"Menyoal Vonis LHI" | Pandangan Advokat


"Menyoal Vonis LHI"

Oleh Sutomo Paguci
Pewarta warga mukim di Padang | Advokat | Nonpartisan

Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) langsung menyatakan banding tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan penasehat hukum sesaat setelah vonis 16 tahun dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun penjara dibacakan hakim Gusrizal cs, Senin (9/12/2013) lalu.

Tulisan ini mencoba menyoal vonis hakim yang sama sekali mengesampingkan pembelaan Penasehat Hukum dan saksi-saksi meringankan yang diajukan pihak LHI, tanpa penjelasan yang bisa diterima pihak terdakwa. Hemat penulis di titik inilah suatu putusan dianggap “gagal” memberi penjelasan yang logis mengapa seorang terdakwa divonis.

Sayang sekali putusan lengkap LHI tersebut belum tersedia di website resmi pengadilan yang memutus. Karena itu tulisan ini didasarkan pada inti-inti keberatan pihak terpidana (LHI) sebagaimana luas dimuat media massa. Selanjutnya pendalaman akan ditulis tersendiri setelah putusan lengkap LHI diperoleh.

Dikutip dari situs Komisi Pemberantasan Korupsi di sini, LHI menyatakan bahwa 100 persen majelis hakim hanya mempertimbangkan tuntutan jaksa KPK dan 100 persen mengesampingkan saksi-saksi yang meringankan yang diajukan pihak LHI. Nampak LHI tak menerima keadaan ini.

Kecenderungan hakim yang lemah, apalagi jika kasusnya mendapat sorotan publik yang luas, adalah hanya menjadi “stempel” dari apa yang disodorkan jaksa di persidangan. Hakim hanya menyenangkan publik dan jaksa—karena itulah yang terbaik bagi karirnya?

Pokoknya, semua yang didakwakan dan dituntut jaksa sebagai benar semua. Semua pembelaan dan saksi-saksi pihak terdakwa sebagai salah semua. Tanpa pertimbangan yang logis mengapa pembelaan dan saksi-saksi pihak terdakwa dikesampingkan. Nampaknya hal inilah yang terjadi dalam putusan LHI.

Harusnya, hakim mampu memberi pertimbangan yang logis, tak terbantahkan, sehingga terdakwa dan penasehat hukumnya tak berkutik, apa alasan sehingga 100 persen pembelaan penasehat hukum dikesampingkan dan 100 persen saksi-saksi yang diajukan terdakwa juga ikut dikesampingkan. Harus ada pertimbangan yang logis di putusan.

Hakim gemar sekali main simpel saja. Hanya memuat kalimat “setelah mempertimbangkan pembelaan penasehat hukum…dst”, lalu menolak, tanpa menyebutkan apa alasan logis dari penolakan itu. Jadilah putusan itu tak lebih dari “stempel” persetujuan terhadap tuntutan jaksa semata-mata. Tak lebih dan tak kurang. Itulah wujud lain dari arogansi pengadilan.

Jika demikian halnya tak perlu hakim untuk mengadili suatu perkara. Mahasiswa tingkat tiga fakultas hukum juga bisa melakukannya. Hakim harusnya benar-benar hadir, terasa kehadiran, terutama karena memberi keberimbangan yang adil terhadap para pihak yang dihadapinya (jaksa dan terdakwa). Tuntutan jaksa dipertimbangkan. Pembelaan penasehat hukum, pun, dipertimbangkan. Seimbang. Adil.

Mungkin sekali di hati kecil terdakwa sudah merasa bersalah. Akan tetapi setelah mendengar putusan hakim menjadi ragu rasa bersalahnya karena pertimbangan majelis hakim yang berat sebelah. Sama sekali tak mempertimbangkan pembelaannya. Di sinilah celah putusan hakim ditolak oleh terdakwa.

Coba seandainya argumen hakim logis dan tak terbantahkan, telah mempertimbangkan kedua belah pihak (jaksa dan terdakwa/penasehat hukum) secara berimbang, pastinya sulit dan konyol jika terdakwa tetap juga menolak. Ini tidak. Putusan hakim tak berimbang mempertimbangkan kedua belah pihak sehingga membuka celah ditolaknya putusan itu oleh terdakwa dan penasehat hukumnya.

Jika putusan telah berimbang mempertimbangkan tuntutan jaksa dan pembelaan terdakwa/penasehat hukum maka putusan itu telah paripurna. Tidak ada lagi celah cara mengadili hakim yang dapat dipersoalkan. Apakah putusan itu diterima atau tetap ditolak oleh terpidana bukan soal lagi. ***

(Sutomo Paguci)


*sumber: http://hukum.kompasiana.com/2013/12/14/menyoal-vonis-lhi-618368.html
(Tulisan ini jadi Headline di Kompasiana)


Baca juga :