Falsafah dalam Berjamaah



Oleh: Hepi Andi Bastoni
(Follow: @andibastoni)

Alam mempunyai falsafah hidup yang bisa kita jadikan cermin. 
Teramat rugi kalau kita tak mau mengambil pelajaran.

Berjamaah seperti air

Seharusnya seluruh jamaah dari umat Islam memiliki visi dan misi yang sama. Seperti air. Bagaimana pun keadaannya, di mana pun dia berada dan apa pun posisinya, air tetap memiliki visi dan misi yang sama: mencari tempat yang lebih rendah. Dalam perjalanannya itu, air akan menempuh segala cara. Jika ada yang menghadang, sebelum mencari jalan alternatif ia akan berusaha menembusnya. Jika tidak mampu, sementara ia memisahkan diri untuk bertemu pada masanya. Jika ia dihadang oleh kekuatan besar, air akan berkumpul, lalu meninggi dengan kekuatan dahsyatnya.

Air selalu menjalani hidupnya dengan tenang. Namun, dalam ketenangannya itu ia menyimpan kekuatan dahsyat yang mampu merubuhkan rumah, menghanyutkan satu perkampungan, bahkan memporak-porandakan satu negeri. Jika suatu saat tugasnya berakhir, air akan melakukan regenerasi. Ketika ia sudah berkumpul di tempat yang rendah atau di laut, ia tak berhenti bergerak. Ia menguap, menjadi awan, dan melahirkan anak cucu baru bernama hujan.

Begitulah hidup berjamaah. Dengan visi dan misi yang sama, gerak jamaah akan terus berjalan sampai tujuannya tercapai. Di sinilah pentingnya memahami visi dan misi hidup berjamaah agar tidak salah bergerak.

Berjamaah seperti roda

Hidup berjamaah itu seperti roda. Umumnya roda terdiri dari beberapa bagian: ban, poros, dan jari-jari. Ketiga bagian itu merupakan elemen paling penting bagi roda. Ia tak mungkin bisa berputar baik kalau di antara ketiga bagian itu ada yang hilang. Masing-masing bagian itu mempunyai fungsi tersendiri. As atau poros berfungsi sebagai tempat berputar. Jari-jari berfungsi sebagai penghubung antara ban dan as. Dalam berjamaah juga demikian. As bisa kita analogikan sebagai kader inti, jari-jari sebagai kader pendukung, dan ban sebagai simpatisan.

Dalam perputarannya pun, roda mempunyai siklusnya. Di antara bagian roda itu tak ada yang abadi. Kadang dia berada di bawah, kadang di atas. Begitulah elemen dalam jamaah. Ia harus mengalami perputaran yang sehat. Tak boleh ada di antara personal jamaah yang selalu berada di atas, harus ada regenerasi, pergantian dan perputaran.

Berjamaah seperti pohon pisang

Dalam memompa semangat kerja berjamaah, kita bisa belajar dari jalan hidup pohon pisang. Di antara keunikan pohon pisang, sebelum berbuah ia tak hentinya berkembang. Bahkan, jika ada yang memotongnya, ia akan terus tumbuh dengan tunas baru. Perjalanannya tidak akan berhenti sampai ia berbuah dan memberikan manfaat bagi orang lain. Nnyaris seluruh “tubuh”nya bisa dimanfaatkan. Mulai dari batang pohonnya, daunya, gedebongnya, dan buahnya.

Begitu seharusnya hidup seorang Mukmin. Ia tak boleh mengenak henti. Seluruh hidupnya harus melahirkan karya. Karya yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Personal sebuah jamaah hendaknya selalu berprinsip, untuk selalu memberikan kontribusinya pada jamaah. Bukan sebaliknya, berpikir untuk mendapatkan sesuatu dari jamaah.

Berjamaah seperti menyambung kayu

Secara struktur, berjamaah itu seperti menyambung dua kayu. Agar bisa disatukan dua ujung kayu harus rela dipahat. Dari ujung potongan yang berbentuk simetris itulah kedua ujung kayu yang berhadapan bisa disatukan, selanjutnya diikat atau dipaku. Kedua potongan kayu juga harus rela kalau suatu saat mesti berada di atas atau di bawah. Jika kedua potongan kayu itu tak mau dipahat, akan sulit menyatukannya. Begitulah jamaah dalam umat Islam.

Struktur hidup berjamaah mengharuskan para personalnya untuk bersedia berada dalam posisi apa pun. Ada yang berada di atas sebagai pemimpin. Ada juga yang berada di bawah sebagai pendukung. Dalam posisinya masing-masing, para personal harus siap “dipahat” agar bisa disatukan dengan yang lain.

Berjamaah seperti lebah

Binatang ini memberikan pelajaran berharga bagi sebuah jamaah. Ia  membangun “istananya” dengan cara yang sangat teliti. Kerja sama, kesabaran dan kejelian merupakan modal utamanya. Dalam setiap sarang lebah terdapat ribuan kantung yang semuanya berbentuk heksagonal atau segi enam yang dibuat untuk menyimpan madu. Setelah melakukan penelitian panjang, akhirnya para ahli matematika menemukan jawaban menarik. Di antara semua bentuk bangunan geometris, ternyata segi enam adalah bentuk terbaik untuk menyimpan kapasitas terbesar dengan bahan bangunan paling hemat.
   
Untuk mengisi kantung-kantung dengan madu, lebah harus mengumpulkan cairan manis pada bunga. Ini adalah tugas yang sangat berat. Penelitian ilmiah terkini menyebutkan, untuk memproduksi ½ kg madu, lebah harus mengunjungi sekitar 4 juta kuntum bunga!

Maha suci Allah yang telah menciptakan lebah dan menjelaskan dalam firman-Nya, “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan, bagi orang-orang yang memikirkan,” (QS an-Nahl: 68-69).


Baca juga :