Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq tidak menerima vonis 16 tahun penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi padanya. Luthfi dengan tegas mengatakan akan meneruskan proses hukum selanjutnya bahkan hingga ke akhirat.
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Majelis Hakim, saya tidak menerima keputusan itu dan saya akan melanjutkan proses hukum berikutnya, baik proses hukum di dunia ini maupun di akhirat nanti," ujar Luthfi sesaat setelah sidang berakhir, Senin (9/12) malam.
Menurut Luthfi, putusan majelis hakim mengesampingkan pembelaan dari tim penasihat hukumnya. “Tidak ada satu pun dari pembelaan yang diajukan pengacara saya yang dipertimbangkan. Semuanya dikesampingkan, padahal mereka telah bekerja keras dan membuktikan satu persatu tentang fakta-fakta apa yang mereka tulis dalam pembelaan,” papar dia.
Luthfi menyatakan KPK telah menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan mereka terutama dalam vonis terkait tindak pencucian uang.
"Saya tidak terlalu mempermasalahkan jumlah tahun atau jumlah aset yang diambil negara. Tetapi saya memperkarakan masalah hukum," tambahnya.
2 Hakim Adhoc Dissenting Opinion Soal Wewenang KPK Tuntut TPPU
[detikcom] Majelis hakim menyatakan Luthfi Hasan Ishaaq bersalah dan dihukum pidana penjara selama 16 tahun dan denda Rp 1 miliar. Namun dua hakim adhoc kembali mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas kewenangan KPK melakukan penuntutan terhadap pidana pencucian uang.
Kedua hakim yang mengajukan dissenting opinion adalah I Made Hendra dan Joko Subagyo. Keduanya menyatakan KPK berwenang menyidik perkara pencucian uang yang tindak pidana asalnya korupsi. Kewenangan ini diatur dalam Pasal 74 UU Nomor 8/2010.
"Namun dalam UU Nomor 8 tahun 2010 tidak ada diatur lembaga mana yang berwenang sebagai penuntut umum atas perkara TPPU," kata hakim Joko Subagyo membaca dissenting opinionnya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/12/2013).
Karena itu, kewenangan penuntutan harus merujuk UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHaP. Dalam UU tersebut mengatur jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum.
Jaksa yang dimaksud adalah jaksa yang berada di bawah Jaksa Agung atau Kepala Kejaksaan Tinggi.
"Karena penuntut umum KPK tidak di bawah jaksa agung atau kejaksaan tinggi oleh karena itu hasil penyidikan haruslah diserahkan pada penuntut umum kejaksaan negeri setempat," jelas hakim Joko.
Menurut Muhammad Ainul Syams, ahli hukum PP Muhammadiyah, jika penuntutannya tidak sah (seharusnya wewenang Jaksa Agung, bukan KPK), maka proses hukum lanjutan juga tidak sah. Hakim yang dissenting seharusnya konsisten dengan pendapatnya.
@detikcom jika penuntutannya tidak sah, maka proses hukum lanjutan juga tidak sah. Hakim yang dissenting seharusnya konsisten dg pendapatnya
— Muhammad Ainul Syams (@ainulsyamsu) December 9, 2013