Syamil meninggal pas waktu adzan Isya tadi! Tolong diumumkan di masjid dan minta dipersiapkan pemakaman!" Saya termangu. "Siaap!" tegas saya. Tak lama lari ke masjid. Jamaah sudah iqomat. Usai shalat saya berdiri dan mengumumkan berita duka.
Jenazah pun datang sekira jam 22.10 malam harinya. Usai dimakamkan, saya dan beberapa ustadz mendekati sang ayah. Saya berusaha menenangkan. Namun sambil menahan tangis, sang ayah berujar, "Ustadz ... sebelum wafat, tadi anak saya menanyakan sandal!"
Semua yang hadir tersenyum. Rasanya biasa. Namanya juga anak-anak. Namun sang ayah melanjutkan, "Ia menanyakan sandal yang suka digunakan berjamaah ke masjid!"
Hati saya bergetar. Terasa air mata meleleh. Sang ayah menambahkan, "SYamil setiap mengigau, selalu melantunkan hapalan surat-surat juz 30! Saya gak kuaat pak ustadz!"
Saya pun memeluknya. Air mata pun tak kuasa saya tahan. "Subhanallah!", ujar Ustaz Ja'far Al-Hafizh. "Semoga ini jadi 'ibroh untuk kita semua! Anak kecil, 7 tahun, kelas 1 SD saja mengigaunya hapalan Al-Qur'an! Mau wafatnya saja yang ditanyakan sandal yang suka dipake ke masjid! SubhanaLLah!", pungkas ustadz Ja'far.
Ustadz Agus pun menimpali, "Ini adalah investasi terbaik antum! Allah lebih sayang pada Syamil! Tapi jangan putus asa. Allah pun akan menggantikan yang lebih baik! Aaamiiin"
****
SubhanaLlah! Syamil menjadi pesan bagi semua guru-guru di SDIT Insan Teladan, ibu kepala sekolah, ketua Yayasan, pembina Yayasan, juga orangtua dan keluarga besarnya, bahwa keikhlasan semua pihak dalam mendidik anak telah Allah buktikan! Tidak perlu oleh alumni, tapi oleh anak kelas 1 yang dahulu sempat "diteror" saat mendaftar ke SDIT Insan Teladan.
Wahai civita akademika Insan Teladan. Ini adalah frestasi terbaik antum semua! Syamil telah mendahului kita! Tapi ia insya Allah berada di surga. Sementara kita? Dosa kita teramat banyak! Bisa jadi Allah panjangkan umur kita, supaya ada waktu untuk membersihkan diri! Allah pun sayang kepada kita, agar lebih giat lagi mendidik anak-anak SDIT Insan Teladan dengan penuh ketulusan!
Syaamil! Kau ajarkan kami, tak perlu lama-lama hidup untuk menjadi anak berbakti! Selamat jalan! Namamu kami catat sebagai alumni pertama SDIT Insan Teladan! Innaa Lillaahi wa Inaa Ilaihi Raaji'uun