Liberalisme Diambang Kepunahan


Oleh Syamsul Bahri*

"Perumpaan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolongnya, seperti laba-laba yang membuat sarangnya. Dan ketahuliah sesungguhnya rumah yang paling rapuh adalah sarang laba-laba, jika saja mereka mengetahuinya." (Qs. Al-Ankabut: 41)

Akhirnya, pemerintah (eksekutif) bersama DPR RI telah menyepakati dan mengesahkan UU perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Banyak hal yang diatur dalam UU tersebut terkait adminstrasi kependudukan, satu di antaranya adalah tentang KTP elektronik (e-KTP) yang sudah berjalan dan berlaku saat ini. Termasuk keharusan mencantumkan agama yang diyakini dan diakui oleh negara dalam kolom yang disediakan pada lembar e-KTP. Pengesahan ini diperoleh melalui rapat paripurna di Gedung Nusantara II DPR/MPR/DPD, Jakarta, Selasa 26 November 2013 lalu, setelah melalui perdebatan panjang, baik di dalam ruang sidang maupun di ruang publik.

Keputusan tersebut, tentu membawa dampak politik dan psikologis bagi kedua kubu yang sebelumnya berseberangan. Baik mereka yang mendukung (pencantuman kolom agama) maupun mereka yang menolak secara nyata dan terang-terangan(dicantumkannya kolom agama) tentunya dengan alasan masing-masing di antara mereka.

Kubu yang mendukung beralasan bahwa pencantuman agama dalam identitas seseorang sangat penting, agar mereka memperoleh hak-haknya dari negara. Sebab, negara hanya memberi jaminan hak dan kebebasan bagi warga negara yang beragama dan berkeyakinan saja, sesuai maksud pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Sebagai Contoh, ketika warga negara hendak mengurus dokumen persyaratan haji misalnya. Dari mana negara mengetahui kalau warga tersebut beragama Islam atau tidak, jika bukan dari melihat identitas di KTP-nya? Apa petugas harus bertanya satu per satu tentang agama seseorang? Hal demikian justru akan menimbulkan polemik baru yang bisa jadi melahirkankonflik, karena masyarakat akan merasa tersinggung dengan pertanyaan amat 'sakral' itu.

Sedangkan kubu yang menolak telah secara terbuka mengatakan mereka tak lagi membutuhkan agama. Mereka menyebut agama tak membawa dampak apapun, selain dari diskrimanasi terhadap para penganut agama lain.

Lihatlah misalnya pernyataan Basuki Tjahaja Purnama, wakil gubernur DKI Jakarta, saat ditanya pendapatnya tentang masalah ini. "Kalau menurut saya pribadi, saya tidak suka ada (kolom agama) itu, bodo amat. Untuk apa mencantumkan agama anda di KTP. Kalau ada argumen supaya tahu cara memakamkan jenazah kayak gitu, saya ketawa saja. Tapi kalau ini diperdebatkan bisa panjang," ujar pria yang akrab disapa Ahok ini, sebagaimana dikutip Vivanews.com.

Saya pribadi dapat memaklumi pernyataan Ahok ini, jika kita melihat latar belakang agama yang dianutnya. Dan itu wajar, tidak masalah. Namun, menjadi agak 'menggelikan' jika wacana penghapusan kolom agama ini justru datang dari mereka yang mengaku pejuang hak asasi manusia serta pengusung  kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan.

Siti Noor Laila misalnya, wanita yang menjabat ketua Komnas Hak Asasi Manusia ini mengaku 'geram' dengan keputusan pemerintah yang tetap mengharuskan kolom agama tertera di dalam e-KTP. Ia menuding, pemerintah terlalu mengintervensi urusan pribadi seseorang dalam beragama dan berkeyakinan. Padahal kata Dia, keberagamaan seseorang bukan ditentukan oleh KTP, melainkan keterikatannya secara langsung antara dirinya dengan Tuhan. Tidak perlu diatur-atur sampai sejauh itu.

Pernyataan Noor Laila ini, tentu bukan barang baru dalam materi debat publik terkait hal yang menyangkut keyakinan dan keberagamaan. Bahkan mungkin sudah masuk dalam masa kadaluarsa. Selain itu, pendapat Noor Laila juga terlihat sangat kontradiktif dengan nilai kebebasan dan hak asasi manusia yang diusungnya.

Jika Noor Laila menyebut, agama merupakan hak pribadi seseorang dan negara tidak boleh ikut campur di dalamnya, maka kita patut bertanya, bukankah mencantumkan agama dalam kartu identitas--seperti e-KTP-- merupakan hak pribadi seseorang yang harus dilindungi? Justru, ketika negara menghilangkan kolom agama dalam kartu identitas kependudukan, disitulah letak diskriminasinya. Negara telah dengan sadar mengekang kebebasan beragama seseorang yang menjadi hak asasi mereka untuk mencantumkannya dalam lembar identitas semisal KTP dan semacamnya.

