Putusan LHI Mencederai Keadilan


Oleh Ade Leandro
Pemerhati Hukum dan Keadilan

***

Tipikor

Sebagaimana kita ketahui sejak awal kasus suap ini bergulir telah terjadi banyak perdebatan mulai dari prosedur penangkapan, penyidikan, penuntutan sampai akhirnya putusan dijatuhkan terus menuai perdebatan. LHI divonis bersalah karena terbukti melanggar pasal 12 huruf a UU Tipikor tahun 2001 yang berbunyi “pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya“

Pertanyaan besarnya adalah benarkah LHI pemberian hadiah atau janji yang diberikan kepada LHI berhubungan dengan jabatannya yaitu sebagai Anggota DPR RI? Pertanyaan ini sangat penting karena sebagaimana yang dimaksud dalam UU Tipikor tersebut pemberian hadiah atau janji suap itu harus diberikan untuk sebuah tujuan yaitu melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan sebagai anggota DPR. Dengan kata lain, LHI harus diberikan hadiah atau janji dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR agar unsur pidana suap ini terpenuhi sebagaimana yang dimaksud dalam UU.

Dalam putusan, dibacakan bahwa “Jabatan terdakwa sebagai anggota DPR RI dan presiden PKS memungkinkan untuk melakukan perubahan kebijakan quota import daging sapi”.

Satu hal yang harus kita kritisi dari kalimat yang ada dalam putusan tersebut adalah mengapa jabatan Presiden PKS ditulis mendampingi jabatan anggota DPR RI? Padahal kita tahu bahwa jabatan ketua umum sebuah partai politik bukan objek jabatan yang dimaksud dalam UU Tipikor. Jabatan yang dimaksud dalam UU Tipikor adalah Penyelenggara negara atau Pegawai Negeri Sipil. Jabatan Presiden PKS ditulis dan disertakan dengan anggota DPR menggunakan kata “dan” adalah kesalahan vatal karena menganggap bahwa Presiden PKS dianggap jabatan setara dengan penyelenggara negara yang sama-sama menjadi objek jabatan untuk sebuah perkara suap.

Disertakannya jabatan Presiden PKS dalam putusan tersebut membuktikan bahwa jabatan Presiden PKS menjadi sebuah unsur yang sangat penting yang berhubungan dengan pemberian hadiah atau janji (pidana suap). Konstruksi seperti ini bisa dibuktikan bahwa LHI sebagai Presiden dianggap memungkinkan untuk mempengaruhi kebijakan Kementan yang dipimpin Suswono, yan juga seorang kader PKS. Maka karena kesamaan latar belakang sebagai sesama kader PKS inilah perbuatan untuk merubah kebijakan quota impor daging sapi dimungkinkan. Dengan kata lain, LHI diberikan hadiah atau janji suap dengan kapasitas dia sebagai Presiden PKS. Fakta dalam persidangan Jaksa KPK tidak mampu membuktikan bahwa hadiah atau janji yang diberikan kepada LHI adalah untuk tujuan menggerakan (mempengaruhi) LHI dengan kapasitas sebagai anggota DPR yaitu jabatan yang dimaksud dalam UU Tipikor tahun 2001 karena LHI sebagai anggota DPR pada komisi I tidak berwenang dan tidak berhubungan dengan Kementan yang bukan mitra kerjanya di DPR.

Pertanyaan selanjutnya apakah LHI bisa didakwa kemudian diputus bersalah atas sebuah perkara suap dengan kapasitas sebagai Presiden PKS? Jawabannya tidak karena UU Tipikor tidak mengatur bribery in private sector. Tidak ada satu pasalpun dalam UU Tipikor yang mengatur corruption in the private sector (korupsi di sector swasta) apalagi tujuan mempengaruhi kebijakan pejabat pemerintah yaitu Kementan sebagai Penyelenggara Negara tidak tercapai dengan ditolaknya data-data kebutuhan daging nasional. Dengan demikian trading in inlflunce yang menjadi dasar hakim memutuskan perkara inipun tidak terpenuhi.

TPPU

Seperti halnya Tipikor yang dijatuhkan putusannya tidak sesuai dengan UU, Vonis terbukti bersalah untuk perkara pencucian uangpun tidak sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan dalam UU Pidana Pencucian Uang.

Dalam Putusan TPPU untuk LHI, pembuktian pidana pencucian uang tidak disertai dengan adanya pidana asal (predicate offences) yang merupakan syarat mutlak terjadinya pidana pencucian uang karena pencucian uang adalah pidana derivatif dari pidana asal yang telah ditentukan sebagaimana tercantum dalam pasal 2 UU TPPU. Maka tidak benar bahwa TPPU adalah sebuah pidana yang berdiri sendiri sebagaimana dipahami oleh banyak pihak karena TPPU

Bahwa dalam sidang Majelis Hakim mendasarkan putusannya kepada pendapat saksi ahli dari KPK yaitu Yunus Husen yang menyatakan bahwa TPPU bisa diproses tanpa adanya pidana asal, hal itu menimbulkan masalah karena pada banyak transaksi yang disebut dalam putusan memunculkan berbagai asumsi yang tercermin pada frasa “diduga atau patut diduga” sebagai kekayaan hasil dari pidana. Munculnya praduga-praduga tersebut akibat tidak adanya pidana asal dan hanya menangandalkan pembuktian terbalik sebagai metode pembuktian TPPU sehingga harta kekayaan yang tidak mampu dibuktikan asal-usulnya tersebut tidak benar-benar bisa dibuktikan sebagai hasil dari tindak kejahatan. Dugaan-dugaan tersebut hanya diperkuat oleh sebuah pembuktian bahwa transaksi-transaksi dan kekayaan LHI tidak sesuai dengan profilnya dalam LHKPN sebagai anggota DPR. Majelis hakim mengamini pendapat Yunus Husen bahwa unsur menyembunyikan dan menyamarkan kekayaan ada secara sah dilakukan LHI.

Hasil dari pembuktian terbalik tidak boleh menjadi satu-satunya alasan bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan bersalah karena bertentangan dengan KUHAP pasal 189 ayat 4 berbunyi “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain”

Selain itu KUHAP pasal 66 menyebutkan bahwa “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

Lalu secara mengejutkan dengan kalimat “patut diduga dan diduga” pada kalimat-kalimat sebelumnya Majelis Hakim tiba-tiba menulis dalam diktum putusan bahwa LHI secara sah dan meyakinkan telah terbukti melakukan pidana pencucian uang. Bagaimana mungkin frasa sah dan meyakinkan itu diperoleh dari dugaan-dugaan pada argument sebelumnya? Pembuktian itu harus diperoleh berdasarkan fakta atau bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Pembuktian pidana yang disebut secara sah dan meyakinkan tidak boleh lahir dari berbagai dugaan tanpa proses pembuktian yang bisa dipertanggungjawabkan.


*sumber: kompasiana

Baca juga :