Perjuangan Jilbab Mengapa Selalu Berliku?


Oleh Irfan Junaidi*

Maaf beribu maaf. Kali ini saya bercerita tentang keluarga saya. Kebetulan, memang cerita ini relevan dengan hal yang sekarang terjadi di tubuh polisi wanita (polwan). Muslimah yang kebetulan menjadi polwan dan berkeinginan untuk mengenakan jilbab (atau disebut juga hijab) masih harus berjuang keras.

Izin mengenakan jilbab yang secara lisan diucapkan Kapolri Jenderal Soetarman ditunda sampai ada aturan resmi. Entah kapan peraturan resmi itu akan dikeluarkan. Polwan yang saat ini sudah telanjur mengenakan jilbab menjadi sangat dilematis. Jika terus mengenakan jilbab maka posisinya menjadi “menentang” telegram rahasia yang berisi aturan penundaan jilbab. Tapi, mau melepasnya juga pasti berat hati.

Jalan berliku untuk memperjuangkan jilbab adalah kenangan yang tak akan pernah saya lupakan. Saya lahir dan tumbuh di sebuah kampung bernama Maos Lor di Kabupaten Cilacap. Kampung ini kental sekali dengan tradisi Nahdhatul Ulama, meski mayoritas penduduk di kabupaten tersebut lebih banyak yang “abangan”.

Pada pertengahan 1980-an orang tua saya mendorong kakak perempuan saya yang saat itu duduk di bangku salah satu SMP negeri untuk mengenakan jilbab. Ibu saya yang sebelumnya rajin mengenakan kebaya pun beralih total menjadi berjilbab penuh saat keluar rumah. Saat itu, seragam murid perempuan di SMP adalah berupa rok selutut berwarna biru dan baju putih lengan pendek.

Bisa ditebak, setiap hari kakak saya mendapat pertanyaan dan dorongan untuk tidak mengenakan jilbab saat bersekolah dari para gurunya. Dia juga harus menjawab pertanyaan teman-temannya soal jilbab. Tapi, kakak saya tak surut, sehingga terus mengenakan jilbabnya meski mendapat penentangan yang sangat hebat.

Yang lebih membuat gerah, rumah orang tua saya menjadi semacam target kecurigaan para telik sandi. Setelah ibu dan kakak saya mengenakan jilbab, beberapa kali orang tak dikenal datang ke rumah dan bertanya banyak hal tentang kebiasaan keluarga kami. Mereka berupaya mendapatkan informasi yang mungkin bisa dijadikan alasan untuk memidanakan keluarga kami.

Suatu ketika, bahkan ada seorang telik sandi yang menyamar menjadi pedagang perabot rumah tangga. Dari pukul 08.00 WIB pagi dia duduk di depan rumah kami dan saat ibu saya menyapu teras, langsung saja sang telik sandi meminta diizinkan masuk untuk “menawarkan barang dagangan”. Saat itu, kami tidak mencurigai bahwa yang bersangkutan adalah aparat intelijen.

Saat masuk rumah memang dia awalnya menawarkan sapu dan keset, tapi lama-lama menelisik lebih jauh tradisi beragama dalam keluarga kami. Dari pagi sampai menjelang sore, dia 'enggak' beranjak. Menjelang Maghrib, barulah ia pamit pulang sambil meninggalkan beberapa sapu dan keset yang katanya untuk sampel. Dari gelagat inilah kami tahu bahwa yang bersangkutan adalah intelijen.

Tak berhenti di situ, keluarga kami pun mendapat komentar yang kurang nyaman. Salah seorang guru yang mendidik saya saat duduk di bangku SD menyempatkan diri mengomentari ibu saya yang mengenakan jilbab. Dia katakan ibu saya seperti Togog (salah satu karakter dalam wayang kulit). Setelah itu, juga warga kampung digegerkan dengan isu adanya perempuan berjilbab yang keliling kampung dan menabur racun di sumur-sumur warga.

Kakak saya kemudian berhasil lulus SMP dengan tetap megenakan jilbab. Berikutnya, karier bapak saya sebagai kepala SD negeri pun mentok. Rekan sejawatnya sudah naik jabatan berkali-kali, bapak saya tetap saja menjadi kepala SD. Merasa tidak lagi ada yang bisa diperjuangkan, bapak saya kemudian memutuskan pensiun “sangat dini”.

Syukur Alhamdulillah, saat ini jilbab di kampung tersebut bukan lagi menjadi barang aneh. Sudah sangat banyak Muslimah yang disiplin mengenakan jilbab. Saat ini, tak ada lagi halangan bagi murid sekolah untuk mengenakal jilbab dan tidak perlu lagi ada aparat intelijen untuk menyelidikinya.

Apa yang dialami polwan saat ini adalah repetisi dari berbagai upaya memperjuangkan jilbab. Kondisi serupa juga pernah dialami para praja STPDN (yang sekarang menjadi IPDN) saat memperjuangkan jilbab pada akhir 1990-an. Saat ini, upaya tersebut sudah membuahkan hasil. Setelah melalui perjuangan yang berliku, jilbab sudah bebas dikenakan di sekolah calon pamong praja tersebut.

Semestinya, Polri tidak perlu lagi mengulang jalan berliku untuk jilbab. Kini, eranya sudah berubah. Jilbab adalah busana kaum Muslimah yang tidak perlu dicurigai. Beragam bukti sudah menunjukkan bahwa jilbab sama sekali tidak mengundang bahaya. Bahkan, saat ini secara internasional sudah lahir World Hijab Day yang diperingati Muslimah di seluruh dunia setiap 4 September.

*ROL

Baca juga :