Pada malam beberapa hari lalu, tujuh orang pemuda mengendari sepeda motor. Sebagian berboncengan. Mereka hendak menuju rumah Ahmad Sumiyanto, yang pada periode tahun 2006 hingga 2010 lalu menjabat sebagai Ketua Umum DPW PKS DIY.
Rumah Ahmad Sumiyanto terletak dalam kompleks perumahan. Begitu masuk gerbang perumahan Darussalam, kita langsung berhadapan dengan rumah yang disampingnya tumbuh pohon mangga. Itulah rumah Ahmad Sumiyanto. Rumah bercat putih itu terletak paling pinggir, 10 meter dari jalan tanjakan.
Kami duduk di ruang tamu yang tiap dindingnya dipenuhi rak-rak berisi ratusan judul buku. Pada bagian atas tertempel pigura besar bertuliskan “Majelis Cinta Ilmu.” Mungkin sang empu rumah hendak menjadikan ruang tamu sekaligus sebagai ruang ilmu. Ruang yang tak hanya untuk ngobrol ‘ngalor ngidul’ tapi juga untuk membicarakan pengetahuan.
Pak Anto duduk di depan kami. Malam itu ia mengenakan baju putih dengan kerah bercorak warna hitam-kuning. Baju yang jamak dipakai oleh para kader PKS.
“Anak-anak mudalah yang akan menjadi tulang punggung partai ini,” ujarnya mengawali obrolan.
Pak Anto, begitu biasa ia dipanggil, mengutip dari Presiden PKS, Anis Matta, bahwa Indonesia segera memasuki gelombang ketiga dalam sejarah perjalanannya. Gelombang pertama adalah masa melawan penjajahan, gelombang kedua adalah masa reformasi, dan sebentar lagi kita akan menyongsong gelombang ketiga Indonesia.
Gelombang ketiga ini ditandai dengan jumlah anak-anak muda lebih dari separuh dari total jumlah penduduk Indonesia. Dalam istilah demografi, peristiwa ini disebut sebagai ‘bonus demografi.’ Ini adalah peristiwa langka. Struktur demografi semacam ini sangat jarang terjadi di belahan Negara manapun. Dan pada umumnya, Negara yang mengalami struktur demografi semacam ini akan menjadi Negara besar, misalnya saja Amerika Serikat yang dahulu juga mengalami ‘bonus demografi.’
“Maka anak-anak muda sudah seharusnya diberikan tempat khusus dalam partai ini,” ujarnya mantap sambil memandang kami satu per satu.
Ia saat ini mengemban amanah sebagai Ketua Bidang Generasi Muda dan Profesi (GMPRO) DPP PKS. Baginya anak muda tidak harus selalu berada di tepian. Muda; yang seringkali dikatakan kurang pengalaman bukanlah menjadi alasan untuk selalu menepikan peran anak-anak muda.
“Anak muda memang kurang pengalaman. Tapi kadang pengalaman juga bisa menjadi ‘penjara,’” katanya. Anak-anak muda, lanjutnya, karena kurang pengalaman, mereka lantas menghadapi persoalan dengan memakai cara baru, bukan cara lama ‘berdasarkan pengalaman.’
“Yang ada dalam diri anak-anak muda adalah harapan dan masa depan.”
Kami menyimak dengan seksama. Salah satu rekan terlihat manggut-manggut.
****
Sembari menikmati teh yang disediakan, obrolan berlangsung makin hangat.
“Lantas dalam partai ini anak muda harus ditempatkan dimana?” tanya kawan yang duduk di samping saya.
Pak Anto terlihat tersenyum.
“Menurutmu dimana?” ia balik bertanya.
Saya diam saja. Tersenyum. Tak menjawab, dan sepertinya itu juga pertanyaan yang tak mesti kami jawab. Karena sedetik berikutnya beliau langsung menjelaskan kembali.
“Secara formal PKS telah punya wadah itu, pada bidang Generasi Muda dan Profesi, biasa disingkat GMPro,” terangnya.
Bidang ini, lanjutnya, berkonsentrasi pada pengembangan anak-anak muda yang usianya dibawah 30 tahun. Bidang GMPRO sudah ada di tiap wilayah dan dibawahnya ada berbagai sayap organisasi kepemudaan, mulai dari yang berbasis hobi, kreativitas, peningkatan skill, wirausaha, kepedulian lingkungan, pengembangan bakat dan lainnya.
“Tiap wilayah punya strategi masing-masing yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat. Makanya kadang kita dapati satu komunitas eksis dalam satu wilayah tapi tak sesuai pada wilayah lain,” ujar suami dari Sofianasari ini.
“Tapi ustadz,” sela saya, “dengan jumlah kader yang sebagian besar berusia muda, tidak semuanya akan bisa terwadahi di satu bidang kan?”
“Iya, betul. Makanya tadi saya katakan ada berbagai macam organisasi ataupun komunitas binaan GMPro yang dibuka seluas-luasnya.”
“Oh, iya juga ya.”
“Tapi organisasi ataupun komunitas itu sekadar wadah. Yang jauh lebih penting adalah peran dan fungsi anak muda. Tidak hanya dalam sebuah wadah yang dibentuk khusus, tapi dalam semua wadah yang ia tempati. Ia tampil sebagai solusi bukan menjadi masalah ataupun bagian dari masalah. Ia menjadi garda depan ketika tantangan datang. Di manapun posisinya dalam partai ini, ia mesti berkontribusi.”
Mendengar perkataan itu saya menunduk. Merenung. Kembali mengingat-ingat riwayat perjalanan saya selama berada di PKS. Apa yang telah saya kontribusikan? Lama berpikir tetap tak ketemu hal besar yang saya lakukan. Ah, ternayata kontribusi saya kecil. Amat kecil sekali. Bahkan belum ada apa-apanya bila dibandingkan kader-kader yang lain.
“Selain itu, partai juga mesti memberikan kepercayaan pada kader-kader mudanya. Yang dibutuhkan anak muda untuk berkembang hanyalah sebuah dorongan dan kepercayaan, setelah itu mereka akan melesat. Dan PKS memberikan ruang ikhtar seluas-luasnya bagi anak-anak muda. Dan sekarang apa yang akan kalian lakukan?” ujarnya sebagai kalimat mengakhiri obrolan yang ternyata telah semakin larut.
Pertanyaan terakhir menjadi oleh-oleh bagi kami. Menjadi sebuah tanya yang mesti dijawab tidak hanya dengan wacana tapi juga diwujudkan dalam realita.
*by kader muda PKS Jogja