Sebetulnya, pemerintah sudah cukup bijak menyikapi persoalan ini. Bagi mereka yang masih merasa beragama, dipersilakan untuk mengisi kolom agama sesuai dengan agama yang diyakininya. Dan bagi mereka yang merasa sudah tidak beragama lagi, dipersilakan juga untuk mengosongkannya. Tidak usah diisi. Biarkan saja. Tidak perlu repot-repot memikirkan orang lain yang merasa perlu mencantumkan jenis agamanya dalam kartu identitasnya. Itu hak asasi mereka. Noor Laila dan kawan-kawan tidak perlu mengintervensi urusan pribadi seseorang yang sudah dijamin oleh Undang-undang. Bukankah demikian?

Kini, kita pun jadi mengerti, apa yang mereka maksud dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Teori-teori toleransi dan hak asasi manusia yang selama ini mereka 'iklankan' hanyalah pepesan kosong. Mereka sangat kencang teriakannya, jika bicara soal kebebasan. Tetapi dalam prakteknya mereka malah memaksa negara untuk mewujudkan kehendaknya. Mereka juga memonopoli makna toleransi, sehingga orang yang menampakkan identitas keagamaannya saja divonisnya diskriminasi. Sedangkan mereka yang menistakan agama disanjungnya bak pahlawan negeri.

Entahlah, yang jelas, wacana penghapusan kolom agama dalam e-KTP ini, setidaknya memberikan kita penjelasan tentang beberapa hal;

Pertama, Liberalisme dan Sekularisme sudah berada diambang kepunahan. Para pengasong faham ini pun sudah mulai keteteran. Setelah gagal menjajakan barang dagangannya di jalur akademik, kini mereka mencoba mencari peruntungan melalui jalur politik.  Mereka tak punya cara lagi untuk melegalkan faham ambiguitasnya ini, kecuali dengan memaksa negara mengakui keberadaannya. Untuk itulah, mereka kini berlomba-lomba masuk ke dalam partai politik dengan berbagai merek. Di antara mereka ada yang naik kendaraan bintang mercy. Ada yang masuk ke dalam kandang Banteng. Ada yang berlindung di bawah pohon beringin, bahkan tidak sedikit yang berteduh di bawah bendera Nahdiyyin.

Kedua, selama ini, para pengasong Liberalisme dikenal sangat fasih berbicara toleransi dan kebebasan, demokrasi dan konstitusi. Namun, pada praktiknya di lapangan tidaklah sefasih yang mereka katakan. Sejarah mencatat, betapa bengisnya kaum Liberal menghadapi lawan politiknya di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di Mesir, mereka menghalalkan kudeta, padahal dalam teori demokrasi, kudeta adalah kosa kata yang haram digunakan. Lalu, orang-orang seperti Ulil Absar Abdala, Zuhairi Misrawi dan gerombolannya bersorak gembira menyambut adegan konyol ini. Hanya karena yang dikudeta itu adalah aktivis Islam dan yang mengkudetanya adalah mereka yang berpura-pura Islam. Lalu, pantaskah orang-orang seperti ini dipercaya mengemban amanah kekuasaan?

Ketiga,  betapa besarnya pengaruh para politisi Islam dalam mengawal konstitusi dan kepentingan ummat Islam di Senayan. Kita harus akui, ini adalah salah satu prestasi yang patut kita syukuri. Bahwa keberadaan mereka dalam Parlemen telah mampu membendung arus Sekularisme dan Liberalisme yang coba dipaksakan oleh para Pengasongnya ke dalam konstitusi negara. Kita harus bersyukur, masih banyak para politisi Islam yang peduli dengan agamanya dan memahami apa yang menjadi tugas dan kewajibannya. Jika tidak ada mereka, kemudian parlemen dipenuhi oleh mereka yang bernafsu menghilangkan kolom agama dalam identitas kependudukan kita, bukan tidak mungkin mereka juga akan menghilangkan agama dari kehidupan kita. Karenanya, dalam teori permainan (game theory)--termasuk politik--, kerugian terbesar bagi para petarung adalah ketika mereka meninggalkan arena pertandingan. Jadi, sekeras apapun permainan yang dimainkan, jangan pernah berfikir untuk mengakhiri pertarungan, sebelum pluit benar-benar dibunyikan.

Satu hal yang harus diyakini, selama para politisi Islam bertarung memperjuangkan ideologi Islam, selama itu pula ia akan dimenangkan. Cepat atau lambat, pasti akan futuh. Sebab ideologi apapun selain dari ideologi Islam adalah ideologi yang rapuh yang tak sesuai dengan kemanusiaan itu sendiri. Wallahu a'lam. Sekian!


Mataram, Lombok, NTB, 19 Desember, 2013


*Syamsul Bahri
Penikmat Demokrasi dan Kebebasan
Fb : Syamsul Hidayati
Twitter : @SyamsulLombok



Baca juga :