JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid mengkritik putusan vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus suap impor daging sapi. Menurut Hidayat, vonis 16 tahun kurungan penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun penjara tidak adil.
Hidayat mencontohkan, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dihukum 7 tahun penjara, padahal kerugian negara yang disebabkan Nazaruddin lebih besar dibandingkan Luthfi. Nazaruddin diketahui terlibat dalam perkara korupsi Wisma Atlet.
Hidayat juga membandingkannya dengan vonis mantan pemilik Bank Century, Robert Tantular, yakni 9 tahun. Padahal, lanjut Hidayat, kerugian negara yang diakibatkan Robert mencapai triliunan rupiah.
“Sementara Luthfi yang dituduh menerima Rp 1,3 miliar dari Fathanah, yang pada kenyataannya tak menerima satu persen pun, divonis 16 tahun penjara. Jadi terkesan kalau ingin korupsi, korupsilah yang banyak supaya hukumannya ringan,” imbuh Hidayat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/12/2013).
Hidayat menuturkan, PKS tidak ingin ada politisasi yang terjadi dalam proses hukum. Ia melihat vonis yang dirumuskan majelis hakim sangat janggal. Dia pun mendukung upaya Luthfi untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
“Kami yakin tim kuasa hukum akan melakukan langkah progresif dalam mencari keadilan,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mahfudz Siddiq. Ia menganggap vonis terhadap Luthfi adalah vonis politik. “Bukan saja mengabaikan fakta-fakta hukum di persidangan, tapi masyarakat mulai membandingkan vonis ini dengan kasus-kasus lain yang sudah diputus pengadilan. Festivalisasi kasus hukum ini belum akan berhenti di sini,” kata Mahfudz.
Ketua Komisi I DPR ini berpendapat bahwa KPK kini bertransformasi sebagai dewa hukum baru. “Ya terserah KPK dan Pengadilan Tipikor-nya mau apa. Toh katanya semua orang harus hormati proses hukum,” ucapnya.
*sumber: KOMPAS